Putusan
Peninjauan Kembali Sujiono Timan
Oleh:
Dhona El Furqon
I. Posisi Kasus
Sudjiono
Timan merupakan seoorang pengusaha
ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).
Mahkamah Agung pada tahun 2013 lalu membebaskan Sudjiono Timan dari segala
tuduhan terkait dugaan korupsi BPUI. Putusan tersebut juga menganulir putusan
kasasi yang memvonis Timan 15 tahun dan denda Rp 50 juta. sebagaimana dalam
Anggaran Dasarnya PT. BPUI didirikan dengan tujuan:
(1) Kegiatan usaha PT. BPUI ditujukan pada
pengusaha kecil dan menengah, dan,
(2) dalam kegiatan usahanya tidak boleh
mengabaikan kaedah-kaedah (asas-asas) berusaha yang sehat.
Pada kenyataannya Sudjiono Timan
bekerjasama dengan pihak lain dan telah
memberikan kredit tanpa agunan dengan cover investasi penempatan dana
(placement line) melalui pembelian surat utang (Promissory Note) Kredit Asia Finance Limited (KAFL), Festival
Company Inc, dan Penta Investment Limited serta penggunaan fasilitas Rekening
Dana Investasi (RDI) yang menguntungkan pihak-pihak lain (Agus Anwar, Prayogo
Pangestu dan lain-lain), yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar
US$ 178,942,801,93 (seratus tujuhpuluh delapan juta Sembilan ratus empatpuluh
dua ribu delapan ratus satu Dollar Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,56
(tigaratus enampuluh Sembilan miliar empatratus empatpuluh enam juta
sembilanratus lima ribu rupiah dan limapuluh enam sen). Penempatan-penempatan
dana melalui pembelian surat utang (Promissory Note / Commercial paper)
tersebut selain dilakukan tanpa prosedur
transaksi keuangan seperti due
diligence, tidak memenuhi kriteria wajar sebagai commercial paper, tidak ada
persetujuan Komite Investasi dan juga dilakukan untuk kepentingan “debitur PT.
BPUI” sendiri yaitu PT. Elok Unggul (Kredit tanpa jaminan), Prayogo
Pangestu dan Jubile Venture Limited,
yang pada dasarnya merupakan pemberian kredit tanpa agunan.
Hal
inilah, pihak penegak Hukum memnganggap bahwa Sudjiono Timan telah menyalagunakan
kewenangannya sebagai direktur utama PT BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada
Festival Company Inc., Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar
34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga
negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan 98,7 dolar
singapura
Pada
pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel Sudjiono Timan dibebaskan
dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi
vonis bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke tingkat MA.
Pada
Jumat, 3
Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman
15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369
miliar.
Tidak
terima dengan Keputusan Kasasi Mahkamah Agung kemudian istri Sudjiono Timan
selaku ahli waris mengajukan Peninjauan Kembali di tingkat MA. Majelis
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 13 Juli 2013 dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
dari istri terpidana di mana terpidana sendiri saat permohonan tersebut
diajukan sedang melarikan diri (buron). Dalam pertimbangannya majelis
menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan istri terpidana tersebut sah, oleh
karena istri termasuk dalam pengertian 'ahli waris' sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap Terpidana atau Ahli Warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Menurut majelis hak PK
yang dimiliki Ahli Waris tersebut dapat digunakan terlepas dari apakah
terpidana telah meninggal atau belum.
Namun
demikian putusan ini tidak bulat, salah seorang anggota majelis memiliki
pendapat yang berbeda. Menurutnya hak PK Ahli Waris baru timbul jika Terpidana
telah meninggal dunia. Atas dasar itu anggota majelis tersebut menyatakan
permohonan PK yang diajukan istri Terpidana dalam kasus ini seharusnya
dinyatakan tidak dapat diterima.
II.
Dakwaan dan Putusan
a. Pengadilan
Jakarta Selatan
dakwaan
Konstruksi
Dakwaan Terhadap oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa SUDJIONO TIMAN yakni
subsidairitas (Primair-Subsidair), didakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi :
PRIMAIR
melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3
tahun 1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;
SUBSIDAIR
melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3
tahun 1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;
Adapun
unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak
Pidana Korupsi adalah sebagai berikut ;
a.
Barang
siapa
Berarti
dapat diartikan siapa saja. Bahkan dengan menghubungkan barang siapa itu dengan
penafsiaran Pasal 2 beserta penjelasannya, diartikan bahwa swasta pun dapat
menjadi subjek dari Pasal 1 ayat 1 sub a diperkuat dengan adanya yurisprudensi
Mahkamah Agung melalui putusan MA No. 471 K/Kr/1979.
b.
Melawan
hukum
Merujuk
ke penjelasan otentik adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat
dihukum.
c.
Memperkaya
diri pribadi atau orang lain atau suatu badan
Secara
harfiah dapat diartikan memperkaya diri pribadi berarti menjadikan bertambah kaya. Sedangkan kaya artinya
mempunyau banyak harta. Dengan demikian, dapat diartikan menjadikan orang yang
belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi tambah kaya.
d.
Merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara
Dengan
merujuk kepada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 setelah di baca tidak ada
penjelasan. Akan tetapi menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
1.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di
daerah.
2.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban BUMN, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
3.
Sedangkan
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan kepada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahtraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Adapun
unsur-unsur utama Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah
sebagai berikut ;
a.
Menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana Subjek hukumnya berarti disyaratkan harus
memiliki kapasitas sebagai orang yan memiliki jabatan atau kedudukan dalam
suatu organisasi/lembaga baik jabatan
dalam pemerintahan maupun non pemerintahan seperti pengurus yayasan, koperasi
atau badan hukum perusahaan yang mengandung
persyaratan modal atau fasilitas dari keuangan negara. Kewenangan
kesempatan, atau sarana yang ada padanya adalah kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang diperoleh karena jabatan atau kedudukannya. Seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada padanya karena
jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana
pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan
itu dia mempunyai kedudukan dan tanggung jawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan
No.892K/Pid/1983).
b.
Yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan Seorang yang bukan pegawai negeri
dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada
padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang
menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan itu dia mempunyai
kedudukan dan tanggung jawab atas
penggunaan uang negara tersebut (putusan No.892K/Pid/1983).
Amar
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel
tanggal 25 Nopember 2002,berbunyi:
1. Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
2. Melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan
hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
4. Memerintahkan
barang bukti berupa surat-surat kepada yang berhak
b. Kasasi Mahkamah Agung
Amar
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 tanggal 03 Desember 2004
(Kasasi) berbunyi:
- Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
Jaksa/Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut;
- Membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 Nopember 2002, Nomor:
1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel;
MENGADILI SENDIRI:
1.
Menyatakan bahwa Terdakwa SUDJIONO TIMAN
tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama
melakukan tindak pidana korupsi;
2.
Menghukum Terdakwa SUDJIONO TIMAN oleh karena
itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun;
3.
Menetapkan masa tahanan yang pernah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.
Menghukum pula kepada Terdakwa dengan pidana
denda sebesar Rp.50.000.000,-(Lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
5.
Menghukum pula kepada Terdakwa dengan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000.00(Sembilan
puluh delapan juta dollar Amerika
Serikat) dan Rp.369.446.905.115,-(tigaratus enampuluh Sembilan milliard
empatratus empat puluh enam juta Sembilan ratus lima ribu seratus lima belas
rupiah);
6.
Menetapkan barang-barang bukti berupa dokumen
digunakan untuk perkara lain, sedangkan berupa Tanah Kavling HGB di Kunngan
Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama dan Rekening an SUDJIONO
TIMAN dan Fanny Barkie Timan dirampas untuk Negara
c. Putusan Peninjauan Kembali (Mahkamah
Agung)
Amar
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tanggal 31 Juli 2013
(Peninjauan Kembali), berbunyi:
- Mengabulkan
permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Fanny barki
(istri) selaku Ahli Waris Terpidana SUDJIONO TIMAN tersebut;
- Membatalkan
putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003, tanggal 03 Desember 2004 yang
membatalkan putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan No.
1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 Nopember 2002;
- MENGADILI
SENDIRI
1. Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
2. Melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan
hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
4. Memerintahkan
barang bukti berupa surat-surat dipergunakan untuk perkara lain, dan sedangkan
berupa Tanah Kavling HGB di Kunngan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima
Citra Utama dan Rekening an SUDJIONO TIMAN dan Fanny Barkie Timan
dikembalikan kepada yang berhak.
III. Alasan Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali kasus Sudjiono Timan yang
diajukan oleh Istrinya dengan Alasan-alasan sebagai berikut:
1. ALASAN
KESATU
Majelis Hakim Tingkat Kasasi yang membenarkan
keberatan-keberatan kasasi Penuntut Umum telah melakukan kekhilafan/kekeliruan
yang nyata dalam menerapkan pengertian “melawan hukum” dalam tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun
1971 dengan cara mengacu seolah-olah pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No.3 Tahun 1971, padahal yang dikutip Majelis Hakim Tingkat
Kasasi adalah Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ;
2. Alasan
kedua
Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah pula
melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam menerapkan unsur “melawan
hukum” dalam arti melawan hukum secara materil dengan fungsi positif dalam
perkara ini.
3. Alasan
ketiga
Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah melakukan
kekhilafan yang nyata dalam menginterpretasikan perbuatan SUDJIONO TIMAN
sebagai “tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara bersama-sama.
4. Alasan
Keempat
Putusan Majelis Hakim Tingkat Kasasi
mengandung kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena didasarkan pada
pertimbangan yang keliru, yaitu keliru dalam memberikan penilaian atas harta
benda SUDJIONO TIMAN
5. Alasan
Kelima
Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah melakukan
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata
dengan menjadikan pertimbangan hukum seluruh dalil Penuntut Umum yang
nyata-nyata mengandung kekeliruan dan kekhilafan sebagai dasar memutus Putusan
Tingkat Kasasi
IV. Pertimbangan Hakim Majelis Peninjauan
Kembali
1. Legal
Standing diterimanya Pemohon Peninjauan Kembali.
Pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali adalah
sebagai berikut; Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana
Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan
permintaan Peninjauan kembali berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan
Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
adalah Terpidana atau Ahli Warisnya ;
- Bahwa
Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang
hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akte
Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991) ;
- Bahwa
KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal
263 ayat (1) tersebut ;
- Bahwa
dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli
Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya ;
- Bahwa
makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan
bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana,
melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai
kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan
kembali ;
- Bahwa
menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa
hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi”
yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak
orisinil” yang diberikan undangundang kepada mereka demi untuk kepentingan
Terpidana ;
- Bahwa
berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana maupun Ahli
Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan kembali tanpa
mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak ; lagi pula undang-undang
tidak menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris ;
- Bahwa
Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang didampingi
oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan kembali pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan
masing-masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari 2012
2. Bahwa
alasan-alasan Pemohon Peninjauan kembali yang mendasarkan permohonannya pada
adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari putusan Hakim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, in casu dalam putusan Majelis Hakim Kasasi telah terdapat
kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa
pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi pada halaman 228-229 angka 2 terdapat
kekeliruan yang nyata sebab Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tidak berbunyi seperti apa yang dikutip oleh
Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya pada halaman 228-229 a quo. Pada
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak tercantum
ayat (1) dan penjelasannya tidak menyangkut mengenai pengertian melawan hukum,
melainkan menyangkut pengertian Pegawai Negeri ;
- Bahwa
uraian penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dimuat
dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi pada halaman 228-229 adalah
penggalan dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk jelasnya berbunyi :
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum”
dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” ;
Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tersebut tidak secara tegas didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum ;
- Bahwa
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang
perbuatan melawan hukum materiil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan
melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif sudah tidak tepat lagi
diterapkan dalam perkara Pemohon Peninjauan kembali ;
- Bahwa
Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya Nomor 434 K/Pid/2003 pada halaman 232-233
hanya membuktikan unsur melawan hukum saja dengan menerapkan pengertian melawan
hukum secara materiil dengan fungsi positif, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur
pokok lainnya, padahal unsur-unsur tersebut merupakan “bestandelen”. Majelis
Hakim Kasasi tidak membuktikan dan hanya mengambil alih pertimbangan hukum
Judex Facti mengenai unsur-unsur lainnya selain dari unsur “melawan hukum”
dalam dakwaan Primair, dan berpendapat bahwa unsur-unsur lainnya dari tindak
pidana tersebut telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa ;
- Bahwa
Terpidana Sudjiono Timan tidak cukup untuk dinyatakan telah melakukan tindak
pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan
Terpidana bersifat melawan hukum materiil, melainkan perlu juga dibuktikan
apakah memang perbuatan Terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana
korupsi (memenuhi rumusan delik) sehingga perbuatan Terpidana tersebut bersifat
melawan hukum formil ;
- Bahwa
ternyata Majelis Hakim Kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya
mempertimbangkan kalau Terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang
bersifat internal Persero seperti Anggaran Dasar PT. Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia (PT. BPUI), Surat Penetapan Investment Committee tanggal 31 Agustus
1994 No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarantee
Agreement antara Bahana dengan Primawira tanggal 20 September 1996, Perjanjian
Pinjaman (Loan Agreement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjian Pinjaman
Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI327/PP3/1997,
tetapi Terpidana tidak ditemukan melanggar aturan formil yaitu ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
- Bahwa
kalau Majelis Hakim Kasasi menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut
telah terpenuhi dengan mengambil alih pertimbangan hukum Judex Facti mengenai
unsur-unsur lainnya selain unsur melawan hukum dalam dakwaan Primair, maka itu
pun putusan Majelis Hakim Kasasi tidak tepat dan keliru mengambil alih
pertimbangan Judex Facti/Pengadilan Negeri, sebab bukankah Judex
Facti/Pengadilan Negeri telah mempertimbangkan dan menilai bahwa meskipun unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana
dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis
sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ;
- Bahwa
menurut Judex Facti/Pengadilan Negeri, perbuatan Sudjiono Timan selaku Direktur
Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (persero) dalam kaitan dengan
kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan KAFL, Festival Company Inc
maupun Penta Investment Ltd dan penggunaan dana Rekening Dana Investasi (RDI)
masih dalam koridor hukum perdata yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1973 serta Anggaran Dasar dan
keputusankeputusan Rapat Umum Pemegang Saham PT. Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia (persero) (halaman 313-319 putusan Pengadilan Tingkat Pertama).
Sedangkan dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur ketiga “memperkaya diri
sendiri, orang lain atau suatu badan” dan pertimbangan unsur keempat “secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara.........” menyimpulkan, baik mengenai berapa jumlah uang untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian
keuangan atau perekonomian Negara, belum dapat dihitung karena uang yang
mengalir dari PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia kepada KAFL, Festival
Company Inc maupun Penta Investment Ltd didasari hubungan perdata dalam bentuk
pinjam meminjam uang, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sebagai Kreditur
sedangkan KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd sebagai
Debitur yang saat disidangkan oleh Judex Facti masih dalam tahap negosiasi dan
restrukturisasi utang-utang Debitur serta langkah-langkah lainnya ;
- Bahwa
dengan demikian adalah suatu kekeliruan yang nyata pula apabila Majelis Hakim
Kasasi telah membebankan dan menghukum Sudjiono Timan (Terdakwa) dengan membayar
uang pengganti sejumlah utang Para Debitur yakni USD $ 98,000,000 dan
Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat
puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah lima puluh
enam sen), padahal menurut Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan
kepada Terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi ;
- Bahwa
PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dalam bentuk Persero, dengan demikian operasionalnya tunduk pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham.
Penyertaan Negara yang ditanam dalam BUMN tersebut, meskipun merupakan keuangan
Negara yang dipisahkan, akan tetapi keuangan Negara tersebut sudah menjadi
bagian dari kekayaan Persero, dan Direktur bertanggung jawab atas aktifitas
perusahaan dalam pertemuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ;
- Bahwa
fakta yang terungkap di persidangan, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sejak
berdiri tahun 1973 sampai dengan tahun 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak
Terdakwa ditunjuk sebagai Direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan
audit BPKP meraih keuntungan sebagai berikut :
Tahun 1994 untung sebesar Rp.2.000.000.000,- ;
Tahun 1995 untung sebesar Rp.11.000.000.000,-
;
Tahun 1996 untung sebesar Rp.22.000.000.000,-
;
Tahun 1997 untung sebesar Rp.23.000.000.000,-
;
Sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian
sebesar Rp.231.000.000.000,- disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap
dollar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun 1999 dan tahun 2000 juga
disebabkan oleh krisis moneter ;
- Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat alasan
pertimbangan dan kesimpulan Judex Facti/ Pengadilan Negeri yang menyatakan
bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dapat dikuatkan
dan dipertahankan
3.
Disenting
Opinion
Dalam musyawarah Majelis Hakim Agung Peninjauan
Kembali terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Anggota Majelis
yang memeriksa dan memutus perkara ini, yaitu SRI MURWAHYUNI, SH., MH. yang
berpendapat : Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
dalam perkara a quo secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan:
- Bahwa
permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ;
- Bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan
permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli
Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah
meninggal dunia ;
- Bahwa
dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah
meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri
untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434
K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun
karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara
;
- Bahwa
adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban
Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan
;
V.
Catatan
Anator
a.
Tentang
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Sebagaimana surat dakwaan jaksa penuntut
umum bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa berlangsung dari tahun 1995
secara bersama-sama dan berlanjut hingga tahun 1998. Sudjiono Timan di dakwa
oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer
pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat
(1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat
(1) sub b jo Pasal 28 jo
Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat
(1) KUHP.
Fokus masalah JPU adalah pada perbuatan
Sudjiono Timan yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut
dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksi
PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due diligence (pemeriksaan kelayanan pemberian
pinjaman) terhadap beberapa perusahaan
seperti Kredit Asia Finance Limited (KAFL), Festival Company Inc maupun Penta
Investment Ltd dan penggunaan dana subordinasi dari Rekening Dana Investasi
(RDI). Dalam hal ini JPU menggunakan perbuatan melawan hukum materil sebagai fokus
perbuatan dalam dakwaan. Perbuatan Terdakwa yang memberikan kredit tanpa
melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Perusahaan serta asas-asas
Perbankan, dianggap telah menyalahi hukum secara materil. Untuk itu dakwaan JPU
hanya berfokus pada 2 jenis perbuatan
yang dimanifestasikan dalam dakwaan JPU, yakni perbuatan melawan hukum materil
memperkaya diri sendiri Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 tahun
1999 jo Undang-Undang No. 21 tahun 2000, dan perbuatan menyalahgunakan wewenang
sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 tahun 1971 jo
Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No.21 tahun 2000.
Di sisi lain, unsur “yang diketahui atau patut
disangka” diakui di dalam doktrin hukum pidana sebagai pro parte dolus dan pro parte culpa Unsur
tersebut disebutkan secara terang di dalam undang-undang yang mana berakibat
pada sifatnya yang bestandelen.Dalam hal ini JPU telah membuktikan unsur
bestandelen tersebut di dalam dakwaan. Dakwaan JPU secara substantif, materi
perbuatan dan upaya pembuktian yang dilakukan oleh JPU cukup baik. Namun, ada 1
hal yang patut disayangkan yakni sifat dakwaan JPU yang subsidaritas. Dari sisi
kacamata penegak hukum, dakwaan subsidaritas pada dasarnya lebih effisien karena
hanya cukup membuktikan salah satu dakwaan saja, apakah dakwaan primair atau
subsidair. JPU tidak harus membuktikan kedua perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa sehingga permasalahan pembuktian dapat lebih fokus dipersidangan tanpa
harus memecah konsentrasi JPU dalam membuktikan perbuatan lainnya. Namun, patut
dicermati dalam melakukan pendakwaan terhadap jenis tindak pidana korupsi
khususnya di bidang perbankan seperti kasus a quo, dakwaan JPU seharusnya
bersifat kumulatif.
Dakwaan kumulatif dimaksudkan agar perbuatan
yang dilakukan oleh Terdakwa dapat dibuktikan seluruhnya, sehingga apabila
ternyata Terdakwa diputus bersalah oleh Majelis Hakim, maka Majelis Hakim dapat
memilih apakah akan menjatuhkan pidana menurut Pasal 63 KUHP atau Pasal 65
KUHP. Maksudnya adalah, Majelis Hakim kemudian dapat memilih apakah akan
menjatuhkan pidana berdasarkan kumulasi sanksi pidana dari perbuatan pidana,
atau menjatuhkan pidana dengan pidana terberat ditambah sepertiga. Namun, dalam
dakwaan JPU tidak mencantumkan Pasal 63 KUHP, sehingga kita dapat melihat JPU
mempunyai pandangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri.
Sebetulnya perbuatan Terdakwa termasuk dalam
rezim Undang-Undang Perbankan Dalam dakwaan JPU yang berfokus pada perbuatan
melawan hokum materil seperti yang telah disebutkan diatas, kami menilai bahwa
terdapat kelemahan di dalam dakwaan JPU tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh
Sudjiono Timan seharusnya dapat digolongkan sebagai perbuatan Tindak Pidana
Perbankan, bukan hanya tindak pidana korupsi. Melihat dakwaan JPU yang bersifat
subsidaritas, dengan dakwaan baik primer maupun subsider menggunakan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo
Undang-Undang No.31 Tahun 199 jo Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
menggunakan Pasal 1 ayat (1) sub a sebagai dakwaan primer dan Pasal 1 ayat (1)
sub b sebagai dakwaan sekunder, menjadikan dakwaan hanya berfokus pada
perbuatan korupsi Sudjiono Timan. Padahal, ruang lingkup perbuatan adalah
pada bidang Tindak Pidana Perbankan. JPU
hanya memberi dakwaan dengan menggunakan Undang-Undang Korupsi, tidak
menggunakan Undang-Undang Perbankan dan peraturan terkait mengenai Perbankan,
yang seharusnya jika digunakan, akan lebih mudah membuktikan perbuatan Sudjiono
Timan sebagai Tindak Pidana Perbankan.
Kembali ke dakwaan unsur diketahui atau patut
disangka olehnya dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun
1971 telah diakui dalam doktrin hukum
pidana sebagai pro parte dolus.
Hal ini berarti bahwa bagian atau bestandelendari yang dirumuskan oleh
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tersebut mengarah kepada unsur kesengajaan dan
kealpaan. Artinya, bahwa konsepsi adanya kesalahan, bukan harus berbentuk
kesengajaan tetapi cukup hanya kealpaan. Kesengajaan harus dipandang sebagai
“kehendak untuk melakukan perbuatan yang diketahui bahwa dilarang”, tetapi
sebagai, “kehendak untuk melakukan perbuatan yang objektif dilarang”, bukan
sebagai dolus molus (kesengajaan jahat). Hal ini
didasarkan atas beberapa hal yakni ;
a. Setiap
orang dianggap mengetahui undang-undang
b. Untuk
pengertian delik tidak diperlukan sama sekali apakah yang menjadi motif untuk
melakukan perbuatan
c. Hanya
perbuatan-perbuatan yang diketahui oleh setiap orang yang berpendidikan normal bahwa bertentangan
dengan ketertiban dan kesusilaan masyarakat (in strijd met de zedelijke en
maatschappelijke orde) yang akan ditentukan sebagai kejahatan (misdrijven).
Doktrin pro parte dolusini dapat juga ditemui
dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan, serta kejahatan kesusilaan lainnya
seperti Pasal 283, 287, 288, 290, 292 dan 293 KUHPDalam hal ini seharusnya
Majelis Hakim mempertimbangkan unsur pro parte dolus dan pro parte culpa tersebut.
Seharusnya, jika Majelis Hakim PK melihat
unsur “diketaui atau patut disangka” tersebut sebagai pro parte dolus pro parte
culpa yang merupakan bagian/Bestandelen dari rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a
Undang-Undang No.3 Tahun 1971, maka Terpidana Sudjiono Timan tidak akan mudah
untuk melepaskan diri dari tuntutan JPU. Dan menurut Anator , unsur tersebut
telah dipenuhi oleh Terpidana dalam melakukan perbuatan Tindak Pidana yang
melanggat Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Terpidana
dengan pengetahuan dan jabatannya sebagai Direktur PT.BPUI, telah mengetahui
atau patut menyangka bahwa perbuatannya tersebut dapat merugikan perekonomian
negara dan termasuk sebagai tindak pidana.
b.
Tentang
Putusan Peninjauan Kembali
Bahwa peninjauan Kembali (PK) diajukan pada
tanggal 20 Januari 2012 (Akta permohonan
No.02/Akta.Pid/PK/2012/PN.Jak.Sel) terhadap putusan Mahkamah Agung RI tanggal
03 Desember 2004 Nomor: 434 K/Pid/2003
(Putusan Kasasi) di mana PK diajukan oleh Ahli waris Terpidana yaitu istri
Terpidana Sudjiono Timan yaitu Fanny Barki (Akte Perkawinan No.542/1991).
Sementara Terpidana SUDJIONO TIMAN melarikan diri menghindari kewajibannya
melaksanakan putusan MA RI Nomor: 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana
penjara selama 15 (lima belas) tahun karna terbukti melakukan tindak pidana
korupsi.
Satu dari lima orang hakim agung yang
memeriksa PK mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) menyatakan “tidak
menerima” permohonan PK Ahli waris (istri) Terpidana, karena suaminya Terpidana
Sudjiono Timan belum meninggal dunia melainkan melarikan diri, sehingga
berdasarkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP putusan PK diambil secara suara terbanyak
(voting);
Melihat pemohon peninjauan kembali adalah
istri terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukanya sebagai ahli waris
dinilai oleh Majelis Peninjauan Kembali
berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis Peninjauan
Kembali mengacu pada doktrin Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak ahli waris
untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi”
melainkan “hak orisinil” dari ahli waris. Anator memandang ironis majelis hakim
PK yang mulia menerima permohonan PK dari ahli waris terpidana Sudjiono Timan
dengan pertimbangan sebagaimana diatas, karena bahwa memang benar berdasarkan
pendapat Yahya Harahap tersebut baik terpidana maupun ahli waris sama-sama
mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan
apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi menimbulkan tanda tanya
besar, terkait sambungan kalimat dalam paragraf tersebut yang menyatakan “lagi
pula UU tidak menentukan kedudukan prioritas diantara terpidana dengan ahli
waris”. Memang benar undang undang tidak menentukan kedudukan prioritas
diantara terpidana dengan ahli waris akan tetapi dengan di awali frasa “lagi
pula” seolah-olah Majelis Hakim PK mengamini dan/atau tidak mempermasalahkan
terpidana Sudjiono Timan yang masih buron dan itu berarti terpidana belum
pernah menjalani kewajibannya. Selain itu, di dalam doktrin hukum pidana
mengenal suatu asas de autonomie van
strafrecht . Asas tersebut menyatakan bahwa bilamana di dalam hukum pidana
tidak terdapat pengertian akan suatu hal, maka hukum pidana dapat
menggunakan pengertian dari cabang ilmu
hukum lainnya, dan dalam kasus ini seharusnya Majelis Hakim mempergunakan
pengertian ahli waris di dalam hukum perdata.
Sementara itu dilihat dari sistem hukum
perdata yang berlaku di negara RI memang benar selain anak yang sah sebagai
ahli waris dari orang tuanya, istri juga merupakan ahli waris dari suaminya. Sebgaiamana kamus besar Bahasa Indonesia kata
“ahli waris” berasal dari dua kata yakni “ ahli-ahli yang berarti /ah·li/ n anggota; orang(-orang)
yang termasuk dalam suatu golongan; keluarga atau kaum dan “waris” orang yang
berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal; megacu pada dua
kata tersebut bisa juga diartikan secara pikiran hukum bangsa Indonesa dengan
anggota keluarga yang berhak mendapatkan pusaka dari yagng telah meninggal.
Dengan demikian berarti ahli waris tidak bisa
melakukan suatu perbuatan hukum sebelum si
pewaris wafat (meninggal dunia). Dalam kasus ini akan menjadi aneh
ketika berbicara ahli waris tidak ada
pewarisnya (orang yang meninggal) pertanyannya bagaimana mungkin seorang ahli
waris sudah memperoleh gelar ahli waris ketika si pewaris masih hidup atau
tidak jelas keberadaannya (Putusan Mahkamah Agung RI 434 K/Pid/2003). Selain
itu, suami/istri yang dapat menjadi ahli waris dari pasangannya harus memenuhi
2 unsur, yakni mempunyai ikatan perkawinan yang sah dan salah satu di antara
mereka meninggal. Dengan demikian anator
berpendapat perlu adanya perbaikan “redaksi” Pasal 263 ayat (1) KUHAP terutama
penggunaan terminology “ahli waris” agar ada singkronisasi pengertian terutama
dengan bidang hukum perdata khususnya hukum waris.
Jika dikembalikan pada ulasan ini jelas bahwa
seharusnya hakim lebih ketat dan selektif terhadap permohonan pengajuan
Peninjauan Kembali oleh terpidana karena KUHAP telah mengatur secara jelas dan
rinci tentang pihakpihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali serta alasan
yang mendasari pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana.
Peninjauan Kembali (PK) pada dasarnya harus memenuhi persyaratan baik dari segi
formiil yang diatur pada pasal 263 ayat 1 tentang pihak-pihak yang berhak
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, serta harus memenuhi persyaratan
materiil yang mendasari alasan pengajuan Peninjauan Kembali setiap terpidana
yang telah diatur dalam pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c KUHAP. Pada dasarnya
alasan pertama yang dapat dijadikan dasar
dalam pengajuan peninjauan kembali adalah ditemukannya Alat Bukti Baru atau yang sering disebut dengan Novum. Dalam
pengajuan Peninjauan Kembali tersebut yang didasarkan pada Novum harus dapat membuktikan
fakta baru yang dimana fakta baru tersebut dapat ditemukan pada alat bukti
saksi dan surat.
Apabila dalam pengajuan permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan terdakwa kepada hakim tidak menemukan adanya “Keadaan
Baru” atau novum maka hakim berhak menolak permohonan yang diajukan oleh
pemohon. Namun dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri
terpidana sudjiono timan mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP
tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata”. Dengan demikian syarat materil dalam
pengajuan peninjauan kembali terpidana sudjiono timan tidak mendasarkan pada
pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP tentang keadaan baru atau yang disebut novum,
serta tidak mendasarkan pula pada pasal 263 ayat 2 huruf b KUHAP tentang adanya
suatu putusan yang satu dengan yang lainya bertentangan.
Bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah
satu tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime yang penanggulangannya
membutuhkan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement) salah
satunya dengan cara tidak mudah menerima permohonan pengajuan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh terpidana tindak pidana korupsi apabila dalam
pengajuannya tidak memenuhi persyaratan formill serta persyaratan materiil.
Sehingga dengan begitu akan memberikan efek jera apabila hakim sebagai garda
paling depan untuk menegakkan keadilan, maka hakim baik ditingkat Pertama
maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali seharusnya turut ikut memberantas para
pelaku tindak pidana korupsi dengan cara memberikan hukuman yang setimpal serta
lebih ketat lagi untuk tidak menerima permintaan Peninjauan Kembali yang
dilakukan terpidana khususnya terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi
apabila syarat formil dan materiil dalam pengajuan Peninjauan Kembali tidak
terpenuhi.
Dalam pengajuan PK adalah keharusan Kehadiran
terpidana sebagaimana Pasal 265 ayat
(2) dan (3) KUHAP menyatakan hakim, jaksa dan terpidana diharuskan ahli
waris Terpidana melalui kuasanya bisa diterima, namun sesungguhnya ada
persoalan ilmiah yang sangat mendasar.
Permohonan PK yang diajukan oleh istri
Terpidana telah dikabulkan oleh majelis
hakim PK. Padahal Terpidana Sudjiono berstatus buron. Dengan Dikabulkannya
pemeriksaan PK yang diajukan oleh buronan, putusan tak mencerminkan rasa keadilan.
No comments:
Post a Comment