Anotasi
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-XIV/2016
Pengujian Materiil Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan
Oleh Dhona El Furqon
I.
Pemohon
Pemohon
Prof.
Dr. Ir. Euis Sunarti., M.Si (Pemohon I) 2. Rita Hendrawaty Soebagio, Sp.Psi.,
M.Si. (Pemohon II); 3. Dr. Dinar Dewi Kania (Pemohon III) 4. Dr. Sitaresmi
Sulistyawati Soekanto (Pemohon IV) 5. Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya, S.S.,
M.A. (Pemohon V) 6. Dr. Sabriaty Aziz (Pemohon VI) 7. Fithra Faisal Hastiadi,
S.E., M.A. M.Sc., Ph.D (Pemohon VII) 8. Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum.
(Pemohon VIII) 9. Sri Vira Chandra D, S.S., MA (Pemohon IX) 10.Qurrata Ayuni,
S.H. (Pemohon X) 11.Akmal, S.T., M.Pd.I. (Pemohon XI) 12.Dhona El Furqon,
S.H.I., (Pemohon XII)
II.
Pasal yang diujikan
1.
Norma materiil yaitu:
Para
pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 284 ayat (1) ayat (2) ayat
(3) ayat (4), ayat (5) , Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan menyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya Pasal 29 ayat (1), Pasal 28D ayat 1, Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945:
a.
Pasal 284
ayat (1);
Diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan
gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “laki-laki berbuat zina”
b.
Pasal 284
ayat (1) angka 1.b
seorang wanita yang telah
kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku
baginya
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “Perempuan berbuat zina”
c.
Pasal 284
ayat (1) angka 2.a;
seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca “laki-laki yang turut perbuatan itu”
d.
Pasal 284
ayat (1) angka 2.b;
seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal
27 BW berlaku baginya.
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “Perempuan yang turut perbuatan itu”
e.
Pasal 284
ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5);
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas
pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27
BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku
pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama
pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27
BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
f.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan Sehingga harus dibaca sebagai :”Barang siapa dengan kekerasaan atau
ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa
dengan hukuman penjara selama-selamanya dua belas tahun”
g.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Adalah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan Sehingga harus dibaca
sebagai; Orang yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama dihukum penjara
selama-lamanya lama lima tahun
III.
Batu Uji
Norma Undang-Undang Dasar 1945.
1.
Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945:
“Negara Indonesia adalah
Negara hukum”
2.
Pasal
28B ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”
3.
Pasal
28B ayat (2) UUD 1945:
“Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”
4.
Pasal
28C ayat (2) UUD 1945:
“Setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
5.
Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.”
6.
Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”.
7.
Pasal 28G
ayat (2) UUD 1945:
“Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
8.
Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
9.
Pasal 28J
ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.”
10. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
“Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
11. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945:
“Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa”
IV.
Alasan Permohonan
Para
pemohon mengemukakan dalam permohonannya bahwa ada dua lasan yang paling
mendasar mengapa pengujian ini dilakukan oleh para pemohon yakni alasan
Ketahanan Keluarga dan Perlindungan terhadap Nilai-nilai agama di Indonesia.
Kedua isu ini dipandang oleh para pemohon di mana dalam era masyarakat yang
semakin liberal dan bebas nilai dianggap sebagai isu-isu domestic yang tidak
dapat dijadikan dasar membatasi perilaku
masyarakat yang semakin berbahaya dan merugikan bangsa.
Pemohon
memandang agama-agama di Indonesia pada dasarnya juga melarang perzinaan di
luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal
285 KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP). Oleh karena itu,
tidak ada kebutuhan lain untuk mempertahankan Pasal-pasal a quo (yang merupakan
produk kolonial dari zaman kolonial yang sudah lama berlalu) selain dari pada
harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup
bermasyarakat yang tertuang dalam hukum positif negara;
Ada
beberapa alasan dalam pengujian pasal 292 KUHP, yakni Perbuatan Cabul antara lain;
1.
perlunya
perlindungan atas rasa aman
2.
alasan
Ketahanan dan perlindungan anak
3.
alasan
keagamaan dan keyakinan, alasan Pembangunan Karakter Bangsa dan Ketahanan
Nasional
4.
alasan
Perlindungan terhadap Hak Asasi Masyarakat yang adil dan Beradab,
5.
alasan
Kesehatan, alasan Perlindungan Terhadap Lingkungan yang Sehat dan Bebas dari
Pengaruh Asing yang Destruktif terhadap Kehidupan Bangsa
V.
Putusan dan Pertimbangan Hakim Mahkamah
Konstitusi
a.
Putusan
KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum
sebagaimana diuraikan
di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo;
[4.1] Para Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonana quo;
[4.1] Pokok permohonan
tidak beralasan menurut hukum.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
b.
Pertimbangan Hakim
Dalam pertimbangannya Lima
hakim menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi secara doktriner dalam sejarah pembentukan
Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewenangan sebagai negative
legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan
undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen dalam membuat
undang-undang atau peraturan membatasi bahwa positive legislator tidak
dapat dilakukan ketika menyangkut norma hukum pidana. Menurut lima hakim tersebut bahwa positive
legislator bertentangan dengan demokrasi; dinilai bertentangan dengan
pertanggungjawaban atas pemilih. Hal ini berakar pada asumsi bahwa mayoritas
merupakan sumber utama dari pembuatan peraturan yang sah dalam demokrasi yang
terletak pada kehendak mayoritas rakyat atau perwakilan yang dipilih.
Sementara pertimbangan 4 (empat) hakim dalam dissenting opinion berpendapat mahkamah dapat menjadi "positive legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilakukan. Manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.
VI.
CATATAN ANATOR
Jika membaca dalil dan petitum dari para
pemohon, dapat disimpulkan bahwa Para
Pemohon meminta MK untuk memperluas cakupan atau ruang lingkup, dan
mengubah jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam pasal-pasal KUHP yang
dimohonkan pengujian. Hal ini dikarenakan menurut para pemohon, pasal-pasal
tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.
Untuk Pasal 284 yang mengatur tentang
perzinaan, di mana pemohon menghendaki
agar pasal tersebut mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah di mana
dalam pasal tesebut hanya sebatas terikat perkawinan yang sah.
Menurut anator bisa dipahami, KUHP yang
menganut kebebasan ditelan mentah-mentah oleh Penyelenggara negara dijadikan
Hukum, sementara menunggu Revisi RUU KUHP sudah hamper 5 Dekade tidak ada
perkembangan yang berarti dan t tidak ada tanda tanda untuk di sahkan oleh
legaslitive. KUHP menilah persetubuhan dalam yang dilakukan oleh seseorang yang
diketahuinya bahwa yang melakukan perbatan tersebut berada dalam satu ikatan
perkawinan disebut dengan overspel. Dalam bahsa hukum di Indonesia oversel
tersebut ada nama lain dari perzinahan, perbutannyya sendiri adalah
persetubuhan. Makna zina sendiri menurut hukum yang hidup di Indonesia atau
menutut pikiran Hukum masyarakat Indonesia adalah persetubuhan yang dilakukan
di luar ikatan tanpa melihat apakah yang melakukan perbuatan tersebut diketahu
berada dalam ikatan perkawinan atau tidak. Artinya makna zina tereduksi
maknanya menjadi lebih sempit oleh KUHP hanya sebatas persetubuhan yang
dilakukan oleh seseorang yang diketahuinya satu pihak yang melakukan perbuatan
tersebut berada dalam ikatan perkawinan perkawinan.
Anator berpendapat, jika pasal 284 KUHP saat
dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi meminta perluasan makna Overpel
atau (zina) menurut pikiran Hukum Masayarakat Indonesia mungkin saja putusan MK
tidak sebagaimana putusan MK no 46/PUU/IV/2016, dan tidak terjadi perdebatan
diantara hakim Konstitusi antara positive legislator atau negative legislator.
Makna zina menurut pikiran hukum masyarakat Indonesia sesuai hukum yang hidup
di masyarakat adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki
ikatan perkawinan yang sah menurut agama. paling perdebatan antara hakim
Konstitusi hanya pada ranah ikatan Perkawinan menurut agama atau menurut
negara.
Kekhawatirannya bagi pembela hak Asasi
Manusia adalah jika seseorang yang sama sama yang tidak memiliki ikatan
perkawinan, contohnya persetubuhan antara perawan dan perjaka, perawan dengan
duda, Jejaka dengan Janda, duda dengan janda, dipandang melanggar hak asasi
manusia. negara terlalu jauh mengurus urusan ranjang yang sangat privat menjadi
urusan public, sehingga banyak terjadi di masyarakat persekusi yang dilakukan
kepada pasangan yang diduga melakukan perbuatan persetubuhan diluar ikatan
perkawinan yang sah. Maka anator berpendapat permohonan meminta MK memkanai
zina sebagaimana pikiran hukum masyarakat Indonesia menjadi penting. Sebab perbuatan
persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah sangat bertentangan
dengan pikiran hukum masyarakat Indonesia yang menjungjung Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perdebatan hukum pidana terhadap pelaku perzinahan adalah persoalan lain.
Pasal 285 yang mengatur tentang pemerkosaan,
akan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh yang
tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan tetapi juga dilakukan
oleh perempuan terhadap laki-laki;
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim
Kosntitusi berpendapat bahwa pengujian pasal 285 tentang pemerkosaan menolak
permohonan pemohon yang intinya tidak berkait dengan kekerasan dalam rumah
tangga yang tekah diatur oleh undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang
Nomor 23 Tahun 20014 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Anator
sendiri melihat perkosaan adalah perbutan persetubuhan ketika seseorang memaksa
orang lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi alat kelamin
perempuan dengan alat kelamin laki-laki, secara paksa atau dengan cara
kekerasan. Dengan begitu perkosaan persetubuhan dengan cara menundukkan
dengan kekerasan atau menyerang dengan kekerasan. Sementara Menurut
Black's Law Dictionary, perkosaan adalah hubungan seksual yang melawan
hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan
secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang
laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya. Tindak
persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan
bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika perlawanan perempuan
tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan, atau di bawah keadaan
penghalang.
Dalam hal ini perkosaan terjadi apabila
seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk
bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka
dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. Banyak jenis dari perkosaan
menurut ilmu pengetahuan lainnya. Akan halnya jika apakah perempuan bisa melakukan perkosaan terhadap laki laki
sebagaimana dalil pemohon dalam permohonan. Menurut anator dalam hal ini semua
laki laki bisa bersetubuh dengan seorang wanita dalam kondisi ia berkehendak dan
tidak bisa kalau dia tidak berkehendak. Sebaliknya dengan perempuan bisa
melakukan persetubuhan dalam kondisi memiliki kehendak dan bisa juga bila dia
tidak berkehendak.
Pasal 292 Orang
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal ini dimintakan oleh pemohon agar Setiap
orang melakukan perbuatan cabul terhadap dengan orang lain.
Dalam hal ini sebagaimana telah diuraikan
diatas, Berdasarkan putusan Mahkamah Nomor 46/PUU-XIX/2016, terdapat dua alasan
utama para pemohon mengajukan judicial review ke MK, yaitu.
1.
Alasan ketahanan keluarga; dan
2.
Perlindungan terhadap nilai-nilai agama di
Indonesia.
Anator
berpendapat, sebagaimana telah diurai dalam pasal 284 permohonan mengenai
pengubahan frasa tersebut tidak tepat sasaran. Karena mengubah frasa tertentu
terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti merubah pula sifat melawan
hukum itu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana
tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum
pidana.
Mengenai
kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan tidak dapat dilakukan oleh
MK, sebab hal tersebut merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan
seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang notabene
merupakan kewenangan eksklusif pembentuk Undang-Undang.
Anator
berpendapat mengerti mengapa para pemohon mengajukan permohonan ini. Karena semua
mempunyai kekhawatiran yang sama akan nasib bangsa ini dengan orang-orang yang
berada di dalamnya. Maka dipandang perlu melakukan uji judicial review kembali ke mahkamah Konstitusi meminta meminta
mahkamah memberi pemaknaan terhadap perbuatan cabul terhadap sesama
kelamin/homoseks sebagaiman pikiran hukum masyarakat Indonesia.