madrasah

Friday, September 7, 2007

Quo Vadis Mathla’ul Anwar

Quo Vadis Mathla’ul Anwar§
Oleh: Didin Nurul Rosidin§§



Pendahuluan


Pada bulan Juli ini, Mathla’ul Anwar (MA) memasuki usianya yang ke- 81 tahun, usia yang tentu saja tidak muda jika diukur dari rata-rata usia manusia. MA yang didirikan oleh para kiyai Banten pada tahun 1916 berusia lebih tua 10 tahun dari Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada bulan Januari 1926 dan 4 tahun lebih muda dari Muhammadiyah. Namun dibandingkan dengan dua organisasi Islam Indonesia terbesar tersebut, MA nampaknya harus berkaca diri. Tidak banyak yang tahu tentang kiprah organisasi ini sekalipun di kalangan sarjana ahli Indonesia. Hanya beberapa sarjana seperti Deliar Noer, Karel Steenbrink, Martin van Bruinessen dan Andrée Feillard yang pernah menyebut nama organisasi ini dalam karya mereka. Itupun sebagian besar karya tersebut salah dalam mendeskripsikan organisasi ini. Feillard, misalnya, menyatakan bahwa Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranega adalah pendiri organisasi. Sementara Deliar Noer memasukkan MA sebagai anggota istimewa Masyumi. Gambaran yang salah ini tentunya tidak lepas dari minimnya informasi tentang MA yang sampai ke publik.
Hal tersebut tentunya memunculkan pertanyaan, mengapa MA yang termasuk organisasi sosial Islam angkatan pertama tidak banyak dikenal?. Tentunya tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan memfokuskan pada tiga aspek utama organisasi ini yaitu pendidikan, politik organisasi dan prilaku politiknya dan pemikiran keagamaan. Pembahasan atas ketiga aspek tersebut didasarkan pada beberapa pertanyaan lanjutan, antara lain; Apa sebenarnya peran signifikan organisasi ini selama kurun waktu itu? Bagaimana MA merespon berbagai perubahan politik yang terjadi? Bagaimana MA menempatkan diri dalam diskursus keislaman?. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, makalah ini akan mencoba memetakan persoalan yang dihadapi sekarang berdasarkan perjalanan sejarah yang ada untuk dijadikan sebagai ‘ibrah ke depan.

Pembaharu Sistem Pendidikan Islam

Sejak munculnya kesadaran akan pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas dari keterpurukan akibat kolonialisme, para pendiri yang notabene kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka juga bersepakat untuk menjadikan sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan modern sebenarnya sama sekali baru bagi komunitas Muslim nusantara, mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke 20 ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti Normal School dan Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.
Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan pesantren merupakan model pendidikan yang paling sesuai dan “islami”. Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus jika melihat latar belakang pendiri MA yang justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari pernyataan salah seorang tokoh pendiri, K.H. Muhammad Sholeh. Beliau menyatakan bahwa dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus diserahkan kepada seseorang yang mengetahui dan mampu mengelola lembaga pendidikan baru tersebut. Keterbukaan ini merupakan fondasi utama berdirinya madrasah modern MA pertama di Menes, bahkan di Banten, sebelum kemudian berdiri Al-Khairiyah pada tahun 1920-an.
Kesadaran akan pentingnya sistem pendidikan Islam alternatif ini juga tidak lepas dari beberapa kenyataan yang terjadi saat itu. Diantara yang paling menonjol dan sering kali digarisbawahi adalah gagalnya sistem pendidikan Islam lama untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren dan gagalnya pesantren untuk “memproduk” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor lainnya adalah intensifnya gerakan sekularisasi dan westernisasi oleh pemerintah kolonial melalui pendirian sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai objek pelajarannya. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting dalam proses penerimaan sistem pendidikan baru oleh para kiyai.
Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem pendidikan Islam pada masa selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar Menes bahkan Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah pusat MA. Hasilnya sungguh spektakuler. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40 madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini termasuk pada kategori a rural-based movement (gerakan berbasis desa).
Semangat modernisasi sistem pendidikan Islam juga terjadi pada wilayah kurikulum dengan diperkenalkannya beberapa materi umum seperti ilmu bumi, ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman. K.H. Uwes Abu Bakar kemudian mempertahankan semangat ini pada saat menerima aturan pemerintah Indonesia merdeka yang menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (6 tahun), MTs (3 tahun), MA (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Berdasarkan aturan tersebut, MA memutuskan untuk membagi sembilan tingkatan kelas ke dalam tingkatan Ibtidaiyah (MI) dan Tsanawiyah (MTs) untuk membagi sembilan kelas madrasah ke dalam dua level pendidikan (Ibtidaiyah dan Tsanawiyah). Kiyai Uwes juga menerima aturan untuk memasukkan materi-materi umum lainnya termasuk bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes berinisiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Ketika Kementrian Agama meluncurkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk mengintensifikasi pengajaran materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi program ini.
Keberhasilan untuk menyebarkan pengaruhnya melebihi dua provinsi dan adanya pengakuan secara legal dari pemerintah terhadap status madrasah dan status organisasi, MA berhasil memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk program subsidi pendidikan. Pencapaian ini telah menjadikan MA sebagai salah satu organisasi yang telah banyak menerima proposal penggabungan dari sekolah/madrasah lokal yang berasal dari berbagai daerah bahkan pulau seperti Al-Iman dari Magelang, Nahdlatul Wathan dari NTB dan lain-lain. Sebagai dampak langsung dari fusi madrasah/sekolah ini, MA pada awal tahun 1960-an tercatat sebagai organisasi massa Islam terbesar ketiga dibawah NU dan Muhammadiyah.
Perkembangan progressif ini bukan berarti tanpa tantangan, terutama ketika terjadi perubahan kepemimpinan dimana para pendirinya telah banyak meninggal dunia dan munculnya pemimpin-pemimpin baru yang memiliki sumber legitimasi yang berbeda-beda. Munculnya kiyai Uwes yang bukan berdarah “biru” keturunan para pendiri telah menciptakan perpecahan internal dengan munculnya madrasah Maslahul Anwar yang didirikan oleh kiyai Junaedi, putra kiyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di beberapa wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah, MALNU, MALINU dan Nurul Amal.
Selain faktor kepemimpinan pada tingkat elit, kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok dalam MA. Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Latif, K.H. Asrori dan K.H. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dan agama dengan NU atau Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para kiyai senior terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum, khususnya Bahasa Inggris, mendorong para kiyai dan pengikutnya yang ada di madrasah keluar. Yang menarik dari peristiwa ini adalah bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi secara konvensional sebagai tempat mentransfer ilmu pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul madrasah-madrasah baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.

Politik dengan Nama

Berbeda dengan bidang pendidikan dimana MA tampil atas nama dan benderanya sendiri, MA dalam bidang politik cenderung untuk menggandengkan diri dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para pendiri seperti kiyai Yasin dan kiyai Abdurrahman telah menjadi tokoh utama Sarekat Islam (SI) di wilayah Banten. Dalam fatwanya, kiyai Abdurrahman mengkategorikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari ibadah ke Allah SWT. Namun ketika SI mengalami kemunduran akibat konflik internal, banyak tokoh MA termasuk kiyai Abdul Hadi Bangko bergabung dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terlibat dalam pemberontakan tahun 1926.
Semakin dominannya kelompok modernis dalam tubuh SI pada akhir tahun 1920-an dan semakin tidak kondusifnya aktifitas politik paska peristiwa 1926 mendorong kiyai Yasin dan kiyai Abdurrahman untuk mengalihkan aktifitas politiknya pada NU sejak tahun 1928. Kiyai Yasin mengilustrasikan perubahan ini dengan istilah “ganti baju”. Keterlibatan warga MA dalam aktifitas NU mencapai puncaknya ketika Menes pada tahun 1937 ditetapkan sebagai salah satu tempat berlangsungnya Konggres Nasional NU ke 13 yang akan dilaksanakan pada tahun 1938. Dalam sejarah NU, muktamar di Menes berperan besar dalam menghasilkan keputusan strategis, diantaranya kemungkinan untuk melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan organisasi. Keputusan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya organisasi Muslimat NU pada tahun 1948. Karena peristiwa bersejarah ini, kiyai Abdurrahman tercatat sebagai salah satu ulama besar NU bersama dengan 30-an ulama NU kharismatik lainnya. Kedekatan kultural MA dan NU ini telah membentuk opini sebagian warga dua organisasi ini NU bahwa MA merupakan bagian dari NU sebagaimana diwujudkan dalam istilah Mathla’ul Anwar Li Nahdlatil Ulama atau MALNU. Nama ini pada akhir tahun 1960-an menjadi nama resmi salah satu yayasan pengelola madrasah/sekolah di Menes. Secara struktural, para pengurus MA juga menjadi pengurus NU baik di tingkat daerah maupun wilayah Banten dan Lampung.
Keyakinan dan realitas inilah yang menjadi argumentasi utama kelompok yang menolak keputusan Muktamar MA tahun 1952 yang mendeklarasikan sikap non-afiliasi MA dalam politik. Dalam pandangan pendukung pro-NU ini, keputusan non-afiliasi politik tersebut merupakan siasat kelompok pro-Masyumi untuk mendapat legitimasi untuk terus aktif di partai modernis tersebut. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa beberapa tokoh MA menjadi anggota parlemen dari Masyumi seperti kiyai Uwes Abu Bakar yang menjadi anggota DPR Pusat dan kiyai Muslim di DPRD Pandeglang. Kedekatan politik MA ke Masyumi semakin kental manakala beberapa tokoh MA menjadi pendukung sikap oposisi Masyumi terhadap beberapa kebijakan Sukarno. Tidak heran jika setelah Masyumi dipaksa bubar pada tahun 1960, MA mendapat tekanan dari kelompok pro-Sukarno. Akibatnya, MA mengubah simbolnya dengan tujuan untuk menjelaskan ketidakadakaitannya MA dengan Masyumi. Tidak cukup dengan itu, MA kemudian bergabung dengan front anti komunis yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Penolakan akan keterkaitan erat dengan Masyumi pada kenyataanya hanyalah taktik politik belaka karena setelah tumbangnya Sukarno para tokoh MA justru terlibat dalam pembentukan Badan Koordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI) dengan tujuan utama untuk merehabilitasi Masyumi yang pada akhirnya ditolak oleh Suharto. Kegagalan tersebut mendorong politisi MA untuk terlibat dalam pembentukan partai baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi atau MI). Ketua umum MA bahkan secara resmi mengirimkan instruksi kepada seluruh pengurus MA di daerah untuk mendukung pembentukan pengurus partai di daerah masing-masing. Namun karena ada protes keras dari beberapa kelompok pro-non-afiliasi, ketua umum kemudian mengeluarkan instruksi baru yang mencabut instruksi yang pertama.
Makna non-afiliasi politik ini mengalami pergeseran ketika MA di bawah kepemimpinan kiyai Muslim dan kiyai Nafsirin Hadi. Non-afiliasi politik tidak lagi dalam konteks hubungan dengan salah satu partai yang ada karena dipandang satu paket politik Orde Baru tetapi justru berkaitan dengan sikap oposisi terhadap penguasa Orde Baru. Kedua pemimpin yang memiliki hubungan dekat dengan gerakan DI/TII ini sejak awal bersikap konfrontatif terhadap beberapa kebijakan Orde Baru. Sikap oposisi mereka pada level tertentu sangat ideologis seperti penolakan terhadap Pancasila. Sikap politik ini tentunya berdampak luar biasa pada eksistensi organisasi termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar Lampung tahun 1980 akibat penolakan pemerintah provinsi untuk memberikan izin penyelenggaraan.
Kondisi ini memunculkan konflik internal dimana sekelompok elit dengan dukungan penguasa Orde Baru mencoba untuk mengganti gaya kepemimpinan radikal kiyai Nafsirin Hadi. Usaha ini berhasil pada Muktamar 1985 ketika kiyai Burhani tampil sebagai ketua umum baru menggantikan Nafsirin Hadi yang secara tragis gagal untuk hadir dalam acara tersebut akibat intervensi pihak militer. Peristiwa ini juga menandai kembalinya sikap politik ambigu MA yang di satu sisi menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan, kalau tidak boleh disebut ketergantungan, dari Golkar. Dibandingkan dengan masa sebelumnya ketika beberapa tokoh nasional direkrut untuk menduduki posisi tertentu, kebijakan rekrutmen tokoh-tokoh Golkar dalam struktur kepengurusan sejak tahun 1985 begitu ekstrim termasuk posisi ketua umum Perguruan Pusat di Menes yang selama ini secara eksklusif berada ditangan kiyai dan tokoh “asli” MA. Penunjukan Yusuf Alamsyah sebelum kemudian digantikan oleh Usep Fathudin merupakan episode dimana MA benar-benar kehilangan identitas mandirinya. Secara makro, kebijakan organisasi pun sangat tergantung pada restu ketua Dewan Pembina. Dengan kata lain, MA telah mengadopsi budaya politik internal Golkar yang menggunakan sistem komando (top-down). Akibatnya, suara-suara daerah menjadi tersumbat dan orientasi kegiatan organisasi menjadi elitis dan tidak mengakar.
Namun harus diakui bahwa pada masa inilah MA mencapai puncak ekspansinya karena berhasil mencapai lebih dari 90% wilayah provinsi Indonesia yang ada saat itu dengan ratusan kepengurusan di tingkat kabupaten, meski kedalaman kepengurusan tersebut patut untuk diselidiki lebih lanjut. Keberhasilan juga terlihat pada perbaikan infrastruktur organisasi. MA berhasil membangun satu universitas untuk pertama kalinya dalam sejarah serta berhasil membangun dan memiliki gedung kantor pusat yang representatif. Lewat kedekatan politik di tingkat elit, beberapa pengurus wilayah/daerah juga dapat menikmati hasil positifnya termasuk pada posisi elit di pemerintahan tingkat lokal. Efek lainnya adalah adanya sekolah/madrasah lokal baru yang menyatakan bergabung dengan MA termasuk di Indramayu dan Kuningan.

Pemikiran Agama Nan Dinamis

Orang dengan mudah mengkategorikan NU sebagai perwakilan kelompok tradisional dan Muhammadiyah mewakili gerakan reformis atau modernis. Namun mereka akan kesulitan untuk mengkategorikan MA jika melihat sejarah perkembangan pemikiran Islamnya. MA mengalami perkembangan yang sangat dinamis dan tidak ajeg dalam bidang ini. Kondisi ini melahirkan dua persepsi yang bertentangan. Di satu sisi, dinamika ini justru menunjukkan kedewasaan cara berfikir dalam bidang agama para tokoh dan warga MA dengan menolak sikap ekstrem pada salah satu aliran tertentu. Di sisi lain, hal ini menujukkan kegagalan MA dalam merumuskan identitas keagamaannya sendiri. Mana yang tepat dari kedua pernyataan tersebut tentunya berpulang kepada warga MA sendiri.
Ketika MA berada ditangan para pendiri, MA dapat dikatakan sebagai pendukung kelompok tradisionalis. Mereka memutuskan keluar dari SI karena dominasi kelompok modernis untuk kemudian bergabung dengan NU. Meskipun dalam beberapa hal kiyai Abdurrahman juga seringkali mengeluarkan fatwa yang justru bersikap tegas terhadap berbagai ritual keagamaan lokal di Banten yang dipandang tidak ada landasannya dalam teks agama, secara umum warga MA menganut paham tradisional. Perubahan baru terjadi ketika MA berada ditangan kiyai Uwes yang banyak memiliki hubungan erat dengan tokoh modernis lewat aktifitas politiknya di Masyumi. Bukunya yang berjudul Ishlahul Ummah Fi Bayani Ahli Sunnah wal Jama’ah secara explicit mendorong kaum Muslim untuk berfikir lebih rasional dalam memahami agama. Kiyai Uwes misalnya menolak sikap sebagian kaum tradisionalis yang secara apriori menolak pemikiran Muhammad bin Abd al-Wahhab, Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abduh. Ia juga mendukung perlunya ijtihad bagi pengembangan pemahaman agama yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam bagian akhir bukunya, ia mengkritik kelompok yang apriori terhadap ide pembaharuan Islam sebagai akibat dari masih terkungkungnya ole ide-ide warisan kolonial belanda.
Pemikiran kiyai Uwes ini medapat dukungan yang kuat dari kiyai Muslim yang menyebut periode dimana MA masih mengikuti tradisi pemikiran tradisional sebagai masa Mekkah sementara setelah banyak berdialog dengan kelompok modernis sebagai masa Madinah. Bahkan ketika perguruan berada dibawah kendalinya, kiyai Muslim membentuk semacam lasykar yang bertugas untuk menghancurkan semua tradisi lokal yang tidak Islami. Langkah radikalnya ini diikuti pula oleh beberapa pengurus perguruan dan beberapa kiyai terutama kiyai Basith. Akibatnya terdapat dua haluan besar pemikiran Islam yang terjadi di MA pada awal tahun 1970-an, yaitu kelompok Simanying yang berhaluan modernis dan kelompok Cikaliung yang berhaluan tradisionalis.
Dinamika perdebatan pemikiran agama semakin meningkat ketika kiyai Nafsirin Hadi yang dekat dengan kelompok Isa Bugis dan kiyai Abdul Fatah memperkenalkan pemikiran yang lebih rasional seperti metode ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan menolak berbagai istilah adjective terhadap Islam. Datangnya para alumni Timur Tengah menambah dinamis perdebatan agama di kalangan warga MA. Kiyai Wahid banyak memperkenalkan prilaku yang baru dalam Perguruan Pusat seperti pengenaan jilbab yang lebih dekat dengan model Timur Tengah daripada model kerudung dan kebaya lokal.
Bagaimana dengan kelompok tradisionalis yang diwakili oleh Yamisa, kiyai Burhani dan lain-lain. Kelompok ini dalam kenyataannya terus bertahan meski dalam posisi terdesak. Keadaan berubah setelah Muktamar 1985 dimana kelompok tradisionalis tampil sebagai pucuk pimpinan dan tersingkirnya kelompok Nafsirin dan Wahid Sahari. Dalam beberapa keputusan Majelis Fatwa nampak jelas sekali upaya untuk kembali mengangkat isyu Ahlussunnah Wal Jamaah yang dekat dengan konsep Aswajanya kaum nahdiyyin. Namun demikian upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena munculnya penentangan dari faksi modernis dan puritan. Pertentangan pendapat ini akhirnya dimediasi oleh PB lewat pembentukan apa yang kemudian dikenal dengan istilah Khittah Mathla’ul Anwar. Teks khittah ini secara jelas menunjukkan upaya kompromi dari berbagai pemikiran agama yang berkembang atau dikembangkan oleh warga MA.

Mathla’ul Anwar Ke Depan

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, antara lain: pertama, sejak didirikan sampai kemudian berkembang menjadi organisasi nasional, kepemimpinan MA masih sangat terbatas pada mereka yang berasal dari Banten. Kiyai Nafsirin Hadi yang berasal dari Aceh merupakan pengecualian karena ia bukan alumni sekaligus berasal dari Banten. Namun ia tetap memiliki kaitan dengan Banten lewat istrinya yang asli Menes. Dominasi, kalau tidak bisa dikatakan hegemoni, Banten telah memunculkan banyak kritik dari warga MA yang berasal dari wilayah di luar Banten. Mereka sering kali bertanya apakah MA benar-benar organisasi yang bersifat nasional atau tidak. Tentunya sulit untuk menjawab pertanyaan di atas karena secara riil kekuatan utama MA memang terletak di Banten atau paling tidak Lampung. Sementara di daerah lain, MA sebagian besar hanyalah papan nama pengurus saja tanpa memiliki ikatan yang kuat dengan madrasah MA di Menes.
Dominasi Banten tentunya berdampak luas bagi isyu keterwakilan daerah tidak hanya dalam struktur formal organisasi tetapi juga dalam diskursus keagamaan. Banyaknya cabang yang terbentuk paska Muktamar 1985 lebih mewakili kepentingan politik karena dalam perluasannya lebih banyak menggunakan instrumen Golkar dan Departemen Agama. Madrasah yang menjadi unsur paling utama dalam pembentukan cabang di tingkat lokal seperti yang terjadi pada tahun 1930-an dan 1960-an tidak lagi menjadi prioritas utama pada tahun 1990-an. Mathla’ul Anwar yang pada awalnya didirikan untuk pembaharuan pendidikan Islam tidak lagi memiliki konsern yang kuat terhadap pendidikan dalam upayanya menjadi organisasi sosial nasional.
Keterpinggiran madrasah oleh pertimbangan politis semakin problematis manakala pada saat yang sama justru madrasah-madrasah MA mengalami kesulitan baik financial maupun unsur pendidikan lainnya. Kegagalan dalam manstreaming pendidikan diperparah oleh semakin dominannya Negara dalam penentuan sistem pendidikan sehingga memberikan ruang yang relative sempit bagi organisasi payung untuk mengatur secara baku dan rigid tentang aturan dan materi pendidikan. Belum lagi jika dikaitkan dengan pemberlakuan otonomi daerah dimana sekolah/madrasah di satu kabupaten memperoleh perlakuan yang berbeda dengan sekolah/madrasah di tempat lainnya karena perbedaan kebijakan, visi dan kekayaan daerah-daerah tersebut. Organisasi payung menjadi hanya tempat sharing ideas tanpa secara langsung mampu merubah ketentuan yang berlaku pada tingkat lokal di daerah.
Signifikansi organisasi payung semakin dipertanyakan manakala terjadi perubahan paska reformasi dan munculnya keterbukaan. Munculnya organisasi-organisasi sosial Islam yang baru memberikan alternatif bagi kaum Muslim untuk menentukan afiliasinya secara khusus. Bahkan tidak jarang ada kaum Muslim yang menjadi aktifis di berbagai organisasi yang terkadang bertentangan visi dan misinya. Krisis signifikansi organisasi sosial semakin nampak ketika kaum Muslim menikmati liberalisasi informasi akibat globalisasi dan diseminasi otoritas keagamaan akibat liberalisasi referensi agama dewasa ini. Fatwa-fatwa dewasa ini dapat diperoleh dan dibaca dengan mudah tanpa harus terlebih dahulu mengadakan agenda bahstul masail seperti yang dilakukan oleh organisasi sosial Islam selama ini.
Keberhasilan gerakan demokratisasi di Indonesia telah melahirkan kesadaran baru di masyararakat akan signifikannya posisi mereka dalam menentukan arus politik baik di tingkat daerah maupun nasional. Pola kepemimpinan kharismatik dan berdasarkan jumlah massa semakin kehilangan momentumnya seiring dengan semakin otonomnya warga masyarakat untuk menentukan pilihannya. Menjadi ketua umum suatu organisasi besar tidak menjadi jaminan suksesnya jalan politik yang dilalui oleh sosok tersebut seperti yang terjadi pada Ketua Umum PBNU dalam pemilu 2004 dan Ketua Umum PBMA pada pemilihan gubernur Banten yang baru berlalu. Dengan kata lain konsep dan pola penggalangan massa lewat pernyataan kebulatan tekad seperti yang terjadi pada tahun 1986 tidak lagi relevan dalam konteks politik kontemporer.

Penutup

Pertanyaan mengapa MA tidak banyak dikenal publik sebagian telah terjawab lewat uraian diatas. Pertanyaan yang relevan sekarang adalah bagaimana MA ke depan. Jawabannya akan sangat tergantung pada bagaimana MA menjawab empat tantangan diatas yaitu dehegemonisasi Banten, mainstreaming pendidikan, liberalisasi referensi dan diseminasi otoritas keagamaan, dan pluralisasi politik.
Wa Al-Lahu ’Alam Bi al-Shawab.

§ Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007.
§§ Dosen IAlN Walisongo Semarang dan Penulis disertasi dengan judul From Kampung to Kota: A Study of the Transformation of Mathla’ul Anwar, 1916-1998 di Universitas Leiden, Belanda.