Dalam Perkara Tindak Pidana
atas nama Terdakwa dr.Dewa Ayu Sasiary dkk
Oleh : Dhona El Furqon
1.
Kasus Posisi.
Pada hari Jumat tanggal 9 April 2010
Korban (SISKA MAKATEY) dibawa ke Puskesmas Bahu untuk melahirkan secara
normal. Meski esok paginya 10 April
2010, telah pecah ketuban dan pembukaan
rahim sudah 8 sampai 9 cm, kondisi korban tidak bisa melahirkan secara normal.
Pada esok harinya Tanggal 10 April 2010 SISKA MAKATEY oleh bidan
Puskemas Bahu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang
Kota Manado karena tidak bisa melahirkan secara normal dengan harapan di rumah
sakit Malalayang untuk dioperasi. Bahwa
yang mengantar korban ke rumah sakit Malalayang adalah bidan. Sewaktu korban
dibawah ke rumah sakit Malalayang pembukaan rahimnya sudah 8 sampai 9 cm, akan
tetapi kondisi lemah.
Setelah masuk RS, Siska diperiksa USG dan hasilnya
Siska dalam keadaan baik dan akan diusahakan untuk melahirkan secara normal.
Infus dipasang sejak Siska masuk kamar UGD.
Pada pukul 18.00 WITA, pembukaan untuk melahirkan sudah
lengkap, tetapi posisi bayi masih tinggi. Setelah dr Ayu dkk berkonsultasi dan
konsuler menyarankan Siska melahirkan secara normal dengan posisi korban harus
dimiringkan. Namun setelah dilakukan tidak berhasil.
Pada pukul 18.30 WITA dikonsultasikan lagi ke bagian anastesi dan ahli anastesi memberikan persetujuan untuk dioperasi. Ketika korban masuk RS, tekanan darah adalah 160/70. Menurut ahli Johanis F Mallo, tekanan darah itu termasuk tinggi. Sedangkan denyut nadi Siska 180 per menit.
Atas dasar itulah, dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) melakukan operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap diri korban SISKA MAKATEY. Pada saat korban SISKA MAKATEY sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan Asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pedarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit
Pada saat operasi dilakukan, dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II)
sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) sebagai
asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang
dilakukan oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) sebagai pelaksana
operasi/ operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi
bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI
(Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
Pada pukul 20.55 WITA, operasi pun dimulai. Beberapa
kejadian yang terjadi dalam proses operasi yaitu pada sayatan pertama keluar
darah warna hitam. Hal ini berarti secara medis salah satu penyebabnya adalah
korban kekurangan oksigen. Atas hal itu, dr Ayu dkk menyampaikan kepada dokter anastesi, dr Anita
Lengkong dan dr Anita memerintahkan operasi tetap dilanjutkan. Namun beberapa
saat setelah operasi dinyatakan selesai, pasien dinyatakan meninggal dunia.
Adapun bayi dapat bertahan hidup.
Dalam Kasus ini Tiga orang dokter dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK
(Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) didakwa oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Mandao dengan tiga
Dakwaan dan diputus oleh mejelis Hakim Pengadilan Negeri Manado sebagaimana
Putusan NO.90/PID.B/2011/PN.MDO dengan;
1.
Menyatakan Terdakwa
I dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terdakwa II dr. HENDRY SIMANJUNTAK dan Terdakwa
III dr. HENDY SIAGIAN, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan
kedua dan dakwaan ketiga primer dan subsidair ;
2.
Membebaskan
Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh karena itu dari semua dakwaan
(Vrijspraak) ;
3.
Memulihkan hak para
Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa Berkas catatan medis No.cm.041969 atas nama SISKA MAKATEY
Sebagaimana
terlampir dalam berkas perkara ;
5.
Membebakan biaya
perkara ini kepada Negara
Tidak puas dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado, Jaksa
penuntut umum melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung, di mana Majelis Hakim
Mahkamah Agung memutus, sebagaimana Putusan nomor 365 K / Pid / 2012 dengan
amar putusannya:
M E N G A D I L I
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Manado tersebut;
Membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/ PN.MDO tanggal 22 September 2011.
MENGADILI SENDIRI
·
Menyatakan Para
Terdakwa : dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK
(Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”;
·
Menjatuhkan pidana
terhadap Para Terdakwa : dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY
SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dengan pidana
penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan;
·
Menetapkan barang
bukti berupa : Berkas catatan medis No.CM.041969 atas nama SISKA MAKATEY sebagaimana terlampir dalam berkas perkara ;
·
Membebankan Para
Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan masing-masing
sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Pada Tanggal 25 Februari 2013, Para Terdakwa melakukan Upaya Huukum
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas Putusan Kasasi Mahmah Agung. Majelis
Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan
P U T U S A N No. 79
PK/PID/2013;
M
E N G
A D I
L I
Mengabulkan
permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para
Terpidana : I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan
III. dr. HENDY SIAGIAN tersebut ;
Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Manado No.
90/PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September 2011 ;
M E N G A D I L I K E M B A L I
1.
Menyatakan
Terpidana I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terpidana II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK,
dan Terpidana III. dr. HENDY SIAGIAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh
Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, atau
dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga Primair, Ketiga Subsidair ;
2.
Membebaskan
Terpidana I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terpidana II. dr. HENDRY
SIMANJUNTAK, dan Terpidana III. dr. HENDY SIAGIAN oleh karena itu dari semua
dakwaan tersebut ;
3.
Memulihkan hak Para
Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ; 4.
Memerintahkan agar Para Terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan ;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa : Berkas catatan medis No. cm.041969 atas nama SISKA MAKATEY
terdiri Tetap dilampirkan dalam berkas perkara ;
2. Tentang Dakwaan
Para Terdakwa dalam Perkara ini dakwa dengan Tiga
dakwaan
Pertama:
Primair
Pasal 359 KUHP Jis.
Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa
I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III)
baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu
tanggal 10 April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00 Wita atau
setidaktidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di Ruangan Operasi
Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Manado telah melakukan,
menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain yaitu korban SISKA MAKATEY
Subsidair
Pasal 359 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut
serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain yaitu korban SISKA MAKATEY
Kedua
Pasal 76
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik
Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke- 1 KUHP
Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa
I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III)
baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada waktu dan
tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP)
Ketiga
Primair
263 ayat (1) KUHP
Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa
I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III)
baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada waktu dan
tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu dan Kedua di atas, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut
serta melakukan perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu dan jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian
Subsidair
Pasal 263 ayat (2)
KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
dengan sengaja telah melakukan, menyuruh
lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak
benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian
Apabila diperhatikan secara cermat, dari kelima dakwaan tersebut tindak
pidana didakwakan penuntut umum seluruhnya merupakan tindak pidana Kriminal .
Padahal kasus ini merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi berkenaan dengan
perbuatan yang diambil oleh Terdakwa selaku dokter operator di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Oleh
karena itu dari awal seharusnya Penyidik juga harus mengarahkan pemeriksaan
perkara terhadap kemungkinan adanya tindak pidana lain selain tindak pidana
kedokteran lainnya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
Menurut hemat
anator, sulit bagi Terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Dokter untuk mengindari dari pasal dakwaan didakwakan oleh
Jaksa Penuntut umum. sebagaimana pasal 1 ayat (11) menyatakan:
Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,
kompetensi yang diperoleh melalui yang
berjenjang, ank kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
Dalam hal ini para terdakwa sebagai dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado
melakukan pekerjaan melayani masyarakat yang membutuhkan bantuan dokter dalam
rangka untuk kesehatannya. Adapun kejadian yang menimpa SISKA MAKATEEY
sebagaimana terungkap dalam Pengadilan Tingkat Pertama, apa yang dilakukan oleh
Para Terdakwa telah memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional. Tentang adanya Emboli yang masuk ke pembuluh
darah korban saat dilakukan operasi terhadap korban SISKA MAKATEEY oleh PARA
TERDAKWA, sebagaimana dalam persidangan di tingkat Pertama dibuktikan secara
Ilmiah bahwa Para TERDAKWA terlah bekerja sesuai dengan standar operasional,
bahwa emboli yang masuk pada jantung korban sehingga korban meninggal dunia
tidak bisa diduga oleh PARA TERDAKWA, dan operasi yang dilakukan oleh PARA
TERDAKWA merupakan operasi yang tidak memerlukan pemeriksaan sebelumnya dari
para ahli.
Seharusnya
Jaksa Penuntut Umum juga mendakwa dokter yang memberikan izin agar korban untuk
dioperasi, padahal sebagaimana jejak rekam medis yang terungkap dalam
persidangan, KORBAN dalam kondisi tidak baik secara rekam medis.
Bahwa dr.
DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan
dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dalam melaksanakan operasi CITO SECSIO SESARIA
terhadap korban SISKA MAKATEY, para terdakwa hanya memiliki sertipikat
kompetensi tetapi para terdakwa tidak mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP)
kedokteran dan tidak terdapat pelimpahan/ persetujuan untuk melakukan suatu
tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki Surat
Ijin Praktik (SIP) kedokteran/ yang berhak memberikan persetujuan sedangkan
untuk melakukan tindakan praktik kedokteran termasuk operasi CITO yang
dilakukan oleh para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki
Surat Ijin Praktik (SIP
Sebagaimana yang terungkap dipengadilan bahwa TERDAKWA sudah dari
100(seratus) kali melakukan operasi belum pernah Terdakwa menemui kasus yang
terjadi pada Kasus Korban SISKA MAKAATEY.
Dalam hal dakwaan ketiga bahwa PARA TERDAKWA dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta
melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu,
seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian sebagaimana dalam persidangan diakui oleh Para
TERDAKWA bahwa korban SISKA MAKATEEY, meminta untuk dioperasi, dan surat
persetujuan operasi dilakukan oleh Korban dalam Posisi miring dan dalam kondisi kesakitan atau tidak baik,
sehingga tanda tangan Korban tidak seusai dengan tanda Tangan yang tertera
dalam KTP Korban dan Slip Rekening Bank Korban.
3. Pertimbangan Hukum Putusan
A.
Pertimbangan
Putusan Pengadilan Negeri di halaman 91
Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
maka menurut Majelis Hakim kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan dari semua
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu : Dakwaan kesatu Primair melanggar pasal 359
KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar
pasal 359 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Kedua pasal 76
Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran Jo pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUHP, Dakwaan Ketiga Primair melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP Jo
pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP Jo
pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut
B.
Pertimbangan Hukum
yang Pada Putusan Kasasi di Halaman
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat : Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dapat dibenarkan
karena dengan pertimbangan sebagai berikut :
1.
Judex Facti salah
menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang
relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. No. 041969 yang
telah dibaca oleh saksi ahli dr. ERWIN GIDION KRISTANTO, SH. Sp.F. bahwa pada
saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan
umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat;
2.
Para Terdakwa
sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para
Terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan
yang dapat terjadi terhadap diri korban;
3.
Perbuatan Para
Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi
emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah
masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
4.
Perbuatan Para Terdakwa
mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat
Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No.
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010;
Dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 359 KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan
C.
Pertimbangan Hukum
Putusan Peninjauan Kembali
Meski ada dissenting opinion
pada majelis Peninjauan kembali maka dalam kesimpulan pertimbangannya majelis
hakim Peninjauan kembali menyatakan :
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan
peninjauan kembali harus dinyatakan dapat dibenarkan, oleh karena itu
berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup
alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 tanggal
18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No.
90/PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September 2011 dan Mahkamah Agung akan
mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang akan disebutkan di
bawah ini ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Para
Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III dikabulkan dan Para Pemohon
Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III dibebaskan dari semua
dakwaan, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan pada pemeriksaan
peninjauan kembali dibebankan kepada Negara ;
Memperhatikan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981,
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain
yang bersangkutan
4. Analisa Anotator
Mahkamah Konstitusi (MK)
pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya
satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan
anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali.
Namun, Mahkamah Agung (MA)
akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur
bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya
dapat dilakukan satu kali.
Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah
suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman)
dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Putusan pengadilan yang disebut
mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). PK tidak dapat ditempuh
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan
itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam
persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam
sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan
pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri,
sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah
Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya
terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat
dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir,
mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan
kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum
pernah diungkapkan dalam persidangan
Dalam Prinsip umum peninjauan kembali, ada tiga, Pertama, Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula, Kedua, tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi, Ketiga sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung satu kali. Sementara yang dapat mengajukan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau ahli waris atau Kuasa hukum. sedangkan alas an pengajuan Peninjauan Kembali adalah, keadaan Baru atau Kesalahan atau kekhilafan hakim.
Sementara dalam Kasus SISKA
MAKATEEY, Terhadap
kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai sumpah atau kaidah etika
profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh Organisasi Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan atau atasan langsung yang berwenang (Departemen Kesehatan
RI). Pemeriksaan dibantu oleh perangkan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah
lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan
dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran
gigi, dan menetapkan sanksi.[1] Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:
a.
menerima
pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan; dan
b.
menyusun
pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.
Dihubungkan dengan
perkara ini, bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memiliki
peran sebagai badan pengawas dan penegak disiplin dokter dan dokter gigi di
Indonesia. Dalam kasus ini, apabila dalam penanganan operasi tersebut tidak
sesuai dengan SOP (Standard Operasional
Prosedur) dan yang menilai telah terjadi kesalahan dalam penanganan operasi
tersebut adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kewenangan
tersebut merupakan kewenangan delegasi dari Pasal 1 angka 14 dan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Putusan Kasasi
Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 memutuskan bahwa para telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” (vide Pasal 359 KUHP). Kemudian atas beberapa pertimbangan, dalam
putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No.79PK/Pid.2013, menyatakan bahwa
para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primair, Kesatu
Subsidair, atau dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga Primair, Ketiga Subsidair.
Pasal 359 KUHP, yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa “barang siapa karena
kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Mati orang dalam pasal ini
tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut
hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik
culpa). Unsur “karena salahnya”
artinya kurang hati-hati, lalai, lupa atau kurang perhatian.[2] Unsur kesalahan dalam
Pasal ini ditekankan kepada unsur kealpaan. Kesalahan dokter dalam melaksanakan
tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian (culpa). Kesalahan dalam pasal ini mengatur mengenai norma hukum
pidana materiil yang terdapat unsur kealpaan, bukan mengenai norma hukum
administratif.
Seorang dokter dalam
menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha mempertahankan
supaya tubuh pasien tetap sehat atau berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien,
atau setidak-tidaknya mengurangi penderitaan pasien. Dalam menjalankan
profesinya, dokter dilindungi oleh Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Penyelenggaraan
praktik kedokteran dilaksanakan dengan instrumen hukum administratif berupa
Surat Izin Praktik. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat
tanda registrasi dokter gigi.[3] Selain itu, Setiap dokter
dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat izin praktik.[4]
Aspek yang sangat penting yaitu bahwa dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan oleh seorang dokter, harus didasarkan kepada informed consent dan harus adanya transaksi terapeutik terlebih
dahulu.
Dalam kasus diatas,
aspek informed consent terlihat
diabaikan oleh para dokter. Hal tersebutdalam dibuktikan berupa tanda tangan korban yang berada di
dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi
yang diserahkan oleh dr.Hendy Siagian untuk ditandatangani oleh korban tersebut
berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan Kartu Askes. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium
Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Labolatorium
Kriminalistik menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia
Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ “Spurious Signature“.
Dari pembuktian tersebut,
aspek informed consent dan adanya
transaksi terapeutik merupakan dasar seorang dokter untuk melakukan suatu
tindakan medis. Dengan diabaikannya aspek informed
consent dan transaksi terapeutik maka dalam ajaran ilmu hukum pidana, hal
tersebut termasuk dalam kelalaian seorang dokter dalam menjalankan suatu
tindakan medis. Untuk dapat dipidananya seorang dokter yang melakukan suatu
tindakan medis tanpa didahului oleh aspek informed
consent dan transasi terapeutik maka pihak yang berwenang harus dapat membuktikannya.
Tanpa adanya aspek informed consent
dalam suatu tindakan medis, maka hal tersebut dapat masuk dalam elemen
kesalahan yang dimaksudkan dalam pasal 359 KUHP.
[1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Republik Indonesia No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Jo. Pasal 1
angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktek dan pelaksanaan praktek kedokteran.
[2] R. Soesilo, KUHP : Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1995, hlm.248.
[3] Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia
No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
[4] Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia
No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
No comments:
Post a Comment