Sabtu, 18 Dec 2010 09:17 WIB
CIPUTAT,RIMANEWS- Pasang surut melanda partisipasi politik organisasi Mathla’ul Anwar (MA) dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru. Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial) yang berdiri 1916, MA memang relatif tertinggal dibanding NU dan Muhammadiyah, namun sebagai modal sosial bagi bangsa ini, MA sungguh potensial di masa depan. MA berbasis di Menes Banten, memiliki cabang di 26 provinsi dan sebagian kader mudanya berpendidikan tinggi, bahkan sampai PhD.
Demikian pendapat Iin Solihin, peneliti Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) dalam diskusi mingguan di Ciputat, Jumat malam (17/12). Iin adalah alumnus ilmu politik Fisip UIN Jakarta dan aktivis HMI di kampusnya.
Dalam diskusi itu hadir dan berbicara pula peneliti PSIK Universitas Paramadina Mohamad Asrori Mulky, pengajar Fakultas Adab UIN Jakarta Duha Hadiansyah, aktivis perempuan/HAM Fikriyah Rasyidi, peneliti CSRC UIN Jakarta Moh Nabil, Direktur LSIK Umar Hamdani dan Herdi Sahrasad dari PSIK Univ.Paramadina dan para aktivis muda lainnya.
Iin Solihin melihat, sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Provinsi Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912), MA tak lepas dari jeratan politik.
‘’Sebagai organisasi gerakan kultural diawal pendiriannya pada perjalanannya dalam rangka mengisi setelah kemerdekaan untuk membangun permasalahn keumatan, kenegaraan dan kebangsaan mengalami degradasi dari awal sebagai gerakan dalam bidang kultural menuju gerakan politis yang terbawa oleh arus euphoria masa Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya dengan memberlakukan Asas Pancasila sebagai satu-satunya Asas untuk seluruh organisasi,’’ujar aktivis muda Mathla’ul Anwar( MA )itu.
Kemudian, pada perkembangannya menyebabkan perpecahan di internal organisasi MA dengan hilangnya independensi dan puncaknya mengadopsi sistem komando dibawah Orde Baru dan Golkar dengan menjadi onderbouw dari partai politik yang dinilai telah keluar dari Khitthah (1916) organisasi MA.
Dalam kajian dan risetnya mengenai MA, Iin Solihin menarik kesimpulan antara lain bahwa; Pertama, MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural dan bukan sebagai organisasi politik. Karena itu, partisipasi politiknya dalam konstelasi politik nasional dimasa Orde Baru telah menyimpang dari tujuan awalnya sebagai gerakan kultural yang berdampak buruk terhadap eksistensi organisasi.
Kedua, organisasi MA di masa reformasi telah kehilangan daya tariknya dalam merespon permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan. Selain itu, terjadinya demoralisasi para elit keagamaan yang terjebak dalam pragmatisme politik.
No comments:
Post a Comment