Anotasi
Nomor :
547/Pid.Sus/2014/PN.Bls
Dalam Perkara Tindak
Pidana Khusus Korporasi atas Kebakaran Lahan bukan Hutan dengan
terdakwa PT. NATIONAL SAGO PRIMA Yang diwakili ERIS ARIAMAN
Oleh: DHONA EL FURQON
I.
Identitas Terdakwa
Nama
|
PT. NATIONAL SAGO PRIMA,
|
Nomor dan Tanggal Akta Pendirian Korporasi
beserta Perubahannya
|
Akta Nomor : 4 Tanggal 10 Maret 2009
dihadapan Notaris NANDA FAUS IWAN, SH. MKn., yang berkedudukan di Jakarta
Selatan Sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia
Nomor : AHU-11540-AH.01.01. Tahun 2009 Tanggal 07 April 2009 Tentang
Pengesahan Badan Hukum Perseroan, sebagaimana diubah antara lain dengan Akta
Nomor : 35 Tanggal 26 Desember 2013 yang telah mendapat pengesahan Menteri
Hukum dan HAM RI No. : AHU-AH 01.10-08917 tanggal 06 Maret 2014, dan
Perubahan Terakhir dengan Akta Nomor : 20 tanggal 18 Juli
2014. Sedangkan perubahan susunan Direksi dan Dewan Komisaris terakhir
berdasarkan Akta Nomor : 12 Tanggal 26 Agustus 2014 yang dibuat dihadapan
Notaris LIESTIANI WANG, SH. MKn.,
berkedudukan di Jakarta Selatan.
|
Nomor Akta Korporasi pada saat peristiwa
pidana
|
Berdasarkan Akta Nomor : 35 Tanggal
ggal 26 Desember 2013 yang dibuat dihadapan Notaris LIESTIANI WANG, SH.,MKn,
berkedudukan di Jakarta Selatan.
|
Tempat Kedudukan
|
Sampoerna Strategic Square North
Tower, 28 TH Floor Jl. Jenderal Sudirman KAV 45 Jakarta 12930 Indonesia /
Kantor Perwakilan PT. NSP di Jalan Tebing Tinggi Nomor :66 Selat Panjang
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
|
Kebangsaan
|
Indonesia
|
Jenis/Bidang Usaha
|
Pertanian, Perindustrian,
Perdagangan, Pengangkutan Darat
|
NPWP
|
2.873.766.2-218-001 Tanggal 28 Juli
2010.
|
Yang
diwakili oleh Pengurus/Kuasa, bertindak untuk dan atas nama terdakwa yaitu:
Nama
: ERIS ARIAMAN,
SH.
Tempat
Lahir : Ciamis.
Umur
/ Tanggal Lahir : 35 Tahun / 07 Nopember 1978.
Tempat
tinggal : Jl. Arun I Nomor :
28 RT/RW 008/004 Kelurahan
Ujung
Menteng Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Jenis kelamin :
Laki-laki.
Kebangsaan :
Indonesia.
A g am a :
Islam.
II.
Posisi Kasus
PT. NATIONAL SAGO PRIMA,
sebagai Badan Usaha yang bergerak di bidang usaha pertanian, perindustrian,
perdagangan dan pengangkutan darat didirikan berdasarkan Akta Nomor : 4 Tanggal
10 Maret 2009 dihadapan Notaris NANDA FAUS IWAN, SH. MKn., yang berkedudukan di
Jakarta Selatan dan Pengesahannya Sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-11540-AH.01.01.Tahun 2009 Tanggal
07 April 2009 Tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan sebagaimana diubah antara lain dengan Akta
Nomor : 35 Tanggal 26 Desember 2013 yang telah mendapat pengesahan Menteri
Hukum dan HAM RI No. : AHUAH 01.10-08917 tanggal 06 Maret 2014, dan Perubahan
Terakhir dengan Akta Nomor : 20 tanggal
18 Juli 2014. Sedangkan perubahan
susunan Direksi dan Dewan Komisaris terakhir berdasarkan Akta Nomor : 12
Tanggal 26 Agustus 2014 yang dibuat dihadapan Notaris LIESTIANI WANG, SH.
MKn., berkedudukan di Jakarta Selatan,
pada hari yang tidak dapat ditentukan lagi secara pasti sekira tanggal 30
Januari 2014 sampai dengan pertengahan bulan Maret tahun 2014 atau setidak
tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam
tahun 2014, bertempat di lahan areal IUPHH-BK (Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu) PT. NATIONAL SAGO PRIMA berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.77/Menhut-II/2013 Tanggal 4
Februari 2013 Tentang Penetapan Batas Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK) Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman
(Sagu) PT. NATIONAL SAGO PRIMA Seluas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus
delapan belas) Hektar di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
PT. NSP melakukan
perubahan Anggaran Dasar berdasarkan ;
Akta Nomor : 54 tanggal 13 April 2010 yang dibuat dihadapan Notaris MALA MUKTI,
SH. LLM., Akta Nomor : 16 tanggal 10 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Notaris
MALA MUKTI, SH. LLM., Akta Nomor : 71 tanggal 26 Juli 2010 yang dibuat
dihadapan Notaris MALA MUKTI, SH. LLM., Akta Nomor : 24 tanggal 7 September
2010 yang dibuat dihadapan Notaris MALA MUKTI, SH. LLM., Akta Nomor : 108
tanggal 18 Mei 2011 yang dibuat dihadapan Notaris MALA MUKTI, SH. LLM., Akta
Nomor : 29 tanggal 04 Februari 2013 yang dibuat dihadapan Notaris TINTIN
SURTINI, SH. MH. MKn., Akta Nomor : 35 Tanggal 26 Desember 2013 yang dibuat
dihadapan Notaris LIESTIANI WANG, SH.,MKn., Akta Nomor : 31tanggal 14 Maret
2014 yang dibuat dihadapan Notaris LIESTIANI WANG, SH. MKn., Akta Nomor : 9
tanggal 16 Juni 2014 yang dibuat dihadapan Notaris LIESTIANI WANG, SH. MKn.,
Akta Nomor : 20 tanggal 18 Juli 2014 yang dibuat dihadapan Notaris LIESTIANI
WANG, SH. MKn. Sedangkan perubahan susunan Direksi dan Dewan Komisaris terakhir
berdasarkan Akta Nomor : 12 tanggal 26 Agustus 2014 yang dibuat dihadapan
Notaris LIESTIANI WANG, SH. MKn., yang berkedudukan di Jakarta Selatan, dengan
susunan pengurus Perseroan sebagai berikut : Direktur Utama Tuan Eris Ariaman,
Direktur Tuan Bona Ranto Pasaribu, Tuan Arief, Tuan Erwin, dan Komisaris Tuan
Eka Dharmajanto Kasih.
Berdasarkan Akta Nomor :
71 tertanggal 26 Juli 2010 terdakwa PT. NSP mendirikan Cabang Perseroan di
Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Untuk kegiatan usaha
Kantor Cabang melakukan segala kegiatan kerja yang sama dengan kantor pusat,
dengan maksud dan tujuan :
a. Menjalankan usaha
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan
tanaman (sagu).
b. Menjalankan usaha
budidaya tanaman sagu.
c. Menjalankan usaha
industri pengolahan hasil hutan tanaman industri dalam hutan tanaman sagu.
d. Menjalankan usaha
perdagangan hasil hutan tanaman industri dalam hutan tanaman sagu.
e. Menjalankan usaha
pengusahaan hutan.
f. Mendirikan perusahaan
atau melakukan penyertaan pada perusahaan lain untuk mendukung maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
PT NSP mendapatkan Areal kegiatannya berasal dari areal PT.
National Timber and Forest Product sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.353/ Menhut-II/2008 Tanggal 24 September 2008 Tentang Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK) Pada Hutan Tanaman Industri Dalam
Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber and Forest Product Atas Areal
Hutan Produksi Seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu enam ratus dua puluh)
Hektar di Provinsi Riau.
Kemudian areal tersebut menjadi areal PT. NSP berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.380/Menhut- II/2009 Tanggal 25 Juni 2009
Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.353/Menhut-II/2008 Tanggal 24 September 2008 Tentang Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan
Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber And Forest Product Atas Areal Hutan
Produksi Seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu enam ratus dua puluh) Hektar di
Provinsi Riau.
Pada tahun 2011 terhadap luasan areal IUPHH-BK
dalam Hutan Tanaman (Sagu) PT. NSP seluas ± 21.620 hektar tersebut
dilakukan penataan batas temu gelang sebagaimana laporan TBT No. 1536, sehingga
luasan konsesi PT. NSP menjadi seluas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus
delapan belas) hektar sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI No. : SK-77/
Menhut-II/2013, tanggal 4 Februari 2013.
PT. NSP menggunakan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Murni Sagu Milik atas nama PT. National
Timber and Forest Product yang disetujui dan disahkan oleh Komisi Pusat AMDAL
Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk PT. National Timber and Forest
Product dengan surat Nomor : 134/DJP/ANDAL/99 Tanggal 31 Agustus 1999.
Dalam kegiatan pembukaan lahan, PT NSP menyerahkan pekerjaannya
kepada PT. Nuansa Pertiwi dan PT. Sumatera Multi Indah dengan cara land clearing pada areal IUPHHBK PT. NSP.
Di mulai sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Desember 2013 yang luas
secara keseluruhan yang sudah dilakukan land
clearing lebih kurang 7.000 (tujuh ribu) hektar dengan membuat petak-petak
blok dan membuat parit/kanal serta jalan disisi kanal dengan ukuran satu petak
yaitu lebih kurang 1000 meter X 500 meter = 50 hektar, dengan cara melakukan
imas tumbang (secara manual/tebang pakai mesin potong maupun parang dan alat
berat berupa exavator) kemudian potongan kayu tersebut dirumpuk sesuai dengan
jalur rumpukan yang ditentukan selanjutnya untuk dapat dilakukan penanaman
sagu.
Pada tanggal 31 Januari 2014 terjadi kebakaran di Areal PT NSP, sekira
pukul 06.00 Wib, Suparno (karyawan PT. NSP) mendapat telepon dari Pandumaan Siregar, SP., agar kembali ke lokasi PT. NSP
untuk memadamkan api di lokasi Blok J 26 dan K 26, sehingga Suparno membawa 7
(tujuh) orang anggota pemadam dari Blok XI dan XII dan 1 (satu) unit mesin air
merek Robin, namun setelah dilakukan upaya pemadaman, api tetap menyala pada
lokasi Blok J 26 dan semakin mendekat dengan areal tanaman sagu masyarakat
karena angin mengarah ke areal tanaman sagu masyarakat.
Pada tanggal 02 Februari 2014 sekira pukul 15.30 Wib Reinhard
Simbolon, SP., (karyawan terdakwa PT. NSP) bertemu dengan Padumaan Siregar,
SP., di dermaga parit I yang menginformasikan di areal PT. NSP tepatnya di Blok
IX dan X terjadi kebakaran sambil menunjuk kearah sumber asap dan setelah
didekati oleh Reinhard Simbolon, SP., ternyata sumber asap tersebut berada di Petak
X8 areal PT. NSP, sehingga Reinhard Simbolon, SP., bersama beberapa orang
karyawan PT. NSP lainnya dengan menggunakan peralatan berupa ember, cangkul dan
parang berusaha memadamkan api ternyata tidak bisa dipadamkan. Selanjutnya pada
tanggal 03 Februari 2014 ternyata Petak U9, U10, U11, U12, V8, V9, V10, V11,
V12, V13, W8 dan X8 juga ditemukan adanya kebakaran lahan.
Selama 3 Bulan kebakaran di diareal terdakwa PT. NSP tersebut
tidak dapat dipadamkan maka pada tanggal 5 sampai dengan tanggal 6 Maret 2014
areal kebakaran sudah mencapai Petak N23, N22, N21, N20, N19, P22, P21, P20,
P19, O22, O21, O20, O19, dan upaya pemadaman berlangsung sampai tanggal 11
Maret 2014 dengan menggunakan dengan melibatkan helikopter dan 2 (dua) unit
mesin Robin sehingga luas kebakaran lahan milik terdakwa PT. NSP secara
keseluruhan lebih kurang 2.200 (dua ribu dua ratus) hektar.
Kebakaran di areal PT. NSP, kemudian menjadi tidak terkendali menyebabkan
turut terbakarnya areal kebun masyarakat yang berada disekitar areal konsesinya.
Kebakaran areal lahan PT NSP berlangsung selama 3 bulan (Januari-Maret 2014) Sementara
areal PT. NSP dengan luas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus delapan
belas) hektar tersebut yang terbakar dan tidak terbakar dengan rincian sebagai
berikut :
a. Tanaman sagu produktif
seluas lebih kurang 4000 (empat ribu) hektar dengan tahun tanam 1996 yaitu pada
Blok I, II, III dan IV sesuai dengan petak kerja dan areal tersebut yang
terbakar yaitu Blok I seluas 200 (dua ratus) hektar, Blok II seluas 200 (dua
ratus) hektar dan Blok IV seluas 400 (empat ratus) hektar.
b. Tanaman sagu yang harus
ditanam ulang seluas 7000 (tujuh ribu) hektar yaitu Blok V, VI, VII, VIII, IX,
X, XI, XII dan sebagian Blok XIII, areal tersebut pada umumnya sudah ditanam
tanaman sagu dengan tahun tanam 2011-2013 setelah dilakukan imas tumbang dan
land clearing dengan luas yang terbakar lebih kurang 1.200. (seribu dua ratus)
hektar yaitu pada Blok VI dan Blok VII seluas 200 (dua ratus) hektar dan Blok
X-XII seluas 1000 (seribu) hektar.
c. Areal semak belukar
seluas lebih kurang 3000 (tiga ribu) hektar yaitu Blok XIV dan Blok XV, areal
ini tidak ada yang terbakar.
d. Areal yang berupa kawasan
lindung seluas 2000 (dua ribu) hektar berupa areal yang wajib dialokasikan
sebesar 10 % dari luasan konsesi yang diperuntukkan sebagai hutan penyangga,
kawasan pelindung satwa dan flora, areal ini tidak ada yang terbakar.
e. Tanaman kehidupan,
tanaman unggulan setempat dan sarana dan prasarana seluas 5000 (lima ribu)
hektar dengan rincian yang sudah ditanam sagu seluas 70 (tujuh puluh) hektar
sedangkan yang terbakar lebih kurang 1 (satu) hektar. f. Sarana dan prasarana
meliputi sekat bakar berupa reparian dengan kondisi hutan yang luasnya 550
(lima ratus lima puluh) hektar, dan yang terbakar lebih kurang 130 (seratus
tiga puluh) hektar.
III.
Tentang Dakwaan
Konstruksi Dakwaan
Penuntut Umum menyusun dakwaan berbentuk kombinasi antara dakwaan kumulatif dan
susidaritas dengan empat dakwaan;
Kesatu
Primair
Pasal 108 Jo Pasal 69
ayat (1) huruf h jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU RI No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Subsidiair:
Pasal 98 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-undang
Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun
2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lebih Subsidiair:
Pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1)
huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
KEDUA
Pasal 50 ayat (3) Jo
Pasal 78 ayat (3) (14) UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
KETIGA
Pasal 92 ayat (2) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b UU RI No.
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
KEEMPAT
Pasal 109 Jo Pasal 36 ayat (1) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU
RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
IV.
Putusan Pengadilan Pada
Pengadilan Negeri Bengkalis:
A.
Amar Putusan
1. Menyatakan Terdakwa
PT.National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair,
Kedua, Ketiga dan Keempat;
2. Membebaskan Terdakwa
PT.National Sago Prima dari dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, Kedua,
Ketiga dan Keempat tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa PT.
National Sago Prima telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup”;
4. Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar
Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah);
5. Menjatuhkan pidana
tambahan terhadap terdakwa PT.National Sago Prima berupa kewajiban melengkapi
sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai dengan petunjuk
standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dengan
pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun;
6. Menetapkan barang bukti
berupa …. Dst
B.
Pertimbangan
Dari Empat Dakwaan yang
dakwakan oleh penuntut umum, majelis
hakim menjatuhkan putusan kepada Terdakwa terbukti melakukan Tindak pidana
sebagaimana dakwaan Kesatu lebih subsidair. Pertimbangan hakim yang dimuat dalam
pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tersebut menarik untuk
dikaji dengan pendekatan teori hukum pidana adalah pertimbangan yang berbunyi
sebagai berikut:
1.
Unsur Setiap Orang
Menimbang bahwa
berdasarkan hal hal yang dikemukakan di atas, bila dihubungkan dengan
pengertian setiap orang in casu dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di
depan persidangan ini maka diperoleh fakta sebagai berikut:
a. Dalam kegiatan pembukaan
lahan telah dilakukan dengan cara land
clearing pada areal IUPHHBK PT. NSP. Di mulai sejak bulan Maret 2011 sampai
dengan bulan Desember 2013 yang luas secara keseluruhan yang sudah dilakukan land clearing lebih kurang 7.000 (tujuh
ribu) hektar dengan membuat petak-petak blok dan membuat parit/kanal serta
jalan disisi kanal dengan ukuran satu petak yaitu lebih kurang 1000 meter X 500
meter = 50 hektar, dengan cara melakukan imas tumbang (secara manual/tebang
pakai mesin potong maupun parang dan alat berat berupa exavator) kemudian
potongan kayu tersebut dirumpuk sesuai dengan jalur rumpukan yang ditentukan
selanjutnya untuk dapat dilakukan penanaman sagu,.
b. Dalam
hal ini PT National Sago Prima (NSP) sebagai badan usaha yang memiliki lahan 21.418 (dua puluh satu
ribu empat ratus delapan belas) hektar di mana di tanggal 31 Januari 2014
terjadi kebakaran di Areal PT NSP berawal dari lokasi Blok J 26 dan K 26, dan
api terus menyebar dengan cepat merembet ke blok yang lain semakin mendekat
dengan areal tanaman sagu masyarakat karena angin mengarah ke areal tanaman
sagu masyarakat
c. Selama 3 Bulan kebakaran
di diareal terdakwa PT. NSP tersebut tidak dapat dipadamkan meski upaya
pemadaman berlangsung dengan menggunakan helikopter dan 2 (dua) unit mesin
Robin.
d. Kebakaran lahan PT NSP
sekitar 2000 (dua ribu) hectare terjadi
pada lahan pohon sagu milik Terdakwa (PT NSP) yang siap panen
e. Tidak ada perintah untuk
membakar lahan PT NSP baik datang dari kebijakan Perusahaan ataupun direksi yang
memintanya. Sebagaimana dalam fakta persidangan bahwa Saudara Sendi membuang
puntuk rokok di lahan tersebutvkarena sakit hati kepada bagian Keuangan
perusahaan karena tidak dipinjamkan uang sebanyak Rp 1.000.000,-
Menimbang, bahwa terkait unsur ini, dalam nota pembelaannya,
Penasehat Hukum terdakwa mendalilkan bahwa untuk membuktikan unsur setiap orang
yang dalam hal ini badan usaha yang ditujukan terhadap terdakwa sebagai subjek
hukum haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur karena kelalaiannya ada pada
subjek hukum korporasi atau badan usaha
Menimbang, bahwa majelis sependapat dengan dalil penasihat hukum
terdakwa tersebut diatas bahwa untuk Menyatakan apakah benar terdakwa adalah
subyek hukum atas perbuatan pidana dalam perkara ini masih perlu dibuktikan
apakah terdakwa tersebut benar telah melakukan suatu serangkaian perbuatan
sebagaimana yang didakwakan memenuhi seluruh unsur dari pasal yang didakwakan,
maka dengan sendirinya unsur ini telah terpenuhi;
2.
Unsur karena kelalaiannya
Menimbang, bahwa Van Hamel, menyatakan bahwa kealpaan itu
mengandung dua syarat yaitu ;
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum,
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.
Bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hati disamping
dapat diduga-duganya akan timbul suatu akibat dijelaskan lebih lanjut bahwa
perihal tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdapat dua
kemungkinan yaitu : Terdakwa berfikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai
fikiran bahwa akibat yang dilarang timbul karena perbuatannya; Dalam hal
pertama kekeliruan terletak pada salah pikir atau pandang yang seharusnya
dihindari. Dalam hal kedua, terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali
akibat mungkin akan timbul hal mana adalah sikap yangberbahaya;
Menimbang, bahwa selanjutnya tentang tidak mengadakan
penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum, oleh van Hamel disebutkan
antara lain adalah tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran atau
usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu atau dalam
caranya melakukan perbuatan syarat yang kedua inilah yang menurut praktek yang
penting guna menentukan adanya ke alpaan. Inilah yang harus dituduhkan dan
harus dibuktikan oleh penuntut umum;
Menimbang, bahwa bertitik tolak pada pengertian-pengertian
tersebut diatas, maka apakah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan, terdakwa dinyatakan telah lalai sehingga terjadi pencemaran atau
terlampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap
dipersidangan bahwa benar terdakwa selaku badan usaha dalam akta pendirian dan
segala perubahannya bertujuan untuk
a. Menjalankan usaha
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan
tanaman (sagu).
b. Menjalankan usaha
budidaya tanaman sagu.
c. Menjalankan usaha
industri pengolahan hasil hutan tanaman industri dalam hutan tanaman sagu.
d. Menjalankan usaha
perdagangan hasil hutan tanaman industri dalam hutan tanaman sagu.
e. Menjalankan usaha
pengusahaan hutan.
f. Mendirikan perusahaan
atau melakukan penyertaan pada perusahaan lain untuk mendukung maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan Pasal 13
menggariskan bahwa Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Dimana selanjutnya
dalam pasal Pasal 14 mengatur bahwa
Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan Sarana dan prasarana pencegahan
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi:
a. sistem deteksi dini untuk
mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b. alat pencegahan kebakaran
hutan dan atau lahan;
c. prosedur operasi standar
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d. perangkat organisasi yang
bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan;
e. pelatihan penanggulangan
kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
Menimbang, bahwa penuntut umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa
kebakaran diareal konsesi terdakwa tersebut tidak terkendali karena terdakwa
tidak melengkapi syarat-syarat dan tidak menyediakan sarana dan prasarana
pencegahan yang cukup untuk menanggulangi kebakaran sebagaimana diamanatkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan,
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, dan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan sehingga terdakwa tidak mengantisipasi dan atau tidak melakukan
tindakan-tindakan yang perlu untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan
tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap dalil penuntut umum tersebut baik
terdakwa melalui wakilnya maupun penasihat hukumnya membantah dengan dalil
bahwa terdakwa telah mengupayakan tindakan yang cukup dalam pencegahan dan
penangulangan kebakaran diareal konsesi terdakwa karena kebakaran justru
mengakibatkan kerugian bagi diri terdakwa
Menimbang, bahwa dengan demikian hal yang perlu dibuktikan
selanjutnya adalah apakah benar terdakwa telah mengupayakan tindakan yang cukup
dalam pencegahan dan penangulangan kebakaran diareal konsesi terdakwa tersebut
dimana majelis akan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 Tentang Perlindungan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun
2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang telah majelis
pertimbangkan dalam pertimbangan pada dakwaan kesatu subsider penuntut umum
diatas, bahwa benar telah terjadi kebakaran lahan dalam areal terdakwa pada
Petak K 26, K 25, K 24, J 26, J 25, Petak X 8, Y 13, Blok IX, X, XI dan XII,
Petak A 36, Blok IV dan VI, Blok 1 Desa Kepau Baru, Desa Teluk Buntal, Desa
Tanjung Sari, Desa Lukun, Desa Tanjung Gadai dan Desa Batin Suir, Kecamatan
Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Merantiterjadi dalam kurun waktu akhir
bulan Januari 2014 hingga Pertengahan bulan Maret 2014, dimana hal ini didukung
oleh keterangan antara lain saksi saksi Bajuri, saksi Setyo Budi Utomo, Saksi
Pandumaan Siregar, Saksi Reinhard Simbolon Saksi Alfian Usman, Saksi Suparno,
Saksi M. Chairun Huda, Saksi Nasrullah Gaja, Laporan dari terdakwa kepada
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti,
masing-masing tanggal 30 Januari 2014, 05 Februari 2014, 04 Maret 2014 dan 17
Maret 2014 serta Keterangan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr yang
dipersidangan berdasarkan data dari NASA serta Bukti dari Terdakwa mengenai
data hotspot (titik panas) yang sebagiannya setelah diverifikasi secara visual
adalah kebakaran lahan;
Menimbang, bahwa berdasarkan bertitik tolak pada periode
terjadinya kebakaran yang menurut jaksa penuntut umum adalah akhir Januari 2014
sampai id dengan pertengahan Maret 2014 akibat hujan turun dan luasan lahan
yang terbakar yang mencapai 3000 ha, serta berdasarkan keterangan ahli Prof.
Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr tidak terdapat upaya pemadaman serta
keterangan saksi Bukhari dimana tidak terdapat upaya pemadaman yang dilakukan
oleh terdakwa pada saat saksi mengetahui kebun sagu miliknya terbakar dimana
sisi lain terdakwa membuktikan melalui keterangan saksi antara lain saksi
Bajuri, saksi Setyo Budi Utomo, Saksi Pandumaan Siregar, Saksi Reinhard
Simbolon Saksi Alfian Usman, Saksi Suparno, Saksi M. Chairun Huda, Saksi
Nasrullah Gaja yang menyatakan ikut serta memadamkan kebakaran diareal konsesi
terdakwa, saksi Ahad Laila Isnin selaku wartawan Riau TV yang meliput upaya
pemadaman dengan bukti video rekaman pemadaman helikopter, saksi Syamsuar selaku
mekanik helikopter yang disewa terdakwa untuk memadamkan kebakaran didukung
bukti Aircraft Service Agreement Number IAAS/CONT/III/14-003 Date 07 March
2014, bukti Permohonan Debit Rekening Bank Mandiri ke NO rekening atas nama PT.
Intan Angkasa Air Service tanggal 28 Maret 2014 dan 16 Mei 2014;
Menimbang, bahwa selanjutnya Penasihat Hukum terdakwa juga
mendalilkan pada pembelaannya halaman 156 bahwa berdasarkan bukti Surat SK
Bupati Kepulauan Meranti No.16 Tahun 2014 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat
Penanganan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan serta Kabut Asap di Kabupaten
Kepulauan Meranti tanggal 10 Februari 2014 yang diikuti dengan bukti surat SK
Bupati Kepulauan Meranti No.25/HK/KPTS/III/2014 tanggal 12 Maret 2014 tentang
Perpanjangan Penetapan Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Kebakaran
Hutan dan Lahan serta Kabut Asap di Kabupaten Kepulauan Meranti sehingga kejadian kebakaran adalah bencana;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas majelis berpendapat
bahwa upaya penanggulangan kebakaran diareal konsesi milik terdakwa tidak dapat
dikendalikan sejak dini dalam waktu singkat oleh terdakwa;
Menimbang, bahwa terhadap sistem deteksi dini untuk mengetahui
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang dimiliki oleh terdakwa majelis
mempertimbangkannya sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti surat yang diajukan oleh
terdakwa berupa Laporan Triwulan IV (Oktober-Desember 2013) Kemajuan
Pembangunan IUPHHBK-HTI Sagu pada halaman Daftar Sarana Operasioanl Kegiatan
Pengamanan Hutan IUPHHBK-HTI Sagu PT National Sago Prima, dilaporkan antara
lain Mesin Bomba berjumlah 15 Unit, Selang Bomba 100 Unit, Helm 30 Unit, Sepatu
Boat 30 Unit, Speedboat 12 Unit, Sepeda Motor 19 Unit, Handy Talky 19 Unit,
Kolam Air 2 Buah, Papan Peringatan 25 Unit, Buku Pemeriksaan 5 buah, Alat
Perlindungan Diri 30 Unit, Parang 30 Buah, Penggaruk 10 Buah dan Menara Api 2
buah dapat diketahui jumlah sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran
terdakwa sebelum kejadian kebakaran, dimana apabila dibandingkan dengan
Triwulan I (Januari-Maret 2014) Kemajuan Pembangunan IUPHHBK-HTI Sagu pada
halaman Daftar Sarana Operasioanl Kegiatan Pengamanan Hutan IUPHHBK-HTI Sagu PT
National Sago Prima, dilaporkan antara lain Mesin Bomba berjumlah 28 Unit,
Selang Bomba 245 Unit, Helm 50 Unit, Sepatu Boat 30 Unit, Speedboat 12 Unit,
Sepeda Motor 19 Unit, Handy Talky 19 Unit, Kolam Air tidak dilaporkan, Papan
Peringatan 25 Unit, Buku Pemeriksaan 5 buah, Alat Perlindungan Diri tidak
dilaporkan, Parang 30 Buah, Penggaruk 10 Buah dan Menara Api 1 buah, teropong 2
unit , baju bomba 20 unit didapatkan pertambahan sarana penanggulangan
kebakaran oleh terdakwa;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sistem deteksi dini adalah
sistem untuk mengetahui terjadinya atau kemungkinan timbulnya kebakaran hutan
lebih awal/lebih dini yang terdiri atas sarana deteksi dini dan sarana
peringatan dini, dimana menurut Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Nomor 247/KPTS/DJ/VI/1994 tentang petunjuk standarisasi sarana
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan tanggal 02 Desember 1994 Sarana
Deteksi Dini Standar berupa menara pengintai (menara api) dengan ketinggian
minimum 30 (tiga puluh) meter yang terbuat dari bahan yang kuat dan tahan
terhadap cuaca, dilengkapi dengan peralatan seperti teropong, alat penemu
jarak, kompas serta alat pemetaan sederhana, sedangkan sarana peringatan dini
berupa papan yang menggambarkan kemungkinan terjadinya bahaya kebakaran hutan
berdasarkan keadaan cuaca dan bahan bakar pada saat itu;
Menimbang, bahwa apabila petunjuk standar diatas dikaitkan
dengan laporan terdakwa pada triwulan IV 2013 sebelum kejadian kebakaran,
terdakwa memiliki 25 Unit papan peringatan yang menurut keterangan ahli Prof.
Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr Dimuka persidangan tidak sesuai standar dan
2 Unit Menara api untuk luas area lebih dari 21.000 ha tanpa adanya teropong,
alat penemu jarak, kompas, dan alat
pemetaan sederhana, dimana teropong baru dilaporkan pada laporan triwulan I 2014;
Menimbang, bahwa terhadap sarana pencegahan kebakaran hutan dan
atau lahan yang dimilik terdakwa bertitik tolak dari Keputusan Dirjen
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 247/KPTS/DJ/VI/1994 tentang
petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
tanggal 02 Desember 1994 maka sarana pencegahan kebakaran hutan lahan adalah
terdiri atas sarana penyuluhan, sarana komunikasi, sarana patroli, maka pada
saat sebelum kejadian kebakaran terdakwa memiliki Sepeda Motor 19 Unit sebagai
sarana patroli dan Handy Talky 19 Unit sebagai sarana komunikasi, dimana
terhadap sarana dan kegiatan penyuluhan tidak tergambar jumlah dan frekuensinya
dalam laporan tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap prosedur operasi standar untuk
mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahanserta
perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan berdasarkan laporan triwulan IV 2013
terdakwa terdiri atas 24 orang/3 regu yang berdasarkan bukti Standar Operational
Prosedur Pemadam kebakaran No.P-NSP-KBN-PMK-01 tanggal 09 Januari 2014 Work
Instruction Patroli Api pada tanggal yang sama serta Bukti berupa Buku Kontrol
Api sejak awal bulan Januari, maka dapat diketahui terdakwa telah memiliki SOP
dan Perangkat Organisasi dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
Menimbang, bahwa terhadap pelatihan penanggulangan kebakaran
hutan dan atau lahan yang didalilkan oleh terdakwa telah dilaksanakan
berdasarkan bukti Berita Acara Pembentukan & Pengukuhan Masyarakat Peduli
Api Desa Teluk Buntal Nomor 4/CSR/SGRO/SLTPJG/PT.NSP/VI2014 tanggal 24 Juni
2014, Bukti Surat Piagam Penghargaan terdakwa kepada Manggala Agni tanggal 24
Juni 2014, Kliping Koran Haluan Riau tanggal 26 Juni 2014, Kliping Koran Riau
Pos tanggal 25 Juni 2014, Print Out Website Riauterkini.com tanggal 25 Juni
2014 Print Out Website Goriau.com tanggal 24 Juni 2014 dan Kliping Koran Riau
Pos tanggal 02 April 2014 yang menurut majelis hakim haruslah diapresiasi,
namun oleh karena pelaksanaannya dilaksanakan setelah kejadian kebakaran
sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum
pertimbangkan
dalam putusan sela terhadap keberatan penasihat hukum terdakwa sebelumnya
dimana majelis hanya akan berpegang kepada tempus delicti yang dinyatakan dalam
dakwaan penuntut umum maka dengan demikian bukti tersebut haruslah
dikesampingkan;
Menimbang, bahwa setelah majelis menelaah lebih jauh surat bukti
yang diajukan terdakwa dan penasihat hukumnya berupa laporan triwulan Kemajuan
Pembangunan IUPHHBK-HTI Sagu pada halaman Daftar Sarana Operasioanl Kegiatan
Pengamanan Hutan IUPHHBK-HTI Sagu PT National Sago Prima antara lain Triwulan
I, Triwulan II, Triwulan III tahun 2013, khusus pada bagian sarana tidak
diketemukan kemajuan signifikan terhadap peningkatan sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran terdakwa, kenaikan jumlah sarana signifikan baru terlihat pada
Laporan Triwulan I dan Triwulan II Tahun 2014, sehingga Majelis berpendapat
bahwa sebelum periode waktu uaraian dakwaan penuntut umum, terdakwa tidak
memiliki sarana dan prasarana pencegahan kebakaran yang maksimal dan sesuai
standar sehingga gagal melakukan pengendalian terhadap potensi dan kejadian
kebakaran pada areal konsesi terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka majelis
berkesimpulan bahwa unsur karena kelalaiannya telah terpenuhi;
3. Unsur yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
Menimbang, bahwa
berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang- Undang No 32 Tahun 2009 yang
dimaksud dengan "Lingkungan Hidup” adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain;
Menimbang, bahwa
berdasarkan pasal 1 ayat (7) PeraturanPemerintah No 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara dimaksud dengan “Baku Mutu Udara Ambien"
adalah ukuran batas kadar zat, energi, dan/atau
komponen yang ada atau yang seharusnyaada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambien ;
Menimbang, bahwa
selanjutnya berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang
dimaksud dengan “Baku Mutu Air” dalam adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaanya di dalam air;
Menimbang, bahwa
berdasarkan pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/ atau Perusakan Laut yang dimaksud dengan “Baku
Mutu Air Laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut;
Menimbang, bahwa yang
dimaksudkan dengan “Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” dalam Pasal 1
angka (15) Undang-Undang- Undang No 32Tahun 2009 yaitu adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik,kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya”;
Menimbang, bahwa
berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan sebagaimana yang telah
dipertimbangkan dan dinyatakan terbukti dalam unsur karena kelalaiannya yaitu
telah terjadi kebakaran di areal konsesi terdakwa, maka selanjutnya majelis
akan mempertimbangkan apakah akibat dari kebakaran tersebut telah terjadi
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
Menimbang, bahwa setelah
memperhatikan surat dakwaan Penuntut Umum dan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M. Agr. dan Ahli Dr. Ir. Basuki
Wasis, tidak memuat tentang baku mutu air dan baku mutu air laut melainkan maka
majelis hanya akan mempertimbangkan tentang baku mutu udara ambien dan kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup saja;
Menimbang, bahwa penuntut
umum dipersidangan menghadirkan ahli ayan telah melakukan penelitian dan
melakukan pengambilan sample di lokasi kebakaran dalam areal konsesi terdakwa
yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr. dan Dr. Ir. Basuki Wasis,
Msi;
Menimbang, bahwa
berdasarkan keterangannya dipersidangan dan Surat Keterangan ahli Prof. Dr. Ir.
Bambang Hero Sahardjo, M.Agr., melakukan penelitian dan melakukan pengambilan
sample di lokasi kebakaran diareal konsesi terdakwa pada 14 (empat belas) titik
yang diberi kode Plot-1 s/d Plot-14 dengan kesimpulan pada pokoknya: 1. Perusahaan
telah melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan cara pembakaran secara
sistematis dan terencana melalui pembiaran terhadap terjadinya kebakaran; 2.
Pergerakan Hotspot yang terus bergerak dari hari kehari memastikan pengendalian
oleh terdakwa nyaris tidak dilakukan karena sarana dan prasarana yang kurang;
3. Bahwa kebakaran tersebut telah merusak lapisan permukaan gambut sehingga
akan menggangu keseimbangan ekosistem dilahan bekas terbakar tersebut; 4. Bahwa
selama kebakaran gas-gas rumah kaca yang dilepaskan terbukti telah melewati
batas ambang sehingga akibatnya terjadi pencemaran terhadap lingkungan yang
tidak dapat dicegah; 5. Dalam rangka pemulihan lahan gambut melalui pemberian
kompos dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memfungsikan faktor ekologis yang
hilang dibutuhkan biaya sebesar Rp.1.046.018.923.000,00;
Menimbang, bahwa ahli Dr.
Ir Basuki Wasis M.Si dalam Surat keterangannya dan keterangannya dalam bagian
kesimpulan menyatakan bahwa pada pokoknya : bahwa berdasarkan hasil pengamatan
lapangan dan analisa sampel tanah dilaboratorium menunjukkan bahwa benar telah
terjadi kerusakan tanah dan lingkungan akibat kebakaran yang meliputi kerusakan sifat kimia tanah,
sifat biologi tanah, sifat fisik tanah dan aspek flora dan fauna berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001;
Menimbang, bahwa baik
Terdakwa maupun Penasehat Hukum terdakwa dalam Pledoinya, menolak hasil
penelitian yang disampaikan oleh ahli Prof. Bambang Hero Saharjo dan ahli Dr.
Ir Basuki Wasis M.Si dengan dalil bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2011 tentang laboratorium lingkungan tanggal 06
April 2009 harus bersertifikasi dari Komisi Akreditasi Nasional dimana untuk
menjamin validitas pengujian termasuk metode pengambilan contoh uji yang mana
Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan bukti Surat Daftar Laboratorium
Teregistrasi sebagai laboratorium lingkungan sesuai Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 06 Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan serta ahli
tidak memiliki surat penunjukan dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota ;
Menimbang, bahwa dengan
memperhatikan curiculum vitae dari Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si yang pernah
menjadi Penyusun Kriteria Teknis Baku kerusakan lingkungan hidup akibat
kebakaran hutan tahun 2009, Penyusun Pedoman Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan
tahun 2010 Ahli, Penyusun Kurikulum Diklat Valuasi Ekonomi Perusakan Lingkungan
tahun 2010, Ahli Penyusun Peraturan Menteri Pedoman Ganti Kerugian akibat
Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan 2011, maka majelis berpendapat bahwa
ahli Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si memiliki kompetensi ataupun keahlian tentang
kriteria baku kerusakan dan evaluasi ekonomi akibat kerusakan ingkungan yang
diakibatkan oleh kebakaran hutan, selanjutnya tentang Surat penunjukan dari
Menteri, Gubernur atau Bupati/walikota, majelis berpendapat hanyalah masalah
administrasi dan tidak mengakibatkan hasil penelitian ahli menjadi batal;
Menimbang, bahwa
selanjutnya Penasihat Hukum Terdakwa mendalilkan bahwa meragukan hasil
perhitungan atau hasil analisis laboratorium yang dilaksanakan oleh ahli ahli
Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si yang mana atas hasil laboratorium tersebut penuntut
umum mengajukan bukti berupa Hasil Penelitian mengenai Sifat-sifat kimia, fisik
dan mikrobiologi gambut pasca kebakaran hutan dan lahan di areal PT. NSP oleh
Ahli Dr. Ir. Iskandar yang mana atas hasil penelitian tersebut majelis
berpendapat perbedaan titik lokasi pengambilan sampel dan penelitian ilmiah
dilokasi pengambilan sampel, disamping hal tersebut pengambilan sampel dilaksanakan
pada waktu yang berbeda sehingga terbuka kemungkinan adanya hasil analisa yang
berbeda pula maka dengan demikian dalil pembelaan Penasihat Hukum terdakwa ini
haruslah dikesampingkan;
Menimbang, bahwa ahli
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Rahardjo, M.Agr menerangkan bahwa telah melakukan
penghitungan nilai karbon dari satu kebakaran, penghitungan nilai CO2 (karbon
dioksida) yang dilepaskan ke atmosfer selama proses kebakaran gambut
berlangsung, penghitungan massa emisi gas lain, penghitungan total partikel;
Menimbang, baku mutu
udara ambien diatur pada Peraturan pemerintah nomor 41 tahun 1999 tentang baku
mutu udara ambien nasional pada bagian lampiran;
Menimbang, bahwa apabila
baku mutu tersebut dikaitkan dengan perhitungan ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Rahardjo, M.Agr hanya terdapat kesamaan terhadap nilai emisi gas jenis lain
yakni O3 dan CO sehingga majelis hanya akan membandingkan nilai baku mutu O3
dan CO saja;
Menimbang, bahwa sesuai
dengan lampiran Peraturan pemerintah nomor 41 tahun 1999 tentang baku mutu
udara ambien nasional bahwa baku mutu O3 (oksidan) adalah 235 ug/Nm3 dengan
waktu Pengukuran 1 jam dengan metode analisis chemilluminescent dengan alat
Spektrofotometer sedangkan baku mutu CO (karbon monoksida) adalah 30.000 ug//Nm
dengan waktu pengukuran 1 jam dengan metode analisis NDIR dengan alat NDIR Analyzer;
Menimbang, bahwa
perhitungan ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Rahardjo, M.Agr terhadap O3 dan CO
dengan metode dengan mengalikan nilai konstanta O3 dan CO dengan nilai CO2 yang
dilepaskan keatmosfir, sehingga menurut hemat majelis terdapat perbedaan cara
mengukur baik metode analisis maupun alat yang digunakan dengan lampiran Peraturan
pemerintah nomor 41 tahun 1999 tentang baku mutu udara ambien nasional;
Menimbang, bahwa terhadap
kontradiksi cara penghitungan ini majelis tidak memiliki kompetensi untuk
menilai apakah perhitungan yang dilaksanakan oleh ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Rahardjo, M.Agr dapat dipergunakan dalam menentukan apakah telah terlampauinya
baku mutu udara ambien atau tidak, sehingga majelis tidak memperoleh keyakinan
tentang baku mutu udara ambien apakah sudah terlampaui atau tidak;
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas maka sub unsur tentang “dilampauinya baku mutu
udara ambien “ tidaklah terpenuhi;
Menimbang, bahwa
selanjutnya dalam Surat Keterangannya Dr. Ir, Iskandar pada bagian kesimpulan
menyatakan bahwa sifat-sifat kimia dan fisik tanah tidak berbeda secara
signifikan antara gambut yang terbakar dan yang tidak terbakar dan jumlah
mikroba tanah dan total respirasi mengalami penurunan hal inipun sesuai pula
dengan keterangan ahli Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si dalam suratketerangan ahlinya
pada poin 3 bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan sifat biologi tanah;
Menimbang, bahwa
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tidak menetapkan berapa besaran satu
perubahan dapat termasuk kriteria baku, sehingga berdasarkan keterangan ahli
Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si dipersidangan sedikit saja terjadi perubahan maka
sudah termasuk ke dalam kriteria baku kerusakan sehingga berdasarkan uraian
diatas maka majelis menilai bahwa unsur dilampauinya kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa
selanjutnya akan dipertimbangkan apakah terdakwa selaku badan usaha dapat
dipersalahkan karena kelalaian sebagaimana berikut ini:
Menimbang, bahwa
berdasarkan keterangan ahli Dr. Chairul Huda, SH, MH terdapat kriteria yang
memisahkan apakah perbuatan itu dipertanggung jawaban individu atau kepada
korporasi itu sendiri dimana jika perbuatan berangkat dari pelaksanakan kerja
korporasi sedangkan orang itu melakukan pekerjaan maka pertanggungjawaban
dimintakan kepada korporasi yang mana direksi mewakili korporasi tetapi yang
menjadi terdakwa adalah korporasi dimana selanjutnya kriteria
mempertanggungjawabkan orang yang berhubungan dengan korporasi orang yang
memiliki kedudukan fungsional, mereka yang menentukan dalam melintas suatu
kedaan terlarang maka dialah harus dimintai pertanggungjawaban, tidak mesti
pertanggungjawaban itu diminta kepada direksi. Kemudian bahwa yang dimaksud
dengan strict liability apabila korporasinya dipertanggungjawabkan bukan
direksinya mempertanggungjawabkan apakah korporasi mempunyai kesalahan atau
menjadi tidak penting disini yang penting ada orang yang melakukan perbuatan
untuk atas nama korporasi mempunyai tujuan korporasi itu untuk mendapat untung.
Kemudian Pertanggung jawaban pengganti, pertanggung jawaban materil tidak harus
menjadi pertanggung jawaban orang yang mempunyai kedudukan fungsional,
beralihnya tanggung jawab dari materil menjadi pertanggung jawaban orang yang
memiliki kedudukan fungsional.
Menimbang, bahwa oleh
karena kelalaian yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan oleh orang yang
bertindak dan untuk atas nama terdakwa dalam rangka hubungan kerja dimana
menurut hemat majelis di dalam perseroan terdapat mekanisme pelaporan sehingga
pihak-pihak dalam korporasi haruslah dianggap mengetahui tentang ada tidaknya
suatu perbuatan atau pembiaran terhadap satu keadaan sehingga terwujud satu
kebijakan korporasi, maka apabila hal ini dikaitkan dengan kelalaian
sebagaimana yang telah majelis pertimbangkan diatas maka terdakwa dapat diminta
pertanggungjawabannya;
Menimbang, bahwa oleh
karena seluruh unsur pasal dalam dakwaan Kesatu Lebih Subsidair ini telah
terpenuhi maka terhadap terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
V.
Catatan dan Komentar
Anator
Dalam fakta persidangan, Empat dakwaan yang di Dakwakan menurut
hakim hanya dakwaan lebih subsidair yang terpenuhi memenuhi unsur yang
dilakukan oleh terdakwa.
Anator perpendapat di dalam
melihat persoalan kebakaran, berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari berbagai ketentuan yang
berkaitan dengan UU Sumber daya alam. Anator mencatat ada terdapat 18
UU yang yang memberikan perlindungan terhadap hutan dan lahan antara lain UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Perkebunan, UU Kehutanan merupakan UU yang berkaitan dengan sumber daya alam..
Pada Pasal 69 ayat (1) UU Lingkungan Hidup,
Pasal 56 UU Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d UU Kehutanan
secara tegas mencantumkan “larangan
membakar”. Namun didalam ketiga UU kemudian dimaknai
dengan “perbuatan
sengaja (dolus)” yang dilakukan oleh korporasi dan perorangan. Dalam sistem
eropa continental kemudian harus dibuktikan hubungan sebab akibat (causalitet) dan hubungan antara
kesalahan (schuld) dan
pertanggungjawaban (liability). Asas
ini kemudian dikenal dengan istilah “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit
reum nisi mens sir rea). Adanya hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability based on fault).
Sehingga kemudian membuktikan “perbuatan sengaja (kehendak jahat/mens rea)”
menimbulkan kesulitan proses penegakkan hokum. Padahal didalam hukum yang
mengatur kebakaran hutan dan lahan, mekanisme sistem pembuktian dalam sistem
hukum Eropa Kontinental haruslah ditinggalkan. Merujuk pasal 48 ayat (3) UU
Kehutanan dinyatakan “Pemegang izin usaha
pemanfaatan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya”. Pasal
49 justru menegaskan “Pemegang hak atau
izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan
kemudian memerintahkan kepada “pelaku
usaha perkebunan” untuk menyiapkan sistem, sarana dan prasarana
pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Ketentuan ini kemudian diatur lebih
rinci di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014.
Menilik pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan,
pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan maka “pemilik
izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Makna ini kemudian
dapat dilihat didalam pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001 maupun pasal 18 UU PP No. 45
tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014.
Dengan melihat makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya”, maka
pemilik izin kemudian tidak dapat melepaskan tanggungjawab terhadap kebakaran
di arealnya. Asas ini kemudian dikenal asas absolute
liability.
Absolute liability kemudian
mengenyampingkan asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea).
Dengan demikian maka asas absolute
liability kemudian dapat meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan
mengenyampingkan asas liability based on
fault.
Asas Absolute
liability memberikan beban tanggungjawab lebih besar kepada pemilik izin
daripada asas "strict liability".
Strict liability dimungkinkan untuk
melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan
pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).
Sedangkan terhadap absolute liabilty tidak dimungkinkan lepas dari pertanggungjawaban.
Kecuali force mayour, the act of god dan
bencana alam. Dengan menggunakan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU
Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 tahun 204 dan Permentan No.
47 tahun 2014 sebagai dasar penggunaan asas Absolute
liability, maka korporasi kemudian bertanggungjawab terhadap kebakaran dan
juga menyebabkan penurunan baku mutu emisi. Sehingga berdasarkan pasal 98 atau
pasal 108 UU Lingkungan hidup, korporasi tidak dapat dilepaskan dari
pertanggungjawaban. Baik terhadap ganti rugi maupun pemulihan terhadap lingkungan
hidup.
Merujuk kepada berbagai peraturan
perundang-undangan, maka Pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan ditujukan kepada “pemegang izin” yang bergerak di sector
kehutanan. Atau dengan kata lain aktivitas “pemegang izin” dikawasan hutan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan Pasal 56 UU Perkebunan ditujukan
kepada “pemegang izin” yang bergerak di sector perkebunan. Baik “Pemegang izin”
yang bergerak di sector kehutanan maupun di sector perkebunan, berdasarkan
pasal 18 PP No. 4 tahun 2001 maupun pasal 20 PP No. 45 tahun 2004
“bertanggungjawab” secara hukum terhadap kebakaran yang terjadi di areal
“pemegang izin”. Asas ini sudah menjadi norma yang telah diatur didalam
berbagai peraturan perundang-undangan bahkan sudah menjadi yurisprudensi yang
ditandai dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015.
Dengan memperhatikan berbagai ketentuan
perundang-undangan, asas “absolute liability”,
maka rekonstruksi terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan kepada “pemegang
izin” dapat diterapkan pasal 108 UU Lingkungan Hidup. Mekanisme ini sudah
diterapkan didalam Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis PT. NSP.
Anator melihat dengan melihat luas lahan yang terbakar
mencapai 2000 hektar di mana lahan yang terbakar merupakan adalahan di mana pohon
sagu milik perusahaan yang siap dipanen tidak bahkan menjadi bencana karena
luasan yang terbakar menyebabkan asap dan terlampauinya baku mutu udara dari
yang semestinya. Di sini anator sependapat dengan hakim bahwa PT NSP dinyatakan
telah memenuhi unsur lalai dalam kebakaran yang terjadi karena kesalahan.
Selain itu juga, penggunaan asas “geen straft zonder schuld” dan
menggunakan teori “kesalahan” dan pertanggungjawaban” masih menjadi
mainstream pola pikir dari pengambil keputusan. Belum lagi dari “bantahan” dari pihak perusahaan yang
berkilah “tidak mungkin kami membakar dan
justru menjadi korban”, atau “tidak
hanya kami saya terbakar” merupakan pola pikir (mainstream) yang masih
mengaitkan kebakaran dengan “teori”
kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (liability). Berbagai upaya
melepaskan tanggung jawab dari “pemegang
izin” yang ditandai dengan pernyataan “tidak
mungkin membakar areal” kemudian menyatakan sebagai “areal yang terbakar dan menjadi korban”. Kesemuanya membuktikan “pemegang izin” masih menggunakan
pemikiran asas “geen straft zonder schuld”
yang meminta kepada Negara untuk membuktikan teori kesalahan (Schuld). Dengan menggunakan teori
kesalahan maka menjadi beban pembuktian terhadap pembuktian dari teori hubungan
sebab akibat (causalitet).
Dengan memperhatikan asas “geen straft zonder schuld” yang
disampaikan oleh aparat penegak hukum, pertimbangan hakim didalam putusan
Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara KLHK vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)
dan pemikiran dari perusahaan yang diarealnya terbukti terbakar, maka
mainstream didalam melihat kebakaran masih merujuk kepada asas “geen straft zonder schuld”.
Sebuah upaya serius didalam memahami
persoalan kebakaran apabila merujuk kepada berbagai ketentuan. Padahal berbagai
peraturan perundang-undangan bahkan Mahkamah Agung telah mengabulkan asas “absolute liability” sebagaimana didalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015. Dengan demikian maka asas “absolute liability” merupakan asas
didalam memotret persoalan kebakaran tahun 2015.
Didalam literature internasional, tema “Absolute liability” masih menjadi tema
yang menarik perhatian. Di beberapa Negara, pemisahan “absolute liability” dengan “strict
Lialibility” tidak secara tegas dipisahkan. Selain itu juga, literature
internasional juga sering mencampuradukkan antara “absolute liability” dengan Strict
liability”. Vernon
Palmer didalam tulisannya “A General Theory of The
Inner Structure of Strict Liability : Common Law, Civil Law and Comparative
law” hanya menyebutkan “Strict liability.
Namun didalam menjelaskan Strict liability kemudian menyebutkan unsur-unsur
seperti “General theory custodial
liability dengan “unlawfulness, causation, defenses (irresistible force yang
terdiri “act of god, force majeure, Faulut of third person dan fault of the
victim)[1]. Padahal “act of god, force majeure, fault of third
person dan fault of the victim merupakan prasyarat untuk melepaskan
tanggungjawab (defence) dari asas strict liability.
Sedangkan Lalin Kovudhikulrungsri dan
Duangden Nakseeharach didalam tulisannya “Liability Regime of international
Space law : Some Lesson From International nuclear Law” menyebutkan sejak
tragedi Chernobyl, dunia internasional memberikan respek untuk meminta
pertanggungjawaban tanpa membuktikan kesalahan. Walaupun keduanya “meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault) dan mampu merinci definisi antara strict liability dan absolute liability, namun kedua-kedunya
tidak merinci secara jelas pemisahan antara “strict liability” dengan absolute
liability.
Zeldine Niamh O’Brien didalam tulisannya
“Theories of Liability for Space Activities, menyebutkan, merujuk kepada “Kitab
Undang-undang Eropa”, pertanggungjawaban dalam sistem hukum internasional (Liabilitiy in international law), absolute liability dimaknai dan
diterapkan diterapkan dalam mekanisme internasional terhadap kegiatan berbahaya
termasuk kegiatan dilakukan nuklir. Titik tekan “absolute liability” disandarkan “damage (kerusakan)” sehingga terhadap kesalahan (schuld) tidak perlu
dibuktikan. Dengan demikian, maka pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dimana kerusakan dari kegiatan nuklir
mengakibatkan kerusakaan terhadap bumi sudah seharusnya dimintakan
pertanggungjawaban. Dengan menghitung kerusakan seperti musnahnya kehidupan,
kesehatan, musnahnya kepemilikan maka dampak kerusakan merupakan
pertanggungjawaban (liability) dari
kegiatan yang dilakukan.
Dengan demikian, maka Absolute liability disandarkan kepada “kerusakan yang massif” yang bisa diminta pertanggungjawaban kepada
penanggung jawab kegiatannya. Pendapat Zeldine Niamh O’Brien apabila kita
sandingkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan mengenai kebakaran,
terhadap kebakaran dapat dikategorikan sebagai “absolute liability”. Dan
terhadap penanggungjawab kegiatan (pemegang izin) tidak dapat dilepaskan
tanggungjawab (defence).
Maka melihat dampak kebakaran tahun, tidak
salah kemudian menurut Zeldine Niamh O’Brien dapat dikategorikan sebagai “absolute liability” Sedangkan
didalam Pertemuan Internasional Hukum Lingkungan, Georgetown University,
Chicago, 1998[2] disebutkan untuk melihat dari kesalahan (dolus) tidak
semata-mata melihat kepada kelalaian (culpa) namun juga diharapkan perlindungan
dari pemerintahan yang baik untuk melindungi lingkungan.
Sehingga tidak salah kemudian, Andreas
Wibisono didalam makalahnya “Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan
menyampaikan, tema Absolute Liability belum menjadi pengetahuan. Banyak Negara
memang tidak begitu membedakan antara strict
liability dan absolute liability.
Walaupun banyak literature/rujukan yang menggunakan istilah “absolute liability, tetapi sebenarnya
merujuk kepada strict liability.
Konsep “strict liability” masih
menggunakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan tetapi masih menggunakan “defence”. Selain itu juga di Indonesia,
banyak ahli hukum masih belum memahami strict
liability. Konsideran dengan melihat “kesalahan
(dolus)” atau “kelalaian (culpa)”
masih jamak terjadi.
Dengan demikian, maka wacana “absolute
liability” sudah termaktub didalam berbagai peraturan perundang-undangan. Asas
“absolute liability” merupakan asas “pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault) yang berangkat dari sistem hukum Anglo Saxon. Asas
ini berbeda dengan asas Kesalahan dan pertanggungjawaban didalam sistem hukum
Eropa Kontinental. Asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea), Adanya hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability based on fault)
haruslah ditinggalkan.
Paradigma “kesalahan”, kelalaian” dan
pertanggungjawaban didalam sistem pembuktian dalam hukum Eropa continental
tidak tepat diletakkan dalam persoalan ini.
Sehingga terhadap “pemegang izin” baik
sector kehutanan maupun perkebunan tidak dapat dilepaskan tanggungjawab dimuka
hukum. Baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum tatausaha Negara. Alasan
seperti “kami tidak membakar” atau “bukan kami penyebab kebakaran merupakan
sesat berfikir (mistake) dan “terkesan” untuk menghilangkan tanggungjawab
(defence).
Berdasarkan kepada paparan yang telah
disampaikan kebakaran pada lahan PT NSP telah
meluluhlantakkan wilayah tersebut dimana
jutaan orang terpapar asap yang mengakibatkan dan terserang terserang
ISPA. Menimbulkan kerugian 1 Trilyun lebih sebagaimana pendapat ahli dalam
persidangan. Namun upaya meminta pertanggungjawaban
dari “pemegang izin” masih jauh dari harapan. Padahal peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran telah tercantum didalam
Pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4
tahun 2001, PP No. 45 Tahun 2004 dan Permentan No. 47 Tahun 2014.
[1] Vernon Palmer, A General Theory of The Inner Structure of Strict
Liability : Common Law, Civil Law and Comparative law, Citation : 62 Tul.L.
Rev. 1303, 1987-1988, hal. 1342-1352
[2]
Resolution on Responsibility and Liability, Final Report
Prepared for The Eighth Committee of International Law By The Rapporteur On The
Subject Of Environmental Responbility and Liability, Georgetown University,
Chicago, 1998
No comments:
Post a Comment