madrasah

Sunday, May 27, 2018

Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-XIV/2016


Anotasi

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-XIV/2016

Pengujian Materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

Oleh Dhona El Furqon

I.            Pemohon

Pemohon

Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti., M.Si (Pemohon I) 2. Rita Hendrawaty Soebagio, Sp.Psi., M.Si. (Pemohon II); 3. Dr. Dinar Dewi Kania (Pemohon III) 4. Dr. Sitaresmi Sulistyawati Soekanto (Pemohon IV) 5. Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya, S.S., M.A. (Pemohon V) 6. Dr. Sabriaty Aziz (Pemohon VI) 7. Fithra Faisal Hastiadi, S.E., M.A. M.Sc., Ph.D (Pemohon VII) 8. Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum. (Pemohon VIII) 9. Sri Vira Chandra D, S.S., MA (Pemohon IX) 10.Qurrata Ayuni, S.H. (Pemohon X) 11.Akmal, S.T., M.Pd.I. (Pemohon XI) 12.Dhona El Furqon, S.H.I., (Pemohon XII)



II.          Pasal yang diujikan

1.   Norma materiil yaitu:

Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 284 ayat (1) ayat (2) ayat (3) ayat (4), ayat (5) , Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  dan menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 29 ayat (1), Pasal 28D ayat 1, Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2),  Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945:

a.    Pasal 284 ayat (1);

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “laki-laki berbuat zina

b.    Pasal 284 ayat (1) angka 1.b

seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “Perempuan berbuat zina

c.    Pasal 284 ayat (1) angka 2.a;

seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca “laki-laki yang turut perbuatan itu”

d.    Pasal 284 ayat (1) angka 2.b;

seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutaan hukum sehingga harus dibaca “Perempuan yang turut perbuatan itu”



e.    Pasal 284 ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5);

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan



f.     Pasal 285

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan Sehingga harus dibaca sebagai :”Barang siapa dengan kekerasaan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-selamanya dua belas tahun”

g.    Pasal 292

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

Adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan Sehingga harus dibaca sebagai; Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama dihukum penjara selama-lamanya lama lima tahun



III.       Batu Uji

Norma Undang-Undang Dasar 1945.

1.    Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”

2.   Pasal 28B ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”

3.   Pasal 28B ayat (2) UUD 1945:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

4.   Pasal 28C ayat (2) UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

5.    Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

6.    Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

7.    Pasal 28G ayat (2) UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

8.    Pasal 28H ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

9.    Pasal 28J ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

10. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

11. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945:

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

IV.        Alasan Permohonan

Para pemohon mengemukakan dalam permohonannya bahwa ada dua lasan yang paling mendasar mengapa pengujian ini dilakukan oleh para pemohon yakni alasan Ketahanan Keluarga dan Perlindungan terhadap Nilai-nilai agama di Indonesia. Kedua isu ini dipandang oleh para pemohon di mana dalam era masyarakat yang semakin liberal dan bebas nilai dianggap sebagai isu-isu domestic yang tidak dapat  dijadikan dasar membatasi perilaku masyarakat yang semakin berbahaya dan merugikan bangsa.



Pemohon memandang agama-agama di Indonesia pada dasarnya juga melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285 KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP). Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan lain untuk mempertahankan Pasal-pasal a quo (yang merupakan produk kolonial dari zaman kolonial yang sudah lama berlalu) selain dari pada harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup bermasyarakat yang tertuang dalam hukum positif negara;



Ada beberapa alasan dalam pengujian pasal 292 KUHP, yakni Perbuatan Cabul antara lain;

1.    perlunya perlindungan atas rasa aman

2.    alasan Ketahanan dan perlindungan anak

3.    alasan keagamaan dan keyakinan, alasan Pembangunan Karakter Bangsa dan Ketahanan Nasional

4.    alasan Perlindungan terhadap Hak Asasi Masyarakat yang adil dan Beradab,

5.    alasan Kesehatan, alasan Perlindungan Terhadap Lingkungan yang Sehat dan Bebas dari Pengaruh Asing yang Destruktif terhadap Kehidupan Bangsa



V.            Putusan dan Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi

a.   Putusan

KONKLUSI

 Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan

di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1]   Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.1] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan  permohonana quo;

[4.1] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.



5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.



b.   Pertimbangan Hakim

Dalam pertimbangannya Lima hakim menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi secara doktriner dalam sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen dalam membuat undang-undang atau peraturan membatasi bahwa positive legislator tidak dapat dilakukan ketika menyangkut norma hukum pidana.  Menurut lima hakim tersebut bahwa positive legislator bertentangan dengan demokrasi; dinilai bertentangan dengan pertanggungjawaban atas pemilih. Hal ini berakar pada asumsi bahwa mayoritas merupakan sumber utama dari pembuatan peraturan yang sah dalam demokrasi yang terletak pada kehendak mayoritas rakyat atau perwakilan yang dipilih. 


Sementara pertimbangan 4 (empat) hakim dalam dissenting opinion berpendapat mahkamah dapat menjadi "positive legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilakukan. Manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.





VI.          CATATAN ANATOR

Jika membaca dalil dan petitum dari para pemohon, dapat disimpulkan bahwa Para  Pemohon meminta MK untuk memperluas cakupan atau ruang lingkup, dan mengubah jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian. Hal ini dikarenakan menurut para pemohon, pasal-pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.



Untuk Pasal 284 yang mengatur tentang perzinaan,  di mana pemohon menghendaki agar pasal tersebut mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah di mana dalam pasal tesebut hanya sebatas terikat perkawinan yang sah.



Menurut anator bisa dipahami, KUHP yang menganut kebebasan ditelan mentah-mentah oleh Penyelenggara negara dijadikan Hukum, sementara menunggu Revisi RUU KUHP sudah hamper 5 Dekade tidak ada perkembangan yang berarti dan t tidak ada tanda tanda untuk di sahkan oleh legaslitive. KUHP menilah persetubuhan dalam yang dilakukan oleh seseorang yang diketahuinya bahwa yang melakukan perbatan tersebut berada dalam satu ikatan perkawinan disebut dengan overspel. Dalam bahsa hukum di Indonesia oversel tersebut ada nama lain dari perzinahan, perbutannyya sendiri adalah persetubuhan. Makna zina sendiri menurut hukum yang hidup di Indonesia atau menutut pikiran Hukum masyarakat Indonesia adalah persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan tanpa melihat apakah yang melakukan perbuatan tersebut diketahu berada dalam ikatan perkawinan atau tidak. Artinya makna zina tereduksi maknanya menjadi lebih sempit oleh KUHP hanya sebatas persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang diketahuinya satu pihak yang melakukan perbuatan tersebut berada dalam ikatan perkawinan perkawinan.



Anator berpendapat, jika pasal 284 KUHP saat dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi meminta perluasan makna Overpel atau (zina) menurut pikiran Hukum Masayarakat Indonesia mungkin saja putusan MK tidak sebagaimana putusan MK no 46/PUU/IV/2016, dan tidak terjadi perdebatan diantara hakim Konstitusi antara positive legislator atau negative legislator. Makna zina menurut pikiran hukum masyarakat Indonesia sesuai hukum yang hidup di masyarakat adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut agama. paling perdebatan antara hakim Konstitusi hanya pada ranah ikatan Perkawinan menurut agama atau menurut negara.



Kekhawatirannya bagi pembela hak Asasi Manusia adalah jika seseorang yang sama sama yang tidak memiliki ikatan perkawinan, contohnya persetubuhan antara perawan dan perjaka, perawan dengan duda, Jejaka dengan Janda, duda dengan janda, dipandang melanggar hak asasi manusia. negara terlalu jauh mengurus urusan ranjang yang sangat privat menjadi urusan public, sehingga banyak terjadi di masyarakat persekusi yang dilakukan kepada pasangan yang diduga melakukan perbuatan persetubuhan diluar ikatan perkawinan yang sah. Maka anator berpendapat permohonan meminta MK memkanai zina sebagaimana pikiran hukum masyarakat Indonesia menjadi penting. Sebab perbuatan persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah sangat bertentangan dengan pikiran hukum masyarakat Indonesia yang menjungjung Ketuhanan Yang Maha Esa. Perdebatan hukum pidana terhadap pelaku perzinahan adalah persoalan lain.



Pasal 285 yang mengatur tentang pemerkosaan, akan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh yang tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan tetapi juga dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki;



Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Kosntitusi berpendapat bahwa pengujian pasal 285 tentang pemerkosaan menolak permohonan pemohon yang intinya tidak berkait dengan kekerasan dalam rumah tangga yang tekah diatur oleh undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 20014  Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.



Anator sendiri melihat perkosaan adalah perbutan persetubuhan ketika seseorang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi alat kelamin perempuan dengan alat kelamin laki-laki, secara paksa atau dengan cara kekerasan. Dengan begitu perkosaan persetubuhan dengan cara menundukkan dengan kekerasan atau menyerang dengan kekerasan.  Sementara Menurut Black's Law Dictionary, perkosaan adalah hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya. Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan, atau di bawah keadaan penghalang.



Dalam hal ini perkosaan terjadi apabila seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. Banyak jenis dari perkosaan menurut ilmu pengetahuan lainnya. Akan halnya jika apakah perempuan  bisa melakukan perkosaan terhadap laki laki sebagaimana dalil pemohon dalam permohonan. Menurut anator dalam hal ini semua laki laki bisa bersetubuh dengan seorang wanita dalam kondisi ia berkehendak dan tidak bisa kalau dia tidak berkehendak. Sebaliknya dengan perempuan bisa melakukan persetubuhan dalam kondisi memiliki kehendak dan bisa juga bila dia tidak berkehendak.



Pasal 292 Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.



Pasal ini dimintakan oleh pemohon agar Setiap orang melakukan perbuatan cabul terhadap dengan orang lain.



Dalam hal ini sebagaimana telah diuraikan diatas, Berdasarkan putusan Mahkamah Nomor 46/PUU-XIX/2016, terdapat dua alasan utama para pemohon mengajukan judicial review ke MK, yaitu.



1.    Alasan ketahanan keluarga; dan

2.    Perlindungan terhadap nilai-nilai agama di Indonesia.



Anator berpendapat, sebagaimana telah diurai dalam pasal 284 permohonan mengenai pengubahan frasa tersebut tidak tepat sasaran. Karena mengubah frasa tertentu terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti merubah pula sifat melawan hukum itu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana. 



Mengenai kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan tidak dapat dilakukan oleh MK, sebab hal tersebut merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang notabene merupakan kewenangan eksklusif pembentuk Undang-Undang.



Anator berpendapat mengerti mengapa para pemohon mengajukan permohonan ini. Karena semua mempunyai kekhawatiran yang sama akan nasib bangsa ini dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Maka dipandang perlu melakukan uji judicial review kembali  ke mahkamah Konstitusi meminta meminta mahkamah memberi pemaknaan terhadap perbuatan cabul terhadap sesama kelamin/homoseks sebagaiman pikiran hukum masyarakat Indonesia.

Sunday, May 20, 2018

ANOTASI PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI P U T U S A N No. 79 PK/PID/2013





Dalam Perkara Tindak Pidana atas nama Terdakwa dr.Dewa Ayu Sasiary dkk

Oleh : Dhona El Furqon

1.   Kasus Posisi.

Pada hari Jumat tanggal 9 April 2010  Korban (SISKA MAKATEY) dibawa ke Puskesmas Bahu untuk melahirkan secara normal.  Meski esok paginya 10 April 2010,  telah pecah ketuban dan pembukaan rahim sudah 8 sampai 9 cm, kondisi korban tidak bisa melahirkan secara normal.



Pada esok harinya Tanggal 10 April 2010 SISKA MAKATEY oleh bidan Puskemas Bahu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado karena tidak bisa melahirkan secara normal dengan harapan di rumah sakit Malalayang untuk dioperasi.  Bahwa yang mengantar korban ke rumah sakit Malalayang adalah bidan. Sewaktu korban dibawah ke rumah sakit Malalayang pembukaan rahimnya sudah 8 sampai 9 cm, akan tetapi kondisi lemah.



Setelah masuk RS, Siska diperiksa USG dan hasilnya Siska dalam keadaan baik dan akan diusahakan untuk melahirkan secara normal. Infus dipasang sejak Siska masuk kamar UGD. 



Pada pukul 18.00 WITA, pembukaan untuk melahirkan sudah lengkap, tetapi posisi bayi masih tinggi. Setelah dr Ayu dkk berkonsultasi dan konsuler menyarankan Siska melahirkan secara normal dengan posisi korban harus dimiringkan. Namun setelah dilakukan tidak berhasil.


Pada pukul 18.30 WITA dikonsultasikan lagi ke bagian anastesi dan ahli anastesi memberikan persetujuan untuk dioperasi. Ketika korban masuk RS, tekanan darah adalah 160/70. Menurut ahli Johanis F Mallo, tekanan darah itu termasuk tinggi. Sedangkan denyut nadi Siska 180 per menit.


Atas dasar itulah, dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) melakukan operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap diri korban SISKA MAKATEY. Pada saat korban SISKA MAKATEY sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan Asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pedarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit



Pada saat operasi dilakukan, dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/ operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) dalam melakukan operasi.



Pada pukul 20.55 WITA, operasi pun dimulai. Beberapa kejadian yang terjadi dalam proses operasi yaitu pada sayatan pertama keluar darah warna hitam. Hal ini berarti secara medis salah satu penyebabnya adalah korban kekurangan oksigen. Atas hal itu, dr Ayu dkk menyampaikan kepada dokter anastesi, dr Anita Lengkong dan dr Anita memerintahkan operasi tetap dilanjutkan. Namun beberapa saat setelah operasi dinyatakan selesai, pasien dinyatakan meninggal dunia. Adapun bayi dapat bertahan hidup.



Dalam Kasus ini Tiga orang dokter dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) didakwa oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Mandao dengan tiga Dakwaan dan diputus oleh mejelis Hakim Pengadilan Negeri Manado sebagaimana Putusan NO.90/PID.B/2011/PN.MDO dengan;



1.    Menyatakan Terdakwa I dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terdakwa II dr. HENDRY SIMANJUNTAK dan Terdakwa III dr. HENDY SIAGIAN, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer dan subsidair ;

2.    Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh karena itu dari semua dakwaan (Vrijspraak) ;

3.    Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;

4.    Menetapkan barang bukti berupa Berkas catatan medis No.cm.041969 atas nama SISKA MAKATEY

Sebagaimana terlampir dalam berkas perkara ;

5.    Membebakan biaya perkara ini kepada Negara



Tidak puas dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado, Jaksa penuntut umum melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung, di mana Majelis Hakim Mahkamah Agung memutus, sebagaimana Putusan nomor 365 K / Pid / 2012 dengan amar putusannya:

M E N G A D I L I

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/ PN.MDO tanggal 22 September 2011.



MENGADILI SENDIRI

·         Menyatakan Para Terdakwa : dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”;

·         Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa : dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan;

·         Menetapkan barang bukti berupa : Berkas catatan medis No.CM.041969 atas nama SISKA MAKATEY  sebagaimana terlampir dalam berkas perkara ;

·         Membebankan Para Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan masing-masing sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;



Pada Tanggal 25 Februari 2013, Para Terdakwa melakukan Upaya Huukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas Putusan Kasasi Mahmah Agung. Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan  P U T U S A N No.  79 PK/PID/2013;

M  E  N  G  A  D  I  L  I

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para Terpidana : I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan III.   dr. HENDY SIAGIAN tersebut ; Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 tanggal   18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado   No. 90/PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September 2011 ;



M E N G A D I L I     K E M B A L I 

1.    Menyatakan Terpidana I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terpidana II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan Terpidana III. dr. HENDY SIAGIAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, atau dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga Primair, Ketiga Subsidair ;

2.    Membebaskan Terpidana I. dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, Terpidana II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan Terpidana III. dr. HENDY SIAGIAN oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut ;

3.    Memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ; 4. Memerintahkan agar Para Terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan ;

4.    Menetapkan barang bukti berupa : Berkas catatan medis No. cm.041969 atas nama SISKA MAKATEY terdiri Tetap dilampirkan dalam berkas perkara ;



2.    Tentang Dakwaan

Para Terdakwa dalam Perkara ini dakwa dengan Tiga dakwaan



Pertama:

Primair

Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00 Wita atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Manado telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban SISKA MAKATEY



Subsidair

Pasal  359 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban SISKA MAKATEY



Kedua

Pasal 76 Undang-undang   Republik   Indonesia   Nomor   29   Tahun   2004   tentang    Praktik   Kedokteran  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP)



Ketiga

Primair

263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu dan Kedua di atas, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian



Subsidair

Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP



dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian



Apabila diperhatikan secara cermat, dari kelima dakwaan tersebut tindak pidana didakwakan penuntut umum seluruhnya merupakan tindak pidana Kriminal . Padahal kasus ini merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi berkenaan dengan perbuatan yang diambil oleh Terdakwa selaku dokter operator di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Oleh karena itu dari awal seharusnya Penyidik juga harus mengarahkan pemeriksaan perkara terhadap kemungkinan adanya tindak pidana lain selain tindak pidana kedokteran lainnya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Undang-undang   Republik   Indonesia   Nomor   29   Tahun   2004   tentang    Praktik   Kedokteran.



Menurut hemat anator, sulit bagi Terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Dokter untuk  mengindari dari pasal dakwaan didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum. sebagaimana pasal 1 ayat (11) menyatakan:

Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui  yang berjenjang, ank kode etik yang bersifat melayani masyarakat.



Dalam hal ini para terdakwa sebagai dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado melakukan pekerjaan melayani masyarakat yang membutuhkan bantuan dokter dalam rangka untuk kesehatannya. Adapun kejadian yang menimpa SISKA MAKATEEY sebagaimana terungkap dalam Pengadilan Tingkat Pertama, apa yang dilakukan oleh Para Terdakwa telah memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. Tentang adanya Emboli yang masuk ke pembuluh darah korban saat dilakukan operasi terhadap korban SISKA MAKATEEY oleh PARA TERDAKWA, sebagaimana dalam persidangan di tingkat Pertama dibuktikan secara Ilmiah bahwa Para TERDAKWA terlah bekerja sesuai dengan standar operasional, bahwa emboli yang masuk pada jantung korban sehingga korban meninggal dunia tidak bisa diduga oleh PARA TERDAKWA, dan operasi yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA merupakan operasi yang tidak memerlukan pemeriksaan sebelumnya dari para ahli.



Seharusnya Jaksa Penuntut Umum juga mendakwa dokter yang memberikan izin agar korban untuk dioperasi, padahal sebagaimana jejak rekam medis yang terungkap dalam persidangan, KORBAN dalam kondisi tidak baik secara rekam medis.



Bahwa dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dalam melaksanakan operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap korban SISKA MAKATEY, para terdakwa hanya memiliki sertipikat kompetensi tetapi para terdakwa tidak mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran dan tidak terdapat pelimpahan/ persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran/ yang berhak memberikan persetujuan sedangkan untuk melakukan tindakan praktik kedokteran termasuk operasi CITO yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki Surat Ijin Praktik (SIP



Sebagaimana yang terungkap dipengadilan bahwa TERDAKWA sudah dari 100(seratus) kali melakukan operasi belum pernah Terdakwa menemui kasus yang terjadi pada Kasus Korban SISKA MAKAATEY.



Dalam hal dakwaan ketiga bahwa PARA TERDAKWA dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian sebagaimana dalam persidangan diakui oleh Para TERDAKWA bahwa korban SISKA MAKATEEY, meminta untuk dioperasi, dan surat persetujuan operasi dilakukan oleh Korban dalam Posisi miring  dan dalam kondisi kesakitan atau tidak baik, sehingga tanda tangan Korban tidak seusai dengan tanda Tangan yang tertera dalam KTP Korban dan Slip Rekening Bank Korban.



3.   Pertimbangan Hukum Putusan

A.    Pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri di halaman 91

Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka menurut Majelis Hakim kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu : Dakwaan kesatu Primair melanggar pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar pasal 359 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Kedua pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Ketiga Primair melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut

B.    Pertimbangan Hukum yang Pada Putusan Kasasi di Halaman

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dapat dibenarkan karena dengan pertimbangan sebagai berikut :

1.    Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. ERWIN GIDION KRISTANTO, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat;

2.    Para Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban;

3.    Perbuatan Para Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;

4.    Perbuatan Para Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010;



Dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan



C.    Pertimbangan Hukum Putusan Peninjauan Kembali

Meski ada dissenting opinion pada majelis Peninjauan kembali maka dalam kesimpulan pertimbangannya majelis hakim Peninjauan kembali menyatakan :

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan dapat dibenarkan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September 2011 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang akan disebutkan di bawah ini ;



Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III dikabulkan dan  Para Pemohon  Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III dibebaskan dari semua dakwaan, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan pada pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada Negara ;



Memperhatikan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan









4.   Analisa Anotator

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali.



Namun, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali.



Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.



Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan


Dalam Prinsip umum peninjauan
kembali, ada tiga, Pertama, Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula, Kedua,  tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi, Ketiga sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung satu kali. Sementara yang dapat mengajukan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau ahli waris atau Kuasa hukum. sedangkan alas an pengajuan Peninjauan Kembali adalah, keadaan Baru atau  Kesalahan atau kekhilafan hakim.



Sementara dalam Kasus SISKA MAKATEEY, Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai sumpah atau kaidah etika profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan atau atasan langsung yang berwenang (Departemen Kesehatan RI). Pemeriksaan dibantu oleh perangkan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.[1] Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:

a.  menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan

b.  menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Dihubungkan dengan perkara ini, bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memiliki peran sebagai badan pengawas dan penegak disiplin dokter dan dokter gigi di Indonesia. Dalam kasus ini, apabila dalam penanganan operasi tersebut tidak sesuai dengan SOP (Standard Operasional Prosedur) dan yang menilai telah terjadi kesalahan dalam penanganan operasi tersebut adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan delegasi dari Pasal 1 angka 14 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.



Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 memutuskan bahwa para telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” (vide Pasal 359 KUHP). Kemudian atas beberapa pertimbangan, dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No.79PK/Pid.2013, menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan  bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, atau dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga Primair, Ketiga Subsidair.



Pasal 359 KUHP, yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa “barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Mati orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa). Unsur “karena salahnya” artinya kurang hati-hati, lalai, lupa atau kurang perhatian.[2] Unsur kesalahan dalam Pasal ini ditekankan kepada unsur kealpaan. Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian (culpa). Kesalahan dalam pasal ini mengatur mengenai norma hukum pidana materiil yang terdapat unsur kealpaan, bukan mengenai norma hukum administratif.



Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha mempertahankan supaya tubuh pasien tetap sehat atau berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya mengurangi penderitaan pasien. Dalam menjalankan profesinya, dokter dilindungi oleh Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.



Penyelenggaraan praktik kedokteran dilaksanakan dengan instrumen hukum administratif berupa Surat Izin Praktik. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.[3] Selain itu, Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.[4] Aspek yang sangat penting yaitu bahwa dalam setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, harus didasarkan kepada informed consent dan harus adanya transaksi terapeutik terlebih dahulu.



Dalam kasus diatas, aspek informed consent terlihat diabaikan oleh para dokter. Hal tersebutdalam dibuktikan berupa tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr.Hendy Siagian untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Labolatorium Kriminalistik menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ “Spurious Signature“.



Dari pembuktian tersebut, aspek informed consent dan adanya transaksi terapeutik merupakan dasar seorang dokter untuk melakukan suatu tindakan medis. Dengan diabaikannya aspek informed consent dan transaksi terapeutik maka dalam ajaran ilmu hukum pidana, hal tersebut termasuk dalam kelalaian seorang dokter dalam menjalankan suatu tindakan medis. Untuk dapat dipidananya seorang dokter yang melakukan suatu tindakan medis tanpa didahului oleh aspek informed consent dan transasi terapeutik maka pihak yang berwenang harus dapat membuktikannya. Tanpa adanya aspek informed consent dalam suatu tindakan medis, maka hal tersebut dapat masuk dalam elemen kesalahan yang dimaksudkan dalam pasal 359 KUHP.





[1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Republik Indonesia No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Jo. Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktek dan pelaksanaan praktek kedokteran.
[2] R. Soesilo, KUHP : Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1995, hlm.248.
[3] Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
[4] Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran