madrasah

Sunday, December 16, 2007

ISHLAHUL UMMAH (Karya KH Uwes Abu Bakar)

حمدالمن امرعباده في اقامةالدين بالاجتماع والاعتصام. ونهاهم فيه عن التفرق والتنازع والتباغض والخصام.واصلاة وسلام على من دعاالى سبيل ربه بالحكمة وحسن الموعظة والنظام. وخث امته على الاخاء والاخوة والوئام. وعلى اله واصحابه التناصر لباسهم والاخوة روحهم والشورى امرهم وهم بحقوق الله قيام.امابعد.

Syahdan, pada akhir-akhir ini, saya melihat, bahwa persoalan “AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH” menjadi suatu persoalan yang serius (sungguh-sungguh) di kalangan kita kaum muslimin.
Arti dan pengertian, “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” ini agaknya semakin menjadi perhatian kaum muslimin kembali. Seolah-olah mereka memeriksa dirinya kembali, mereka merasa khawatir kalau-kalau dirinya tidak termasuk golongan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”.
Kalau orang lain menamakan dirinya seorang “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”, apakah ia (dirinya) termasuk juga pada golongan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” seperti orang itu, meskipun tidak segolongan dengan dia. Apakah yang dikatakan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu golongan kita sendiri sajakah atau golongan lain juga. Apakah “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu terbatas hanya pada dan untuk satu golongan saja, atau untuk semua golongan. Apa itu “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” yang sebenarnya dan batas-batas “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”.
Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi suatu persoalan yang selalu hangat. Memang hal ini sejak lama menjadi persoalan dalam Agama Islam dan kaum muslimin. Telah berabad-abad lamanya. Dan memang harus dipersoalkan, agar menjadi jelas bagi setiap muslimin. Janaganlah kiranya, perkataan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu menjadi jurang pemisah yang tidak dan bukan pada tempatnya antara sesama kaum muslimin.
Banyak organisasi islam yang mencantumkan perkataan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” dalam anggaran dasar partai / organisasinya di Indonesia ini. Artinya organisasi-organisasi tersebut berdasarkan islam yang tidak akan menyeleweng dari “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”, serta akan membawa anggota-anggotanya ke dan di dalam golongan “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”.
Hanya ............................... mungkin sekali kekurangannya organisasi-organisasi memberikan alasan dan penjelasan yang sungguh-sungguh apa arti dan defenisi “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu, sehingga masih sangat perlulah rasanya diadakannya penerangan-penerangan, diskusi-diskusi, seminar-seminar yang berupa ta’lim yang jujur dan wajar di kalangan ummat muslimin sendiri.
Maka dengan risalah kecil ini yang saya beri nama dengan “ISHLAHUL UMMAH” saya akan mencoba memberikan keterangan dan ulasan alakadarnya mengenai persoalan tersebut.
Mudah-mudahan usaha ini ada faedahnya bagi kita semuanya dan sedikitnya menjadi sumbangan yang walau kecil sekalipun bagi usaha-usaha kaum muslimin dalam memberikan penjelasan dan uraiannya mengenai arti dan pengertian “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” ini. Sehingga akan terhindarlah kita hendaknya dari perasaan menjadi seorang “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah”, padahal kita mengerti apa arti “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” yang kita akui itu. Kita bicara, tetapi tak mengetahui apa yang kita bicarakan itu. Kita mengakui sesuatu tapi kita tidak mengetahui apa yang kita akui itu sesungguhnya. Kita menyatakan akan kesaksian sesuatu, tetapi tidak mengetahui apa yang sebenarnya yang harus kita saksikan itu.
Berbuat sesuatu yang kita tidak mengerti, yang kita tidak mengetahui, itu dilarang.
Allah SWT telah berfirman:
ولاتقف ماليس لك به علم ان السمع والعبصروالفؤادكل اولئك كان عنه مسئولا. الاسراء: ٣٦
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, kesemuanya itu akan ditanya (oleh Tuhan) pertanggungjawabannya.”

Semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita kaum muslimin semuanya. Dan semoga risalah kecil ini bermanfaat. Amiin.

AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH


Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, adalah suatu rangkaian kalimat yang sangat populer dan mahsyur bagi kita kaum muslimin. Akan tetapi mulai kapan dan sejak zaman mana mulai adanya dan timbulnya rangkaian kalimat “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” ini. Ada yang berpendapat bahwa hal ini belumlah jelas. Siapa dan bila yang membikin istilah kata-kata tersebut, ini belum terdapat dan ada di zaman Nabi, kata mereka. Rangkaian kata-kata “Ahli Sunnah Wal-Jama’ah” itu belumlah terdapat dikala Nabi kita masih hidup, baik diistilahkan oleh Nabi sendiri atau para sahabatnya. Ini pendapat golongan pertama.
Akan tetapi kita melihat dalam kitab Al-Bariqatul Makhmudiah juz pertama muka 156 ada hadits yang begini bunyinya:

v وروي عن علي رضى الله عنه انه قال:المؤمن اذااحب السنة والجماعة استجاب الله دعاءه وقضى حوا ئجه وغفرله الذنوب وكتب له براءة من النفاق.
v وفى خبر اخر عن عبدالله بن عمررضىالله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم انه قال: من كان يؤمن بالله ومن كان على السنة والجماعة كتب الله تعالى له بكل خطوة يخطوهاعشرحسنات ورفع له عشردرجات فقيل له يارسول الله متى يعلم الرجل انه من اهل السنة والجماعة قال:اذا وجد فى نفسه عشرة اشياء فهو على السنة والجماعة ان يصلى الصلوات الجمس بالجماعة ولايذكراحدامن الصحابة بسو ء ومنقصة ولايخرج على الصلطان بالسيف ولايشك فى ايمانه ويؤمن بالقدر خيره وشره من الله تعالى ولايجادل فى دين الله تعالى ويكفراحدا من اهل القبلة ولايدع الصلاة على من مات من اهل القبلة ويرى المسح على الخفين جائزافى السفر والحضرويصلى جلف كل بروفاجر.

Kemudian juga dalam kitab “Al-Milal wan-Nihal” juz I halaman 12 ada terdapat sebuah hadits yang berbunyi.

واخبرالنبي صلى الله عليه وسلم ستفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة, الناجية منها واهدةوالباقون هلكى قيل ومن النجية؟قال:اهل السنة والجمعة قيل:ومن اهل السنة والجماعة قال:ما انا عليه اليوم واصحابى.

Kedua kitab ini (Al-Bariqatul Makhmudyjah dan Al - Milal wan Nihal) menunjukkan adanya hadits yang menerangkan adanya kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu. Maka karena itulah menurut golongan kedua, bahwa kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah“ telah telah ada sejak zaman Nabi SAW dan dikatakannya beliau.
Memang tidaklah disebutkan sandaran-sandaran (sanad-sanad) ketiga hadits dalam kedua kitab tersebut itu. Apakah karena demikian maka golongan yang pertama tadi berpendapat bahwa kata-kata rangkaian “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu tiada terdapat di zaman Nabi itu sehingga mereka tidak taiqah akan kebenaran hadits-hadits itu?
Saya kira hal ini perlu dan penting menjadi penyelidikan para ulama kita. Apakah hadits-hadits tersebut itu sah atau tidak. Terdapatlah dalam kitab hadits, misalnya dalam “Kutubus-sittah”?
Pada golongan pertama rangkaian kalimat “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu, adalah serangkaian kalimat yang dijadikan suatu istilah oleh para ulama sesudah Nabi saja. Golongan pertama ini, berkata bahwa kemungkinan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu dimulaikan orang pada akhir windu kelima tahun Hijriyah, yaitu tahun terjadinya “Kesatuan Pemerintahan Islam” atau “Aamul Jama’ah”; ialah atas kerelaan, keikhlasan daan keluasannya dada S. Hasan bin Ali r.a. sebagai Kepala Pemerintahan Islam pada waktu itu, beliau menyerahkan dan mensatukan pemerintahan dibawah pimpinannya kepada pemerintahan di bawah pimpinan Mu’awiyah r.a., demi untuk perdamaian dan kesatuan pemerintahan Islam pada waktu itu, dengan syarat dan asal saja katanya dihentikannya mencaci dan mecela-cela bagi ayahandanya S. Ali r.a. sehingga tahun ini oleh sejarah dinamailah “ ‘Aamul-Djamaah” (Tahun Kesatuan).
Pada waktu Agama Islam dengan cepatnya menyebarluaskan ke utara dan ke selatan juga ke sebelah timur dan barat, dan pada waktu itu fikiran-fikiran dan falsafah Yunani dibawa orang dan mempengaruhi juga bagi I’tiqad kaum Muslimin, maka diadakanlah usaha-usaha ke arah memurnikan kembali ‘Aqidah Islamiyah, janganlah sampai bercampur aduk dengan falsafah dan ‘aqidah Yunani itu. Gerakan usaha ini terjadi pada akhir abad ke 3 (tiga) Hijriyah, yaitu suatu gerakan yang diusahakan oleh tokoh-tokoh para ulama ilmu tauhid, ilmu ushuluddin yang dikepalai oleh Abdul Hasan Ali bin Ismail Al - Asy’ari dan Abu Mansyur Al - Maturidi. Maka pada waktu itu, diadakanlah peninjauan kembali mengenai I’tiqad Islam ini dan diadakannya saringan yang cermat dan teliti, sehingga dapatlah diadakannya suatu pembatasan (demarkasi) antara akidah yang dibenarkan oleh Islam dengan yang tidak. Golongan Muslim yang mengikuti I’tiqad kedua pimpinan ulama itulah, dinamakan golongan “Ahli Sunnah wal Jama’ah” Sedang golongan-golongan lainnya, ialah yang dinamai Mu’tazilah, Jabariah Qadariah, Khawarij, Syi’ah dan lain-lain sebagainya yang Insya Allah akan lebih jauh diuraikan nanti.
Berkata Ibnu Subki :
“Imam Abdul Hasan Al - Asy’ari sendiri, tadinya termasuk seorang tokoh Mu’tajilah, yaitu suatu golongan yang dikepalai oleh Abi Ali Al - Djaba’i. Kemudian ia keluar dari golongan Mu’tazilah tersebut dan menyadari akan kesalahannya. Abdul Hasan Al - Asy’ari ini menjadi juru debatnya Al - Djaba’i, sebab Al - Djaba’i sendiri keahliannya istimewa dalam karang mengarang, kuranglah keahlian dalam debat mendebat (munazharah). Pada suatu ketika Abdul Hasan Al - Asy’ari mimpi bertemu dengan Rasulullah saw hingga tiga kali. Kepadanya Rasulallah berkata : “Hai Ali, tolonglah olehmu mazhab yang datang dari padaku!”

Karena itu ia berfikir dan kemudian ia berkhalwat di dalam rumahnya selama lima belas hari dan kemudian ia keluar serta mengadakan pernyataan kepada orang banyak pada waktu itu, bahwa ia telah keluar dari mu’tazilah dan ajaran-ajarannya. Ia mengambil dan menghimpun ajaran-ajaran dari para ulama tauhid yang dipandang langsung dari ajaran Rasulallah SAW.
Selanjutnya Ibnu Subki berkata: ”Sesungguhnya Al-Asy’ari tidaklah membikin-bikin akan pembicaraan mengenai aqidah ini, yang cocok dengan sunah semata-mata.”
Setelah itu, ia (Imam Al-Asy’ari) berusaha keras bersama para pengikutnya menentang paham mu’tazilah tersebut diantara para pengikutnya itu, terdapat beberapa ulama besar, seperti: Imam Ghazali, Imam Abul Hasan Bin Faurak, Imam Fakharurraji, Al - Qadli Abu Bakar, Al - Baghilany dan lain-lain.
Golongan ini, bertambah maju banyak pengikutnya serta semakin meluas dan kemudian dinamakan orang golongan ini dengan ”Ali Sunnah Wal Jama’ah”.
Mazhab Mu’tazilah, yang ajarannya semata-mata berdasarkan akal dan terpengaruh oleh falsafah Yunani itu ditolak dengan kerasnya oleh “Ahlus sunnah Wal Jama’ah” ini.
Perlulah diingat bahwa golongan ”Ahlu Sunnah wal Jama’ah” itu seperti telah diuaraikan tadi, adalah golongan mereka yang berpaham dan mengikuti Imam Abul Hasan Al - Asy’ari dkk. Dalam persoalan I’tiqad persoalan ketuhanan (ilmu tauhid). Dan kemudian dipinjam juang menjadi istilah dalam soal ilmu fiqih dan mazhabnya (ilmu furu’).
Perkataan Mu’tazillah atau golongan mu’tazilah terdapat sejak permulaan abad kedua hijriah.
Seorang ulama besar Tabi’in, Imam Bashri (wafat tahun 116 H). Berselisih pendapat dengan seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha (wafat tahun 131 H). Mengenai hukum seorang muslim yang mengerjakan dosa besar, apakah ia kafir atau mukmin. Washil bin Atha berpendapat, bahwa orang semacam iti, hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi di tengan-tengah dan diantara kedudukan itu.
Oleh karena pendapatnya Washil bin Atha demikian itu, maka ia diasingkan (I’tizal) dari kalangan semua kawannya. Kemudian menimbulkan gelaran dan istilah ”Mu’tazilah” Bagi golongan Washil bin Atha dan para pengikutnya itu.
Dalam hal ini, haruslah diingat pula sebagaimana telah disebutkan diatas tadi, bahwa golongan ”Ahli Sunah Wal Jama’ah” timbul pada akhir abad ke-3, yakni dikala diusahakannya kemurnian kembali Aqidah Islamiah, sedang istilah dan golongan Mu’tazilah sudah timbul pada awal abad ke-2. Artinya, jika kita melihat ini, istilah Mu’tazilah itu lebih tua dan lebih dahulu 200 tahun dari “Ahlus Sunah Wal Jama’ah”.
Mu’tazilah berpendapat (beri’tiqad) diantara lain : ”Perilaku manusia itu, terlepas dari takdir Allah manusia itu sudah diberi kekuasaan dan kebebasan sendiri untuk menentukan sesuatu dan berbuat sekehendak hatinya. Hal ini, untuk menjaga jangan sampai ada yang menyalahkan Allah SWT, karena ia telah mentakdirkan manusia itu berbuat jahat atau miskin dan sengsara”.
Sedang “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” berpendapat (ber’itiqad), bahwa segala sesuatu itu atas takdir Allah SWT. Tidaklah manusia itu akan memperbuat sesuatu jika tidak ditakdirkan oleh Allah SWT. Tiap kebaikan dan kejahatan seseorang itu atas kodrat dan irodat Allah SWT. Hanya manusia itu wajib kasab dan ikhtiar. Dan kasab dan ikhtiarpun juga takdir dari Allah SWT.
Manusia menjadi seorang yang taat atau menjadi seorang yang maksiat kepada Allah itu takdir Allah. Dia wajib berikhtiar, agar dirinya menjadi seorang yang taat kepada Allah, sebab ia tidak tahu akan hakekat takdir Allah itu. Kemudin setalah ia menjadi seorang yang taat, ia akan merasa banyak syukur kepada Allah SWT yang telah mentakdirkan dia menjadi seorang yang taat dan ibadat.
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulallah saw : “Ya Rasulallah, mengapa tuan banyak benar mengerjakan ibadat dan beristighfar, padahal tuan telah dijadikan Tuhan ahli syurga?“ Jawab Rasulullah SAW : “Karena aku sangat merasa syukur kepada Allah SWT. Firman Allah :

قل كل من عندالله
Artinya:
“Katakanlah olehmu hai Muhammad, segala sesuatu itu dari Allah.”

Baik dan buruk dari Allah. Taat dan Maksiat dari Allah. Demikian ini sendi iman yang ke-enam.
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat
3. Iman kepda Kitab Allah (Al-Qur’an)
4. Iman kepada Rasul Allah
5. Iman kepada Hari kiamat dan
6. Iman kepada takdir Allah, baik dan buruk semuanya dari Allah, tetapi semuanya itu wajib kasab dan ikhtiar.
Adalah soal adab, sangat kurang adab dan diharamkan oleh agama dan syara’, apabila seseorang berkata bahwa “Ia tidak mengerjakannya sembahyang ini juga takdir dari Allah”. Meskipun pada hakikatnya memang demikian. Tetapi karena manusia itu diperintahkan Allah kasab dan ikhtiar, maka haramlah baginya dan sangatlah kurang/tidak mempunyai kesopanan sama sekali, apabila berkata “Saya tidak bersembahyang ini, atau saya mengerjakan kejahatan begini ini adalah dari takdir Allah juga” Manusia itu telah diberi akal untuk memilih dan memisah sesuatu yang baik dan yang buruk.
“Ahli Sunnah wal Jama’ah” berpendapat, bahwa memang segala sesuatu itu, adalah dari dan takdir Allah SWT, hanya saja kita diwajibkan kasab dan ikhtiar. Kita tidak mengetahui hakikat qudrat dan iradat Allah, sebelum sesuatu itu terjadi. Dan karena itu, kita wajib mempunyai adat dan kesopanan terhadap Allah SWT kita hendaknya mengatakan yang baik-baik itu dari Allah dan yang jahat itu karena perbuatan kita sendiri, meskipun hakekatnya dari Allah juga.
Firman Allah :

ما اصابك من حسنة فمن الله ومااسابك من سيئة فمن نفسك. (النساء)

Artinya :
“Mana-mana yang mengenai dirimu dari sesuatu kebaikan itu, adalah dari pada Allah, dan mana-mana yang mengenai dirimu dari sesuatu kejahatan itu, adalah dari perbuatan dirimu sendiri”.

Adapun I’tiqad Qadariyah diantara lain seperti yang diterangkan oleh Ibnu Subki dalam Kitabnya “Ath-Tabaqat” : “Bahwa Imam Syafe’i r.a. telah berkata : “Qadariyah itu, ialah yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW” :

القدرية مجوس هذه الامة هم الذين يقولون ان الله لا يعلم المعاصى حت تكون.
Artinya:
“Qadariyah itu adalah Majusinya umat sekarang ini, ialah mereka yang berkata, bahwa Allah tidak mengetahui akan maksiat sehingga maksiat itu ada (terjadi)”.

Artinya, adanya maksiyat itu, bukanlah ditakdirkan Allah, semata-mata perbuatan manusia saja.
Api itu katanya sudah diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menghanguskan sesuatu. Pada waktu hangusnya sesuatu itu, tidak membutuhkan lagi akan takdir (qudrat) dari Allah, sebab sudah diberi qudrat pada mulanya. Pisau itu tajam, sudah diberi kekuatan oleh Allah untuk mengerat (memotong) sesuatu. Pada waktu sesuatu itu terkerat / terpotong, tidak memerlukan lagi akan takdir dari Allah.
Kaum Jabariah beri’tiqad: ”Bahwa kita manusia ini katanya lakasana bulu ayam yang digantung dengan sesuatu benang dan ia berarah dan menuju bagaimana angin saja, angin dari barat ia ke timur. Angin dari timur ke barat; artinya, bagaimana takdir Allah saja, dan tidak ada / perlu kasab dan ikhtiar lagi bagi kita manusia ini.”
“Ahli Sunah Wal Jama’ah” beri’itaqad, bahwa api itu adanya (biasanya) saja dapat menghanguskan sesuatu. Tetapi sah dan boleh jadi juga menyalahi adat kebiasaan itu, sebab pada waktu api menyentuh sesuatu itu, harus dengan takdir Allah, juga apakah sesuatu itu hangus atau tidak. Terkerat atau terpotongnya sesuatu itu harus dengan takdir Allah juga.
Biasanya api itu menghanguskan, tetapi Nabi Ibrahim a.s. ketika ia dibakar dalam api yang menjadi-jadi demikian besar, tidaklah Nabi Ibrahim itu hangus, sebab tidak ditakdirkan hangus oleh Allah SWT dan Allah berfirman : “Ya naaru kuuni bardan wasalaman ‘ala Ibrahim”, ”Wahai api, jadilah engkau dingin dan menyelamatkan Ibrahim”.

لا تأثير لشئ من الكا ئنات بقوته او طبعه.

Artinya:
“Tidak memberi bekas apa-apa bagi sesuatu dari segala mumkinat (makhluk) itu dengan kekuatannya atau dengan thabi’atnya.”

لا حول ولا قوة الا بالله العلى العظيم.

Artinya:
“Tidak ada daya dan kekuatan apa-apa, kecuali dengan pertolongan qudrat Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Seseorang takut kepada hantu, itu suatu I’tiqad dan keyakinan yang salah dan tidak benar. Wujudnya samar-samar. Hanyalah suatu kepercayaan yang gaib yang tidak menentu wujudnya. Kita wajib takut pada Allah saja, segala sesuatu tidak memberi darurat atau manfaat, kecuali ijin dan takdir Allah.
Apabila seseorang takut kepada harimau dan harimaunya nampak terlihat atau memang benar-benar karena dia berada ditempatnya harimau dan sehingga karenanya dapat menerkam dia, takut semacam itu tidak salah dan benar, sebab pada adanya, pada biasanya harimau itu suka menerkam orang dan memberi madarat.
Seseorang memelihara burung perkutut, dia mempunyai I’tiqad dengan itu dia ingin menjadi kaya, sebab burung tersebut mempunyai tanda-tanda dan ciri-ciri yang khas yang dapat membawa kaya, katanya kepada seseorang yang memeliharanya.
Kepercayaan semacam ini, kepercayaan yang salah dan dapat menjadikan musyrik. Ciri-ciri yang khas dari burung perkutut itu, kata siapa. Hanya suatu kepercayaan yang ghaib, yang tidak benar, suatu kepercayaan yang bukan dari agama Islam. Nabi Muhammad SAW belum pernah memberi penerangan semacam itu. Kepercayaan semacam itu, mungkin dari agama lain, Hindu atau Budha, sisa-sisa dari agama nenek moyang kita dahulu sebelum Islam datang.
Kalau seseorang ingin menjadi kaya, kemudian ia bekerja keras dan rajin serta ‘itiqad (hemat) dan tadbir dalam menggunakan hartanya disertai dengan banyak berdoa kepada Allah mohon petunjuk, itulah yang benar. Jika kebetulan ia menjadi seorang yang kaya, banyak-banyaklah syukur ia kepada Allah pergunakanlah harta kekayaannya dengan baik menurut petunjuk agama Islam, jadikanlah harta kekayaannya itu untuk membela dirinya, keluarganya, tetangganya, masyarakat sekeliingnya, bangsa dan negaranya, dan sebagaian lagi jadikanlah untuk turut membela kejayaan agamanya. Jika kebetulan tidak juga menjadi kaya, hendaklah bersabar dan bertahan serta ketahuilah, bahwa segala sesuatu itu dari pada Allah SWT jua.
Orang menanam pohon pacing di setiap penjuru sawahnya, agar sawahnya itu menjadi lebat berbuah dan menghasilkan banyak.
Orang menanam azimat dari lafazh-lafazh, atau wafaq di penjuru sawahnya, agar babi atau hama lainnya tidak mau datang. Orang menyuguh dengan ancak-ancak kecil yang berisi kueh-kueh dan biasanya ditambah dengan telur barang sebutir agar hajatnya (kenduri) dan sedekahnya berekat. Kepercayaan dan perbuatan semacam semua itu, salah dan dapat membawa kemusyrikan bagi seseorang yang memperbuatnya (mengerjakannya). Sebab semua kepercayaan itu tadi, bukan kepercayaan yang berasal dari agama Islam. Seseorang itu tadi, pasti sedikitnya mempunyai sangkaan, sekali lagi sedikitnya mempunyai sangkaan, bahwa untuk berkatnya, sedekahnya itu atau agar hasil sawahnya itu menjadi lebih banyak, dia mempunyai sangkaan ada kekuasaan yang gaib selain Allah yang akan menolong dia .
Kalau orang ingin sawahnya berhasil baik, kerjakanlah sawahnya dengan rajin menurut ilmunya. Cukuplah sawahnya dengan rabuk sesuai dengan petunjuk jawatan pertanian, kemudian berdoalah dan mohon pertolongan kepada Allah SWT sebagai seseorang Islam .
Seseorang perempuan hamil, ia akan bepergian tertutama bepergian di waktu malam, haruslah ia membawa pisau kecil, agar ia selamat.
Kalau seorang perempuan melahirkan anak laki-laki, haruslah dibikinkan keris-kerisan dari selupak pinang (upih) dan dicoret-coret dengan kapur, ini katanya untuk menolak hantu (kuntili) datang yang suka sekali mengganggu si anak (baji) kecil itu dan maaf…… suka sekali kuntili itu katanya makan biji kemaluan anak kecil .
Kalau kamu bikin rumah, harus menghadap kesana katanya sebab nama kamu si Fulan sedang istrimu si Fulanah, yang setelah dijumlahkan waktu kedua nama kamu laki istri menjadi sekian, maka kamu berumah harus menghadap kesana, agar rumah tangga kamu bahagia, baik, awet dan menjadi kaya.
Karena baru saja kita panen, nanti pada hari anu tanggal sekian, harus sedekah meruat bumi tanda kita berterimakasih. Pada hari yang telah ditentukan, seahli kampung berkumpul, di masjid, laki-laki, perempuan, tua muda. Mereka memotong kerbau hasil iuran bersama-sama. Mereka makan minum bersama-sama dan baca doa minta berkat dan selamat. Sisa makanan berupa nasi dan daging yang karena tidak habis dimakan, atau mungkin sengaja disisakannya, dilarang (pantang) dibawa ke rumah mereka masing-masing, tetapi harus dimasukkan kedalam cubluk dihadapan atau di samping masjid itu yang memang sudah digali mereka, sediaan guna menanam sisa-sisa makanan tadi.
Pada setiap tahun, laut disana harus diruat harus dirajakan, arak-arakkan dan iring-iringan ketengah dengan sepuluh perahu yang serba dihias, dan pada waktu di tengah lautan dibuangnya kepala kerbau maksud ini agar para nelayan selamat, yang selalu mendapat hasil ikan yang banyak, katanya.
Ada juga orang beramai-ramai “ziarah” katanya ke suatu kuburan yang tertentu. Kepergian ziarah ini tidak perduli mengeluarkan uang yang banyak, mereka menyewa kendaraan hingga puluhan ribu rupiah. Apa maksud di sini? Selain ziarah di suatu kuburun wali, tapi disana mereka akan mengadu untung, mereka mengodok lubang, jika dari lubang itu ia mendapat padi, maka ia akan menjadi kaya dari tani, dan jika ia dari lubang itu mendapat uang, ia akan menjadi kaya karena dagang.
Pada waktu mengkhitan anak (biasanya jika anak laki-laki) disediakan juga seekor ayam untuk disembelih, buat bela katanya persis kepada pisau dikeratkan pada anggota anak yang dikhitan itu, ayampun harus berbareng disembelih juga. Ini namanya “Bela”. Buat bela /membela apa? Kebanyakan malah, semua orang tidak tahu, hanya mengikuti saja jejak orang-orang tua.
Ada lagi di sebagaian tempat / negeri, suka melepas binatang, misalnya ayam di pekuburan atau tempat-tempat yang angker/herit, katanya karena anaknya sudah lama kena sakit sudah bertahun-tahun, jadi minta-minta supaya anak itu lekas sembuh.
I’tiqad dan kepeercayaan-kepercayaan semacam di atas ini dan banyak lagi modelnya, tidaklah dibenarkan oleh islam dan dapat menjadikan musyrik.
Hendaknya kita berhati-hati. Dan inilah sebenarnya bagi mubaligh-mubaligh Islam, masih banyak sekali yang menjadi kewajiban mereka lebih dalam aqidah dan tauhid ini.
Musyrik itu, bukannya hanya bagi seseorang yang menyembah berhala semata-mata, atau menyembah matahari misalnya, tetapi juga bagi seseorang yang menyembah Alah SWT, tetapi dia mensekutukan bagi Allah, seperti dia mempunyai I’tiqad, bahwa ada kekuasaan lain selain dari kekuasaannya Allah. Soal-soal yang besar ia serahkan atas kekuasaan Allah, tapi keberkatan penghasilan padi diserahkan kepada kekuasaan lain, karena itu ia tanam pohon pacing di sudut sawahnya. Keberkatan hajatannya ia serahkan kepada kekuasan lain, karena itu ia nyuguh makanan dengan ancak-ancak kecil di setiap ujung kampung.
Orang-orang semacam ini betul ia Islam sebab ia percaya kepada Allah dan juga beribadah sembahyang puasa dan lain pekerjaan ibadah ia mengerjakannya. Tetapi pada waktu ia mempunyai hajatan atau waktu menanam padi, dia mempunyai kepercayaan lain, yaitu mempunyai kepercayaan yang gaib (entah apa) yang menemani Allah Ta’ala dalam memberkatan padinya atau hajatnnya. Ini namanya dalam bahasa arab “syarik” atau bahasa kita “teman” bagi Allah orang yang menjadikan syarik bagi Allah itu namanya “musyrik” Na’uzubillah.
Jadi orang yang semacam itu, memang muslim, tapi sewaktu-waktu ia menjadi musyrik.
Mu’azallah. Berlindung kita kepada Allah dari perbuatan syarik ini.
Firman Allah :

ان الله لا يغفر ان يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء. (النساء: ١١٢)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni bagi orang yang mensyarikatkannya (musyrik) dan (tetapi) dapat mengampuni bagi orang yang tidak mensyarikan-Nya bagi siapa yang dikehendakinya (berdosa selain syirik)”.

ولئن سألتهم من خلق السموات والارض ليقولن الله.

Artinya:
“Dan jika kamu tanya mereka, siapakah yang membikin langit dan bumi dan yang menundukan matahari dan bulan, maka tentulah mereka menjawab, yaitu Allah”.

Kedua ayat diatas ini dapat kita ketahui, yang pertama menunjukan, bahwa Allah tidaklah memberi ampun bagi orang yang musyrik, dan dapat memberi ampunan bagi orang yang hanya berbuat dosa besar sekalipun. Ayat kedua menunjukkan bahwa, orang musyrik itu tahu, bahwa yang membuat langit dan bumi iti Allah, hanya Dia (mereka) tiada beribadat kepadanya (Allah).
Seseorang menyembah Allah dan ia tahu yang membuat langit dan bumi itu Allah, tetapi dia membikin syarik kepada Allah, dia membikin andaad membikin teman, membikin sekutu kepada Allah.Yaitu kalau soal keberkatan menanam padi seolah-olah harus dibantu oleh pohon pacing, untuk keberkatan dan keselamatan sesuatu harus memberi suguhan dengan ancak kecil di waktu kenduri. Untuk keselamatan dan keberkahan harus dibantu dengan melepas ayam di pekuburan dan sebagainya.
Sebenarannya kalau soal furu’, soal fiqih itu tidak membahayakan berselisih di dalamnya. Khilafiah dalam fiqih itu sejak jaman sahabat telah ada ada terjadi dan selamanya tidak akan hilang. Khilafiah dalam fiqih itu dibenarkan oleh agama Islam, selama yang memfiqihkan adalah para ulama ahli (mujahidin yang mendapat wewenang dari agama untuk ijtihad). Serta khilafiah fiqih itu bukan untuk diperdebatkan atau guna permusuhan satu sama lain malah khilafiah fiqih itu, harus dipandang suatu kelapangan dan keluasan bagi seseorang dalam beragama. Kita boleh beramal menurut paham muztahid Syafi’i misalnya tetapi jangan mencela amal seseorang yang mengikuti pahamnya muztahid Maliki, meskipun kedua paham dan kedua muztahid dalan masalah yang sama itu tidak bersamaan. Kalau Imam Syafi’i seorang ulama, Imam Malikipun seorang ulama pula. Hormatilah dan ta’jimkanlah para ulama yang sekalipun tidak kita ikuti paham (mazhab)nya, sebagai kita menghormati para ulama yang kita ikuti paham (mazhab)nya. Sebab kesemua ulama itu “Warasatul Anbiya”, penerang dunia dan akhirat. Mereka sama-sama atas petunjuk dari Tuhan mereka. Ulaa-ika ’ala hudan minrabbihim.
Sekali lagi kami garis bawahi perkataan diatas, bahwa khilafiah dalam fiqih itu dibenarkan oleh agama selama yang memfiqihkan itu para mujtahidin, yakni para ulama yang mendapat wewenang (cukup syarat) untuk berijtihad.
Tetapi kalu soal pokok, masalah aqidah, masalah tauhid, masalah ushuluddin, tidak boleh sama sekali menyimpang, apa pula disimpang-simpang. Sebab kalau seseorang menyimpang dari aqidah dan kepercayaan yang digariskan oleh agama Islam (yaitu yang telah menjadi gagasan Imam tauhid, Imam Asy’ari dan Imam Maturidi seperti telah disebut di atas, sejarahnya - sejarah Ahli Sunah wal Jama’ah), Dia akhirnya akan menjadi musyrik mensekutukan kepada Allah, Na’uzubillah.

Contoh yang pertama :
Seseorang ibu melekatkan kalung hitam (biasanya terbuat dari benang kanteh) pada leher anaknya yang masih kecil. Dalam hatinya, ia berfikir agar anak itu tidak terkena sakit cacing. Dalam hatinya ia mempunyai harapan, kalung itu akan menolak dari penyakit cacing terhadap anaknya. Meskipun ia beri’tiqad bahwa ini sekedar syariat saja katanya artinya sekedar usaha, pada hakekatnya dia mengharapkan penolakakan penyakit cacing dari Allah, tetapi dalam hatinya terselip bahwa sedikitnya kalung itu memberi Atsar (bekas) menghilangkan penyakit cacing tersebut. Seolah-olah si kalung itu diberi kekuasaan oleh Allah sedikit dapat menolak penyakit cacing itu, atau seolah-olah Allah bersekutu dengan kalung dalam menolak penyakit cacing dari si anak tadi.

Contoh kedua :
Kalau si ibu itu tidak ada sama sekali kepercayaannya, bahwa kalung itu sedikit juapun tidak memberi bekas (atsar) apa-apa bagi penyakit cacing itu, ia bulat percaya, bahwa Allah sajalah yang memberi baik, atau sakit terhadap anak itu. Ia melekatkan kalung hitam pada leher anak itu, hanya turut-turut orang saja.
Kepercayaan dan I’tiqad yang pertama si ibu itu menjadi syirik. Dan perbuatan ibu yang kedua itu haram hukumnya, terlarang oleh agama, sebab ia berbuat dengan satu perbuatan yang tidak dilakukan/disuruh oleh Allah dan Rasulnya. Tidak pernah Nabi berbuat demikian. Belum pernah Nabi kita melekatkan atau menyuruh melekatkan kalung yang berwarna hitam itu kepada anaknya S. Fatimah r.a. Belum pernah Nabi kita membiarkan orang melekatkan kalung hitam pada leher anaknya untuk menolak suatu penyakit. Belum pernah ada sejarah mengatakan seseorang sahabat yang berbuat demikian.
Bawalah sianak itu kepada dokter untuk diobati penyakitnya atau berilah si anak itu minum dengan obat menurut keterangan yang ahli. Karena berobat dan mengobati sesuatu penyakit, diperbolehkan oleh agama Islam.
Pengarang kitab “Bughyatul Mustasjidin” telah menulis mengenai mazhab-mazhab dan golongan-golongan yang berkenaan dengan aqidah ini. Beliau nukilkan dari kitab “Maarizul Hidayat” karangan Al-Allamah Al-Muztahid Al-Syeh ‘Ali bin Abibakar Al-Saggaf Al-Alawij (Rahimahumullah). Berkata Ma’arizul Hidayah :
“Fashlun”, hendaklah anda berhati-hati dari bermacam bid’ah dan pemeluk-pemeluknya. Dan berantaslah bid’ah itu, serta jauhilah pemeluk-pemeluknya. Janganlah sekedudukan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pokok dari macam-macam bid’ah dalam ilmu ushul sebagai yang diterangkan para ulama itu, kembali kepada tujuh pokok :
1. Mu’tazilah, ialah mereka berpendapat, bahwa amal perbuatan manusia itu, adalah perbuatan dan amal mereka berpendapat bahwa ru’yatul muminin (melihatnya muminin di surga) kepada Allah tidak ada. Mereka mewajibkan pahala dan siksa. Mereka itu ada dua puluh golongan.
2. Syi’ah, ialah mereka yan mencintai kepada Sayidina ‘Ali r.a. dengan cinta yang berlebih-lebihan. Mereka terdiri dari dua puluh dua golongan.
3. Khawarij, ialah mereka yang membenci Sayyidina Ali r.a. dengan kebencian yang berlebih-lebihan, sehingga mengkafirkannya dan memandang kafir bagi orang yang berdosa besar.
4. Murji’ah, ialah mereka yang berpendapat, tiada mengapa berbuat maksiat, jika disertai iman dan tidak berarti apa-apa taat jika disertai kufur. Mereka ini berjumlah lima golongan.
5. Najariyah, ialah mereka yang berpendapat bersamaan dengan pendapat “Ahli Sunnah wal Jama’ah” dalam amal dan perbuatan manusia (artinya dengan takdir Allah) dan sependapat dengan Mu’tajilah dalam menafikan sifat-sifat Allah dan Kalamullah itu hadits. Mereka itu tiga golongan.
6. Jabariyah, ialah mereka berpendapat bahwa tidak ada ikhtiar dari manusia, sebab Tuhan sudah lebih dahulu menentukan sesuatu. Mereka itu satu golongan saja.
7. Musyabbihah, ialah mereka berpendapat, bahwa Allah itu serupa makhluk juga berjisim dan hulul (bersatu dengan makhluk). Mereka itu satu golongan saja.

Sehingga semuanya berjumlah 72 golongan. Adapun golongan (mazhab) yang najiyah (yang selamat) ialah merek “Ahlus Sunnah al- Baidla-u-al Muhamadiyah wath-thariqatun Nagiyah” Ahli sunnah yang bersih putih yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW dan perjalanan yang suci bersih.
AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
DALAM ARTI KE NEGARAAN


Pada permulaan tadi di atas, diterangkan bahwa ada golongan yang mengira, bahwa kata-kata rangkaian “Ahli Sunnah wal Jama’ah”, diistilahkan orang sejak akhir windu ke-5 Hijriah. Ini artinya, dalam arti kenegaraan, maka kata-kata “Ahli Sunnah wal Jama’ah” itu menjadi masyhur pada akhir windu ke-5.
Sebagai dimaklumi, terjadilah suatu tragedi (kesedihan), yang menyolok bagi kehidupan sejarah Islam setelah ditinggalnya Rasulullah SAW yaitu terbunuhnya Sayidina Utsman r.a., sehingga wafat sebagai khalifah ke-3 itu. Hal ini sungguh menjadi lembaran hitam bagi buku sejarah Islam. Meskipun hal ini adalah menjadi suatu untuk kita berfikir, tetapi berat dan besar sekali. Konsekwensi perjuangan, banyak sekali membawa kepahitan dan penderitaan. Karena memang suatu cita-cita yang baik dan mulia itu harus ditebus dengan bermacam pengorbanan apapun dalam perjuangan kita harus bertahan, kita bersabar, kita harus berpendirian yang tetap dan tak menggoncang, apabila setelah kita fikirkan masak-masak, kita perhitungkan dengan matang bahwa perjuangan kita ini adalah hak sesuai dengan kehendak agama dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Sebab kesemua penderitaan itu, kesemua pengorbanan itu, adalah suatu ujian, suatu imtikhan dan i’tibar guna penebus kemulyaan (tercapainya cita-cita) di masa datang. Laksana orang yang sedang berpuasa, dia harus sabar menderita panas dasyatnya perut karena kosongnya dan dia harus yakin bahwa maghrib itu akan tiba tidak lama lagi. Saat dan waktunya berbuka itu akan sampai juga, tiada seberapa lama lagi. Dia jangan buka sebelum waktunya, dia jangan batal puasanya. Boleh jadi dia waktu menderita itu, waktu dia goncang itu, sudah waktu ashar. Sebentar lagi saja waktunya ia berbuka. Maka berbahagialah orang yang tamat puasanya, dan rasa menyesal yang dalam akan di rasai oleh orang-orang yang tak tahan uji sehingga batal berpuasanya, malah kadang-kadang malu-malu kucing terhadap orang-orang yang tahan uji itu.
Firman Allah :

ام حسبتم ان تدخلواالجنة ولما يأتكم مثل الذين خلوامن قبلكم مستهم البأ ساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين امنوا معه متى نصرالله الا ان نصرالله قريب.(البقره: ٢١٤)

Artinya:
“Adakah kamu sekalian mengira, bahwa kamu akan masuk syurga tanpa mengalami seperti yang telah dirasai oleh orang-orang yang beriman sebelum kamu sekalian dahulu? Mereka menderita sengsara dalam kehidupan, mereka menderita bermacam malapetaka dan digoncangkan dengan bermacam bala, sehingga Rasul dan orang-orang mukmin yang menyertainya berkata “Bilakah pertolongan Allah itu akan datang?” Kemudian mereka dijawab : “Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah itu, sungguh sudah dekat.”

Demikianlah kira-kira maksud dari ayat di atas ini, dalam menggambarkan bagaimana kita harus sabar, harus tahan uji dalam menjalankan perjuangan. Dan demikian pulalah, tercapainya cita-cita, laksana sesuatu kemuliaan yang hakiki, akan diberikan Allah sebagai ganjaran bagi orang-orang mukmin yang berjuang dengan sanggup menderita dan tahan dalam menerima bermacam godaan.

من طلب العلى نميركد * سيدركها اذا شاب الغراب.

Artinya:
“Seseorang yang menuntut ketinggian dan kemuliaan, tanpa penderitaan dan pengorbanan, akan juga dapat tercapai apabila burung gagak telah berbulu putih.”

Demikianlah S. Utsman r.a. sebagai khalifah, sebagai pemimpin dan kepala negara Islam, beliau telah gugur terbunuh karena kezhaliman dan penganiayaan lawan-lawannya. Beginilah resiko perjuangan.
Kejadian semacam ini, memang tidak hanya diterima oleh S. Utsman sendiri, Sayidina Abu Bakar r.a. wafat, karena menderita sakit akibat diracun oleh seorang Yahudi. Sayidina Umar r.a. terbunuh dan wafat diserang dan ditikam oleh lawannya ketika ia bersembahyang. Juga seperti itu, mengenai diri Sayidina Ali Karramallahu wazhah. Beliau-beliau itu berjatuhan gugur bagai bunga menambah keharuman sejarah kebenaran atas penganiayaan lawan-lawannya yang tidak ingin dan tidak suka melihat kebenaran dan hak tersebar dan membiak dikolong langit semesta ini.

يريدون ليطفؤا نورالله بافواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون (الصف:۸)

Artinya:
“Mereka menghendaki agar supaya mati cahaya Allah (syara dan fakta kebenaran) itu dengan mulut mereka, dan Allah akan menyempurnakan jualah akan cahaya-Nya itu, meskipun orang-orang kafir merasa tidak senang.”

ولن ترضى عنك اليهود ولاالنصارى حتى تتبع ملتهم.(البقره:١٢۵)

Artinya:
“Tiadalah sekali-kali akan merasa senang dan suka dari padamu (Muhammad) orang-orang Yahudi dan Nasrani, kecuali apabila kamu mengikuti Agama mereka.”

Demikian juga kedua ayat Qur’an di atas ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa lawan-lawan K. Nabi Muhammad itu akan senantiasa berusaha sekeras-kerasnya mengancurkan, melumpuhkan dan menindas cahaya Allah, yakni cahaya kebenaran dengan segala daya dan berbagai cara dan taktik. Tetapi, ketahuilah, bahwa Alah SWT akan menyempurnakan juga bagi cahaya-Nya itu.
Seperti juga para Khulafaurasidin r.a. itu tadi, juga dalam proses perkembangan dunia sejak dahulu sampai sekarang ini, banyak sekali contoh-contoh betapa besar dan berat pertanggungjawabannya para pemimpin dunia itu dalam mengembangkan cita-citanya.
Keangkatan S. Utsman r.a. sebagai khalifah yang ke-3 ini memang memberi nafas bagi harapan tercapainya kembali kekuasaan kaum Bani Ummayah yang sudah agak lama hilangnya itu dari tangan mereka. Yaitu sejak Abu Sufyan insyaf dan masuk Islam dan kemudian menyerah kalah dan bertekuk lutut di hadapan Rasulullah SAW, ketika ia menjadi raja di Mekkah. Yakni terjadinya “Fathul Mekkah” pada tahun kedelapan Hijriayah.
Tentu bagi S.Utsman sendiri sebagai seorang shahaby yang wara’ lagi mardiyun ‘anhu dan mahfuzh, tidalah baginya suatu maksud yang tidak/kurang baik dalam menjalankan tahta khalifahnya, tetapi sebagai kita tahu, bahwa golongan Abdullah bin Ubay bin Saba’ memang tentunya mencari-cari kesempatan untuk menyebar fitnah di kalangan kaum Muslimin, yang senantiasa ingin melihat Kaum Muslimin ini pecah belah dan berantakan.

قد بدت البغضاء من افواههم وما تجفى صدورهم اكبر.(العمران:١١۸)

Artinya:
“Sesungguhnya telah lahir kebencian dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersimpan dalam dadanya masih lebih besar lagi”.

Jika kita melihat perkembangan sejarah Arab sendiri, yang perasaan bangsa Arab itu memang sangat keras, sebagi juga dinyatakan dalam Al-Quranul Karim, bahwa “Bangsa Arab itu sangat keras kufur dan nifaknya” = “Kaanal ‘arabu asyaddu kufran wanifaaqa”, dan justru karena itulah pula, K. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi ditanah Arab. Maka teringat pulalah kita kepada perkataan Abu Sufyan yang historis (mengesankan sejaraah) pada ketika baru saja selesainya pekerjaan terbukanya kota mekah kembali itu (Fathul Mekkah).
Abu Sufyan kemudian sadar, bahwa umat Islam di bawah pimpinan Nabinya, sangat kuat sekali yang tak mungkin dapat dipatahkan. Malah kini sudah menjadi kenyataan, bahwa kekuasaannya itu tak dapat dipertahankan lagi, tertindas dan hancur tergilas sama sekali oleh kekuatan umat Islam yang membaja dan membanjir, yang kali ini mengadakan serangan umumnya yang penghabisan terhadap kota Mekkah dengan pasukan yang melimpah-melimpah itu. Abu Sufyan insyaf, bahwa kekuatan ini tak akan dapat dibendung. Ia menyerah kalah. Dan pula “Nur Islam” sudah meresap pada jantung dan jiwanya dan kemudian ia masuk Islamlah di hadapan Rasulullah SAW yang disertai pamannya S. Abas r.a. pada waktu itu.
Setelah selesai diadakannya serah terima pada upacara penyerahan kota Mekkah antara dan dari Abu Sufyan kepada Rasulullah SAW, maka Abu Sufyan berkata : ”Ya Rasulullah, katanya kepada saya bermohon diperkenankan 3 perkara:
1. Dahulu saya tukang membunuh orang-orang Muslim, sekarang saya mohon diperkenankan menjadi tukang membunuh orang-orang kafir.
2. Saya mohon, sudilah tuan suka menikah dengan seorang wanita janda yang tercantik dan tertinggi keturunannya di Negeri ini. Setelah oleh Rasulullah ditanyakan siapa wanita yang dimaksud itu, kemudian dijawabnya, yaitu Ummu Habibah anaknya Abu Sufyan sendiri.
3. Dan juga saya mohon, agar anak saya yang masih kecil ini, bernama Mu’awiyah, dijadikan anak angkat oleh Tuan.
Yang oleh Rasulullah, ketiga permohonan ini, satu demi satu dijawab dengan “ya”, dan diterima.
Ada yang mempunyai anggapan, bahwa permintaan Abu Sufyan ini mempunyai arti yang sangat politis sekali. Pandangan Abu Sufyan luas dan jauh. Pada waktu itu, kekuasaan memerintah hilang dari tangannya. Kalau Mu’awiyah anaknya yang masih kecil ini dicinta kasihi oleh Rasulullah SAW, tentu akan menyebabakan dicinta-kasihi oleh masyarakat banyak, kemudian hari nanti. Artinya, akan memberi kemungkinan, bahwa kekuasaan itu pada suatu saat akan jatuh kembali di tangan anaknya atau keturunannya.
Hisyam berkata : ”Saya mendapat keterangan dari ‘Uwanah, ia berkata : “Tatkala orang-orang berkumpul sedang mengadakan bai’at kepada S. Abu Bakar r.a. sebagai khalifah, pada waktu itu jenazah Rasulullah SAW masih terlentang yakni masih harian wafatnya ; Abu Sufyan berjalan-jalan sambil ia berkata : “Wallahi saya melihat keributan ini tak akan dapat hapus kecuali dengan darah. Wahai keluarga Abdi Manaf, bagaimana Abu Bakar dalam urusan kamu sekalian. Kemanakah sekedua orang lemah dan sekedua orang hina, yaitu Ali dan Abbas, apakah kamu berdua akan menerima begitu saja? Ya Abal Hasan (Ali), ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atkanmu (lebih baik) untuk kupilih menjadi khalifah.”
Ali menolak dengan keras, dan ia berkata : “Wallahi, kukira bahawa tidaklah lain maksudnya dalam hal ini hanya memfitnah belaka. Wallahi, telah lamalah dahulu kamu menentang Islam dengan bermacam kejahatan. Tak ada perlunya untuk kami menerima nasehatmu.”
Sebagai telah diterangkan diatas, bahwa terpilihnya S. Utsman r.a. menjadi khalifah ke-3 ini, melegakan nafas harapannya golongan Bani Umayah dan menjadi suatu kesempatan baik bagi golongan subversi munafikin Abdullah bin Ubay bin Saba dkk. yang senantiasa berusaaha keras untuk memecah belah kaum Muslimin itu.
Golongan Munafikin (kontra revolusioner) ini, usahanya bertambah mendapat angin sekali. Sebab secara kebetulan sekali, politik dan siyasah khalifah S. Utsman r.a. ini, agak berbeda dengan yang dijalankan oleh kedua khalifah sebelumnya, yaitu dari siyasat yang telah dijalankan oleh S. Abu Bakar r.a. dan S. Umar r.a.
Saidina Utsman r.a. bependapat (mempunyai ijtihad), bahwa dalam pemerintahan (khalifah) di bwah pimpinannya ini, perlu diadakan rituling (perubahan) pembesar-pembesar negara secara besar-besaran. Yang hasilnya dari perubahan itu, kebanyakan adalah terdiri dari famili dan orang-orang yang dekat dengan beliau, sehinnga mirip dengan suatu pemerintahan aristokratis. Usaha ini dilakukan beliau (sudah tentu dengan ijtihad) demi untuk bertambah kuat dan lancarnya pemerintahan di bawah tahtanya itu. Pada mula-mula beliau memegang tampuk pemerintahan itu, segara memecat Al-Mughirah bin Syu’bah sebagai wali (gubernur) di Kuffah pada waktu itu. Al-Mughirah dipecat dan diganti oleh Sa’ad. Tidak lam Sa’ad digantinya pula dengan Walid bin Aqbah (26 H), pada tahun 30 H. Digantikan lagi oleh Sa’id bin Amr bin Ash. Gubernur Mesir Amr bin Ash diganti dengan Adullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Kemudian juga Abu Musa Al-Asyari di Basrah diganti dengan Abdullah bin Amir bin Kuraizh seorang pemuda yang baru berumur 25 tahun.
Mungkin karena politik demikianlah, menyebabkan terjadinya pembunuhan mengenai diri beliau sebagai khalifah, setelah rumah kediaman beliau dikepung oleh beberapa banyak orang lawan-lawannya. Dimana beliau sedang membaca AL-Qur’an dengan khusunya, beliau wafat terbunuh. Inna lillahi wainna illahi raji’un.
Peristiwa pembunuhan ini, menggemparkan masyarakat Arab dan pemerintahan Islam. Kabut hitam meliputi dunia Islam pada waktu itu. Peristiwa yang menggemparkan ini, terjadilah pada hari Jum’at tanggal.18 Julhijjah tahun 36 Hijriah ba’da ‘Asar.
Negeri Madinah menjadi berkabung dan penuh dengan perasan cemas dan prihatin bagi semua penduduk semua lapisan. Orang-orang menjadi kalang kabut dan panik.
Berkata Muhammad ibnu Hanafiyah : “Pada ketika terjadinya pembunuhan Khalifah Saidina Utsman, saya bersama Ubay melihat Ali r.a. masuk ke rumahnya, maka datanglah beberapa banyak sahabat Rasulullah SAW berdatangan ke rumah Ali dan seraya berkata : “Khalifah Utsman telah meniggal terbunuh, sedang bagi umat ini tak boleh tidak wajib mempunyai imam. Pada waktu ini, kami semua tiada melihat lain, kecuali engkaulah yang lebih berhak dalam hal ini yang patut menjadi Imam itu. Tak adalah yang terdahulu memegang Agama Islam dan tak adalah pula yang paling dekat dengan RasulullahSAW.”
Ali menjawab dan berkata : “Janganlah saudara-saudara bertindak demikian, buat saya lebih baik dan lebih suka hanya menjadi wazir saja dari pada saya menjadi Amir”. Kemudian dijawab mereka pula : ”Tidak, kami tidak akan berbuat sesuatu kecuali akan membai’at engakau juga.”
Ali kemudian berkata : “Jika demikian, saya minta supaya kita bersama-sama ke masjid, sehingga membai’at saya itu jangan seolah-olah dirahasiakan. Tapi harus secara terang-terangan dan harus dengan ridho semua kaum muslimin”.
Kata Salim bin Abil-Dja’d : “Abdullah bin Abbas r.a. pada waktu itu menyatakan tidak setuju bila pembai’atan dilakuan di mesjid, sebab, katanya khawatir, akan tetapi Ali tetap menolaknya. Dan kemudian mereka semua masuk ke Masjid Nabawi itu. Masuk pula sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar, maka disanalah mereka melakukan “bai’at” kepada S. Ali r.a. yang kemudian diikuti pula oleh orang-orang banyak.”
Abi Basyir Al-Abidi berkata : “Pada waktu terjadinya pembunuhan Utsman, saya berada di Madinah. Pada waktu itu berkumpulah sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar. Diantaranya Zuber dan Thalhahpun ada. Mereka mendatangi Ali r.a., kemudian mereka berkata : “Hai Abdul Hasan mari kemari kami akan membai’at engkau”. Ali menjawab : “Saya tidak dapat menerima maksud saudara-sudara itu, ikhtiar sajalah yang lain. Dan wallahi bersama saudara-saudara saya akan ridha kepada siapa yang saudara-saudara akan bai’atkan dia.” Jawab mereka pula : “Kami tiada memilih yang lain, selain kepada saudara-saudara saja”. Maka pulang pergilah mereka datang kepada Ali setelah Utsman terbunuh itu dan akhirnya mereka berkata : “Tiadalah akan terdapat kemaslahatan bagi umat ini, jika terdapat kekosongan (vacuum) pimpinan negara ini, sedang hal yang sedemikian ini sudah berlarut-larut.” Akhirnya Ali agak mengalah juga dan ia berkata : “Baiklah, Saudara-saudara akan memilihku menjadi Khalifah. Dan untuk itu saudara-saudara berulang-ulang datang kemari, tapi, saya ada permintaan. Jika saudara-saudara terima permintaanku ini, baiklah saya kabulkan pula permintaan saudara-saudara itu. Jika tidak, saya tak akan dapat menerimanya pula”. Dan dengan serentak mereka berkata : “Baiklah, tentu kami akan menerima syarat-syarat saudara-saudara itu.”
Maka naiklah Ali keatas mimbar, kemudian ia berkhatbah : “Saudara-saudara, sungguh saya menolak permintaan saudara-saudara itu, tetapi saudara-saudara berkeras juga minta kepadaku supaya aku terima. Ketahuilah, bahwa saya tak dapat berbuat sesuatu apapun tanpa saudara-saudara. Kecuali bahwa terbukanya sesuatu itu adalah dilakukan antara saudara-saudara bersama dengan saya. Dan kethuilah pula, bahwa saya taka akan dapat menghasilkan apa-apa tanpa saudara-saudara sekalian. Bagaimanakah saudara-saudara terima demikian dan ridhakah saudara-saudara?“ Jawab mereka : “Ya kami semua ridha dan sanggup.”
Setelah itu, Ali berdo’a : “Ya Allah, sahkanlah.” kemudian, barulah dilakukan mereka pembai’atan terhadap Ali r.a. itu.
Kata Abu Basyir : “Ketika itu saya berada duduk di samping mimbar Rasulullah SAW dan saya mendengar sesuatu perkatan mereka.”
Dari beberapa keterangan diatas tadi, dapatlah diketahui, bahwa Saidina Ali r.a. dibai’atkan dan dilpilih oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar. Dipilih pada ketika jenazah Saidina Utsman masih ada. Apakah sebab, maka pemilihan khalifah secepat itu? Yaitu, karena pendapat dan ijtihad mereka, agar pemerintahan jangan sampai mengalami kekosongan (vacuum) dari pimpinan, sehingga pembunuhan khalifah itu agar dapat diselesaikan dengan secepat mungkin. Jangan sampai terjadi kekacauan yang lebih dahsyat lagi. Agar luka jangan lebih parah lagi.
Para sahabat Muhajirin dan Anshar pada umumnya, menyatakan pilihan (bai’at) nya terhadap Saidina Ali r.a. kecuali segolongan kecil dari Anshar yang tidak mau menyatakan pilihannya. Diantaranya, Hasan bin Sabit, Muhammad bin Maslamah, Nu’man bin Basyir, Zaid bin Tsabit , Rafi’ bin Khuday, Fadlalah bin Ubed, Ka’bah bin Udjrah. Mereka adalah Utsmaniyah. Mereka mempunyai pendapat lain. Mereka berpendapat, sebaiknya janganlah pilihan khalifah itu didahulukan, tetapi pembunuhan khalifah Utsmanlah perlu diselesaikan terlebih dahulu. Mereka berpegang kepada ayat :

ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل انه كان منصورا.(الاسراء:۳۳)
Artinya:
“Seseorang yang mati dibunuh karena dianiaya, maka sesungguhnya kami jadikan kekuasaan bagi walinya (ahli warisnya), maka janganlah ia melewati batas dalam membunuh si pembunuhnya itu, (seperti membunuh seperti orang selain dari pembunuhnya), sesungguhnya ia (si-wali) adalah orang yang ditolong.”

Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa yang lebih didahulukan penjelasannya, adalah tentang pembunuhan itu, dicari siapa pembunuh dan komplotannya. Adapun pemerintahan diserahkan kepada wali (ahli waris) yang dibunuh itu, di sini artinya S. Utsman. Maka dari itu ahli waris Utsmanlah yang berhak menggantikan kedudukannya ahli waris (wali) dari Utsman ini adalah Muawiyah. Dialah yang berhak menggantikan Utsman memegang kekuasaan, bukannya Ali sebab ia bukan wali (ahli waris) dari Utsman.
Salah seorang sahabat ditanya orang, ‘Abdullah bin Hasan namanya : ”Mengapa mereka tak mau membai’at kepada Ali?” Jawabnya : ”Hasan seorang ahli syair, kurangnya perhatian terhadap proses politik (tidak memperhatikan soal-soal kenegaraan), Zaid bin Tsabit memimpin dewan dan memimpin Baitul Mal pada waktu itu.”
Menuerut keterangan Zuhri, mereka berlari ke Syam dan mereka tidak membai’at kepada Ali. Juga Qudamah bin Mazh’un, Abdullah bin Salam, dan Al-Mughirah bin Syu’bah tidak membai’atnya. Juga kata sebagian lain, bahwa Zuber dan Thahah, menjalankan bai’atnya itu karena terpaksa.
Beberapa hari kemudian, khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. mengangkat beberapa orang untuk menjadi wali-wali kota di beberapa daerah dan akan dikirim kesana.
Utsman bin Hanif dikirim ke Bashrah. ‘Imaran bin Syihab dikirim ke Kuffah. ‘Ubaidiah bin Abas dikirim ke Yaman. Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir. Sahah bin Hanif ke Syam.
Akan tetapi Sahal bin Hanif ini diperjalanan yaitu setibanya di Tabuk, ia berjumpa dengan serombongan orang-orang berkuda. Kemudian Sahal ditanya : “Mau kemanakah engkau dan mepunyai maksud apa ?” Sahal menerangkan, bahwa ia diutus khalifah Ali ke Syam dan ia akan menjabat Wali (Amir) disana. Maka rombongan itu, menerangkan pula kepada Sahal, bahwa lebih baik pulang kembali sajalah, jangan meneruskan maksud ini, sebab Muawiyah pasti akan menentangnya dan nanti akan menjadi fitnah besar; karena Muawiyah tidak akan menrima keangkatan Ali ini.
Adapun Qais bin Sa’ad di tengah perjalanan, yaitu sesampainya di Ailah, iapun bertemu dengan satu rombongan (kafilah). Rombongan itu bertanya kepada Qais, apa maksudnya dan akan pergi kemana. Qais menjawab, bahwa ia dari golongan Utsman akan mencari siapa yang akan membela Utsman. Dan karena itu rombongan mengijinkan untuk Qais terus ke Mesir.
Keadaan Mesir menjadi goncang dan menjadi pecah. Satu firqah menyetujui akan keangkatan Ali, satu firqoh lain bersikap menunggu (wait and see), jika pembunuh-pembunuh Utsman sudah tertangkap baru akan menyetujui keangkatan Ali itu, jika tidak mereka akan terus berjuang sampai tertangkapnya dan hasil maksud. Sedangkan firqoh yang ketiga berpendirian akan berada bersama Ali selama kaumnya tiada di pecah belah. Semua kejadian ini oleh Qais dilaporkan kepada Amiril Mukminin ( Ali r.a.) di Madinah.
Adpun Utsman bin Hanif, setibanya di Bashrah, tiadalah ada suatu penolakan baginya. Ibnu Amir walikota Bashrah yang digantikan olehnya, tiada mempunyai dan memberikan reaksia apa-apa. Ia menerima saja, Sam’an watho’atan. Dan kaumnya pun menerima keangkatan Ali itu, kecuali sebagian kecil saja yang bersikap menunggu dan melihat keadaan di Madinah bagaimana perkembangannya nanti.
Bagaimana nasibya ‘Imarah bin Shihab yang dikirim ke Kuffah. Setibanya di Jualah, ia berjumpa dengan Talhah bin Khuailid yang pada waktu menerima khabar kematian Utsman, ia akan berkeras menuntut darah siapa yang melakukan kezaliman itu. Kepergiannya ke Kuffah, ia akan mencari orang-orang yang sanggup membelanya dalam penuntutan darah ini, ia menyuruhnya agara Imarah segera kembali pulang saja ke Madinah.
Berita menyangkalnya Muawiyah di Syam akan keangkatan Ali sebagai Khalifah (memberontaknya Muawiyah) sudahlah tersiar ke segenap wilayah. Telah sampai pula berita ini ke Mekkah.
Para shabat di Mekkah sangat menunggu-nunggu bagaimana sikap Ali sebagai Khalifah menghadapi Muawiyah di Syam, menghadapi yang sama-sama ahlil Qiblah. Dalam hal ini, termasuk juga Sayidina Aisyah ummul mukminah r.a. yang beliau ketika itu masih berada di Mekkah, karena akan melakukan umrah Muharram.
Kedatangannya dua tokoh di Mekah, yaitu Thalhah dan Zuber bin Awam ini atas ijin Amiril Mukminin (khalifah) karena akan mengerjakan Umroh juga, keadaan menjadi jelas. Apa yang terjadi di Mekkah dan bagaimana sikap Ali selaku khalifah dalam menghadapi Mu’awiyah dan gerakannya ini. Yaitu Mua’awiyah akan digempur.
Dalam hal ini S. Aisyah r.a. berpendapat sama dengan Mu’awiyah. Beliau tidak menyetujui keangkatan Ali ini. Yang perlu, penyeelesaian pembunuhan S. Utsmanlah yang harus didahulukan. Karena itu beliau mengadakan perundingan dengan Thalhah dan Zuber yag baru datang dari Madinah itu. Berkeputusan, ketiga beliau ini berangkatlah ke Bashrah untuk mencari kawan-kawan yang sepaham. Di sana mendapatkan angin baik juga.
Berita berontaknya Umul Mukminin S. Aisah r.a. yang disertai Thalhah dan Zuber ini diterima Amiril Mukminin sangat mengagetkan.
Karena dipandang kekuatan Aisyah r.a ini oleh khalifah Ali r.a lebih kecil dari pada kekuatan Mu’awiyah di Syam, lebih-lebih setelah ternyata bahwa Amr bin Ashpun sudah memihak pula kepadanya (Mu’awiyah), maka tentara khalifah ini lebih dahulu ditujukan untuk menggempur Bashrah (tentara Aisyah) dan penggempuran ke Syam dibelakangkan.
Maka terjadilah pertempuran antara tentara Ali dan tentara Aisyah. Pertempuran ini dinamakan “Waq’atul Jamal”. Dianamai peperangan Jamal, karena Siti Aisyah r.a. pada waktu itu mengendarai seekor Jamal (unta) yang digunakan waktu berperang.
Peperangan ini diakhiri dengan kekalahan Siti Aisyah r.a. puluhan ribu manusia berjatuhan menjadi korban pada peperangan ini. Sebagian dari tentara Aisyah dan sebagian dari pasukan Ali. Sedang Umul Mukminin sendiri dapat diselamatkan dan ditawan, Thalhah bin Zuber gugur di medan juang.
Setelah selesai peperangan Jamal ini, Ali menghadapi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali ini terdiri dari tentara yang cukup terlatih, dapatlah mereka memberi pukulan-pukulan yang cukup berat, hebat dan dahsyat bagi pasukan Mu’awiyah.
Tentara Mu’awiyah tidaklah dapat menahan akan kekuatan tentara Ali ini, sehingga mereka banyak kali terpukul mundur. Akan tetapi mereka tidaklah berputus asa dalam menghadapi kekalahan-kekalahan ini. Mereka menggunakan kecakapan akalnya. Yang kemudian pada suatu saat, mereka menggunakan suatu taktik dan siasat yang cocok dengan timingnya. Yaitu mereka melekatkan “Mushaf Qur’an” pada ujung tombak-tombak mereka dengan maksud agar supaya diadakan perdamaian (shulh) dan gencatan senjata. Agar Ali dapat menerima ajakan ini, suatu ajakan perdamaian dan kembali kepada Qur’an.
Oleh karena itu, Ali mendapat desakan yang keras dari sebagian tentaranya (sebenarnya tentara yang mendesak ini adalah yang nantinya menjadi Kaum Khawarij), agar supaya ajakan tentara Mu’awiyah ini diterimanya. Sebab suatu ajakan yang baik mereka akan kembali kepada hak. Akan kembali kepada Mushaf Qur’an.
Mereka yang mendesak Ali r.a. ini, agar ajakan golongan Mu’awiyah itu diterima, tentunya golongan yang lemah semangat berperang dan yang lemah pual imannya beserta diliputi juga oleh gejala-gejala roh kemunafikan dan terpengaruh oleh Sabaaiyah.
Akan tetapi, Ali menolak dengan keras ajakan ini, penolakannya ini disepakati oleh sebagian tentaranya. Ali berpendapat, bahwa ajakan shulh (perdamaian) itu, hanyalah suatu move yang tidak bernilai dan suatu khidah tipu muslihat belaka.
Tetapi sayang …….. penolakan Ali ini hanya dapat dipertahankan sementara waktu saja. Akhirnya karena sangat keras dan kerasnya desakan itu, sehingga timbulah dalam fikiran, rasa khawatir, kalau-kalau timbul perpecahan di kalangan pasukannya sendiri. Kemudian diterimanya jugalah oleh Ali r.a. ajakan Mu’awiyah r.a. itu (adanya gencatan senjata) untuk megadakan perdamaian (shulh) antara kedua belah pasukan itu.
Peristiwa ini dinamai oleh sejarah dengan peristiwa “Shiffin”, karena tatkala itu pertempuran-pertempuran terjadi di suatu tempat yang bernama Shiffin.
Dengan mengambil tempat di “Daumatul Jandal” berkumpulah kedua golongan perutusan dari pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah untuk mengadakan “perundingan” perdamaian itu.
Kedua golongan masing-masing mengirimkan perutusan (delegasi) dengan jumlah yang sama. Yaitu sebanyak 400 orang. Delegasi Ali dikepalai oleh Abu Musa Al-Asy’ari r.a., sedang delegasi Mu’awiyah dibawah pimpinan Amr bin ‘Ash.
Sebelum perundingan paripurna dari kedua rombongan perutusan itu diadakanlah lebih dahulu suatu “Perundingan Pendahuluan “ antara kedua kepala delegasi itu, Abu Musa Al-Asy’ari r.a. dan Amr bin ‘Ash.
Amr bin ‘Ash memang ia seorang diplomat yang ulung dan kenamaan. Cakap berdiplomasi dengan lawan dan kawan. Kepada Abu Musa Al-Asy’ari ia mengajukan pendapatnya dan ia minta, agar nanti pada waktunya, dalam sidang paripurna dari perundingan shulh dan perdamaian itu masing-masing (ia dan Abu Musa) mengajukan pendapatnya lebih dahulu untuk menjadi pertimbangan para anggota.
Setelah pendapatnya ini diterima baik oleh Abu Musa, kemudian Amr bertanya : “Bagaimanakah maksud saudara dalam perundingan ini?” jawab Abu Musa : ”Ya, kita perlu berdamai, perlu terdapatnya ishlah antara kita sesama ummat muslimin ini. Pemerintahan Islam ini supaya tidak terpecah-pecahseperti sekarang. Kesatuan pemerintahan supaya pulih kembali. Oleh karena itu, kedua khalifah ini, yaitu Ali dan Mu’awiyah kita ma’zulkan (pecat)dan setelah itu kita serahkan kepada ummat yang berunding ini, kepada siapa mereka memberikan pilihannya itu terserah.”
Jawab Amr: “Pertimbangan saudara itu memang benar dan saya setuju sekali, baiklah saudara kemukakan saja pertimbangan demikian itu kepada majlis perdamaiaai itu nanti. Dan saya berpendapat, saudaralah yang berbicara lebih dahulu. Saudara lebih hak daripada saya untuk berbicara lebih dahulu, karena saudara lebih tua dari saya dan lebih akrab hubungan dengan Rasulullah SAW dahulu.”
Rayuan diplomatis Amr bin ‘Ash ini, memang enak didengar dan menyenangkan hati, akan tetapi maksud yang sebenarnya yaitu mengharapkan agar Abu Musa berbicara lebih dahulu dan dengan sendirinya Abu Musa sebagai kepala delegasi telah mengumumkan dalam perundingan ini tentang dima’zulkannya (dinyatakan berhentinya) Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Atau dengan lain perkataan, bahwa Abu Musa selaku kepala perutusan pihak Ali telah mengadakan pengakuan bahwa Ali bin Abi Thalib diberhentikan dari khalifah. Sedang Mu’awiyah olehnya nanti akan dinyatakan tetap sebagai khalifah.
Dengan tidak ada syak wasangka sedikitpun, Abu Musa tampilah ke muka untuk menyatakan pendapatnya itu tadi. Meskipun sebetulnya, ia telah diperingatkan lebih dahulu oleh Ibnu Abbas agar hati-hati. Jangan terjebak dan kena perangkap tipu muslihatnya Amr bin ‘Ash itu.
Berkatalah Abu Musa: “Wahai saudara-saudara kaum muslimin sekalian. Kami (ia dan Amr maksudnya) menimbang; bahwa demi untuk kemaslahatan ummat Islam sekarang ini, tiadalah alternatif (jalan) lain, kecuali kita bersama-sama, menyatakan pemecatan Ali dan Mu’awiyah dari kedudukannya masing-masing sebagai khalifah dan kemudian terserahlah kepada saudara-saudara sekalian; marilah kita bersama-sama mengadakan pilihan baru, siapakah yang kita angkat, yang akan mejalankan pimpinan ini sebagai khalifah yang menggantikan dari keduanya yang kita pecat itu, yang lebih ahli.”
Kemudian setelah itu, dengan cekatannya tampilah Amr bin ‘Ash ke muka, serta dengan lantang pula berbicara: “Saudara kaum Muslimin sekalian, sebagai saudara-saudara telah mendengar, Abu Musa tadi telah menyatakan bahwa khalifahnya Ali bin Abi Thalib telah dipecatnya. Dan sayapun memperkuat pemecatan Ali bin Abi Thalib itu. Dan dengan ini saya menyatakan tetapnya Mu’awiyah sebagai khalifah.” Dan sekali lagi tetaplah ia menjadi khalifah, karena juga dialah wali dari Utsman bin Affan. Maka lebih berhaklah ia menjadi khalifah itu.”
Karena demikian, majlis perundingan menjadi goyang dan ribut dan bubarlah. Kemudian ahli Syam, yaitu Amr bin ‘Ash dan kawan-kawannya pulang menuju Syam dan melaporkan kepada Mu’awiyah. Sedang Ibnu Abbas, Syurokh bin Hanif dan kawan-kawan memberi laporan kepada Ali bin Abi Thalib r.a.
Menurut Al-Waqidi, perundingan “Daumatul Jandal” terjadi pada bulan Sya’ban tahun 38 H.
Orang-orang (pasukan tentara) yang pura-pura tiada setuju atas adanya perundingan ini, keluarlah mereka memberontak dan memusuhi Ali r.a. dan mereka itulah yang dinamakan Khawarij.
Dan dengan ini ummat Islam menjadi pecah tiga satu golongan di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib kedua golongan di bawah pimpinan Mu’awiyah dan ketiga kaum Khawarij.
Sebagai telah diterangkan, bahwa pada hakekatnya terjadinya gencatan senjata di Shiffin dan kemudian perundingan “Daumatul Jandal” ini adalah karena desakan mereka juga (kaum yang lemah yang akhirnya menjadi khawarij), agar Ali menerima ajakan Amr bin ‘Ash. Akan tetapi mereka berpura-pura tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perundingan itu. Akhirnya mereka keluar menjadi khawarij bukan saja menentang Mu’awiyah, tetapi juga menentang Ali. Mereka bersemboyan “LAHUKMA ILA LILLAH” tak ada hukum yang patut dipatuhi hanya hukum Allah saja.
Dengan kejadian ini, ummat Islam menjadi pecah tiga. Pimpinan Ali, pimpinan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij. Ketiga golongan ini sejak itu terus menerus bertempur satu sama lain.
Pada tahun 40 H, terjadilah suatu peristiwa yang lebih menyedihkan lagi yaitu terjadinya pembunuhan terhadap Sayidina Ali r.a. yang dilakukan oleh tindakan kaum Khawarij, “La’natullaahi ‘alaihim”.
Dengan suatu rencana yang teratur Abdurrahman bin Muljam berangkat menuju Kuffah untuk melakukan pembunuhan terhadap Sayidina Ali bin Abi Thalib, Al-Baraq bin Abdullah berangkat menuju ke Syam untuk melakukan pembunuhan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dan Amr bin Bakar At-Tamimi menuju ke Mesir akan membunuh Amr bin ‘Ash.
Rencana pembunuhan dilakukan dalam waktu yang bersamaan hari bulan dan tanggalnya. Yaitu dilakukan pada malam Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. dan dilakukan pada ketika keluar dari rumahnya masing-masing manakala menuju ke (masuk) masjid akan mengerjakan sembahyang berjamaah Shubuh.
Sesuai dengan rencana, maka pada malam tersebut, sampailah kepada ajal Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallaahu wajhah mati terbunuh atas penghianatan yang dilakukan oleh seorang khawarij Abdurrahman bin Muljam tadi “la’natullah allaih”.
Menurut keterangan Harits dari ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Umar, bahwa pembunuhan Ali bin Abi Thalib dilakukan pada malam Jumat 17 Ramadhan tahun 40 H. dan meninggal pada malam Ahad 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun.
Bagaimana Al-barak bin Abdullah yang berangkat ke Syam? Sampailah ia disana. Pada waktu yang ditentukan itu, ditunggulah Mu’awiyah di masjid. Untunglah bagi Mu’awiyah, hanyalah ia kena pantatnya saja, meskipun luka tetapi tidak membawa kematiannya. Malah lebih beruntung lagi bagi Amr bin ‘Ash di Mesir. Pada ketika ia ditunggu oleh Amr bin Bakar At-tamimi ia tidak keluar dari rumahnya ke masjid karena ia sakit perut. Kharijah bin Habib Assahawi menggantikannya menjadi imam pada shubuh itu. Maka Kharijahlah yang mati terbunuh ketika itu.
Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, maka segera di bai’at oranglah Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang menggantikannya.
Hasan bin Ali r.a. tak dapat ia berlama-lama memegang pimpinan dalam pemerintahan ini, hanya dalam masa satu tahun kurang saja (40-41 H). Karena ia tak tahan hati melihat fitnah berkecamuk dan perpecahan yang hebat dahsyat di kalangan sesama ummat Islam, yaitu antara ummat Islam di bawah pimpinan pemerintahan Mu’awiyah r.a. dan di bawah pimpinannya sendiri itu. Sebagai cucu Baginda Rasulullah SAW ia berlapang dada. Lebih suka ia meninggalkan kedudukan sebagai khalifah dan kepala negara, turun dari tahta kehormatan yang tinggi untuk duduk bersama-sama rakyat banyak daripada terus menerus terjadinya fitnah dan perpecahan diantara sesama kaum Muslimin. Ia ridho meninggalkan tahta pemerintahannya, asal saja dapat dihentikan tindakan-tindakan mencaci maki terhadap ayahandanya Ali bin Abi Thalib yang sudah marhum itu.
Sifat ra’fah dan rahmah Sayidina Hasan ini, memang setengah abad yang lalu telah menjadi ramalan Rasulullah SAW sendiri.

في صحيح البخاري من حديث الحسن عن ابى بكرة ؤضى الله عنه قال ان رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب يوماومعه على المنبار الحسن بن على رضى الله عنهما فجعل ينظر اليه مرة والى الناس اخرى ويقول ان ابنى هذا سيد ولعل الله تعالى ان يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين.

Artinya:
“Dalam Sahih al-Bukhari mengenai S. Hasan dari Abi Bakrah r.a. ia berkata : “Bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari khutbah dan disertai cucunya Hasan di atas mimbar. Beliau kadang-kadang melihat kepada cucundanya dan kadang-kadang melihat pula ke arah orang banyak. Beliau bersabda: “Sesungguhnya anakku ini (Hasan) ia akan menjadi pemimpin, semoga Allah ta’ala akan memperdamaikan dengan dia antara dua kaum yang besar daripada Ummat Islam.”

Maksud baik dari Sayidina Hasan ini disampaikan kepada Mu’awiyah r.a. tentu saja uluran tangan yang baik ini diterima oleh Mu’awiyah dengan gembira. Dan sejak itulah pemerintahan Islam menjadi bersatu kembali.
Peristiwa ini disebut oleh sejarah dengan “Aamul Jama’ah” artinya “Tahun Kesatuan”.
Kaum Muslimin di bawah pimpinan S. Hasan ini, tidaklah semuanya menerima akan beleid dan kebijaksanaan khalifahnya ini. Mengapa khalifahnya itu terlalu lemah dan tidak konsekwen.
Dan karena kaum Muslimin di bawah pemerintahan S. Hasan inipun menjadi pecah pula. Sebagian patuh dan ta’at, kemudian menggabungkan diri dengan pemerintahan Mu’awiyah, tetapi sebagian lagi mereka menentang dengan kerasnya. Mereka ini berdiri sendiri, mereka tidak senang dan menolak keputusan S. Hasan ini. Mereka inilah yang dinamai golongan “Syiah”, golongan yang terlalu mencintai S. Ali yang kadang-kadang cintanya melewati batas. Cinta yang berlebih-lebihan. Sebagai golongan Khawarij, mereka membenci S. Ali dengan yang berlebih-lebihan pula. Syiah golongan iftrath, Khawarij tafrith.
Sebagian kaum Syiah ada yang beri’tiqad bahwa Malaikat Jibril itu kesalahan memberikan wahyu, semestinya kepada Ali bin Abi Thalib, bukanlah kepada Muhammad, Na’udzubillah. Ada juga yang beri’tiqad, bahwa kuburan Ali itu bukan di bumi tapi di atas awan. Tapi perlu juga diketahui, bahwa Syiah itu tidaklah semuanya kufur. Ada sebagian yang tidak kufur. Syiah Zaidiyah dan Imamiyah itu tidak kufur. Ummat Islam di Yaman pada umumnya mereka golongan Syiah Imamiyah.
Insya Allah, uraian yang lebih panjang, nanti di bawah akan diterangkan ala kadarnya.
Kaum Khawarij mengkafirkan kepada S. Ali bin Abi Thalib, juga kepada orang yang mengerjakan dosa besar.
Maka dengan ini kita ketahui, bahwa sejak terjadinya “Kesatuan” ini, Ummat Islam menjadi tiga golongan. Pertama golongan “Jamaah”, kedua golongan “Khawarij” dan ketiga golongan “Syiah”.
Solongan “Jamaah” adalah pemerintahan dan ummat di bawah pemerintahan yang syah (Mu’awiyah). Golongan Khawarij dan Syiah adalah golongan-golongan “Bughat”, golongan-golongan pemberontak. Maka ummat Islam di bawah pemerintahan yang syah inilah dinamakan “Al-Jamaah” atau disebut juga “Ahli Sunnah wal-Jamaah”. Jadi dengan ini diketahui bahwa setiap ummat Islam yang berada dalam suatu pemerintahan yang syah, itu ummat Islam “Ahli Sunnah wal-Jamaah”, dan setiap ummat Islam yang keluar dari kesatuan pemerintahan yang syah, mereka namanya ummat Islam pemberontak bahasa dan istilah Arabnya “Bughat”. Mereka yang taat dan patuh pula mengikuti berjamaah dengan/di dalam pemerintahan yang syah, mereka Ahli Sunnah wal-Jamaah. Taat dan patuh kepada suatu pemerintahan yang syah, adalah diperintahkan dan diwajibkan oleh Agama Islam. Yang taat dan patuh kepada suatu pemerintahan yang syah, berarti taat dan patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tiap ummat Islam, wajib taat kepada Allah, wajib taat kepada Rasul, pula taat kepada pemerintahannya yang syah. Baharulah ia menjadi seorang ummat Islam “Ahli Sunnah wal-Jamaah”. Seorang Ahli Sunnah wal-Jamaah, tiada cukup bila hanya taat kepada Allah dan rasul saja, tapi tiada taat kepada pemerintah. Dan atau sebaliknya. Firman Allah dalam Al-Quran:



Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan juga kepada Ulil Amri dari antara kamu sekalian.”

Jadi, orang-orang mukmin (ummat Islam) wajib taat kepada Allah taat kepada Rasul-Nya dan wajib pula taat kepada Ulil Amrinya.
Apakah arti “Ulil Amri”? ialah suatu “lembaga pemerintahan” yang beranggotakan banyak orang. Bukan suatu lembaga yang mempunyai anggota satu dua orang saja. Kalimat “Uli” adalah kalimat “Mulhak jama’ mudzakar salim”, artinya kalimat yang “diserupakan dengan jama’ mudzakar salim”. Diserupakan/menyerupai jama’. Tapi bukan “jama’. Kalau suatu kalimay “jama’” ada mempunyai kalimat “mufrad-nya”. Kalimat “Zaeduuna”, kalimat “jama’ mudzakar salim”, kalimat “mufrad-nya” zaedun, “Kalimat ‘A-limuuna” artinya orang alim banyak, kalimat “mufrad-nya “alim” artinya seorang yang alim.
Kalimat “Ulil Amri” dalam Al-Quran itu, kalimat “mulhaq jama” mudzakar salim, bukan kalimat “jama mudzakar salim”. Maknanya “orang-orang pemegang / pemelihara urusan” katakanlah saja di sini “urusan pemerintahan”. Makna ini, yakni makna “orang-prang pemegang urusan” bisa Bahasa Arabnya diganti dengan “Ashhabul Amri” atau “Auliyaul Amri”. Tetapi apalah hikmat dan sebabnya dalam ayat di atas itu dengan kalimat “Ulil Amri itu?” kalau “Ashab”, suatu kalimat jama yang mufradnya shahib. Kalau kalimat ”Auliya” itupun kalimat “jama” yang ada mufradnya, yaitu “waliy”. Adapun “Uli” kalimat “mulhaq jama”, yang tiada mempunyai kalimat mufradnya meskipun maknanya jama juga, yaitu orang-orang banyak pemegang urusan, ulil amri itulah artinya suatu “lembaga yang terdiri dari orang banyak”. Jelasnya kalau di negara kita Republik Indonesia ini, lembaga yang dimaksud ini adalah Majlis Permusyawaratan Rakyat atau MPR dan Parlemen, yang fungsinya Pembuat Undang-Undang. Tiada akan dikatakan lembaga MPR atau Konstituante DPRGR atau Parlemen, kalau tidak terdiri dari orang-orang banyak (beranggotakan orang banyak). Lembaga-lembaga ini suatu lembaga yang harus terdiri dari yang orang banyak, Bahasa Arabnya “jama”, tetapi tidak ada mufradnya, karena itu perkataan semacam ini dinamakan “serupa dengan banyak” Bahasa Arabnya “mulhaq jama”.
Lembaga “Konstituante” terdiri dari orang-orang banyak. Kalau mufradnya artinya perorangannya, itu bukan konstituante, tetapi anggota konstituante namanya. Baru mempunyai fungsi seperti apa yang dimaksud dengan lembaga “Konstituante”, apabila para anggotanya berkumpul. Dengan berkumpulnya para anggota itu, dan mencapai jumlah yang hadir sesuai dengan corum yang ditentukan dalam prosedur tata tertib persidangan, maka dapatlah konstituante itu membikin Undang-Undang Dasar Negara. Akan tetapi, perorangan anggotanya, mufradnya tentu tidak bisa. Demikian jugalah yang disebut “Parlemen” sidang-sidang paripurnanyalah yang dapat membikin atau membatalkan undang-undang itu. Adapun perorangan anggotanya, mufradnya tidak bisa.
Oleh karena itu. Ashabul Amri, atau Auliyaul Amri, tidak bukan berarti “Konstituante” atau “Parlemen”, sebab, kalimat jama yang ada mufradnya.
“Waliyul Amri” dapat diartikan “Kepala Negara”. Biasa juga dengan istilah “Amir” atau “Kholifah” atau juga “Sultan” dan “Imam”. Hanya kalau perkataan Waliyul Amri, amir dan Khalifah menjadi istilah (biasanya) bagi seorang kepala negara yang dipilih oleh rakyat, kalau sultan atau imam. Menjadi istilah bagi suatu monarchi (kerajaan) yang turun temurun.
Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas yang dimaksud dengan “Ulil Amri minkum” ialah majlis-majlis konstituante dan parlemen.
Sesuatu keputusan konstituante atau keputusan parlemen, yaitu yang merupakan Undang-undang Dasar Negara dan atau undang-undang itu, wajib hukumnya ditaati oleh setiap ummat Islam yang menjadi rakyat darai negara itu. Seorang ummat Islam (Ahli Sunnah Wal-Jamaah) wajib taat kepada Allah, wajib taat kepada rasul-Nya juga wajib taat kepada Undang-Undang Dasar Negara dan Undang-undang biasanya.
Bukalah seorang Ahli Sunnah Wal-Jamaah, apabila ia taat kepada undang-undang dasar negara dan undang-undang biasa, jika tiada taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau sebaliknya.
Maka semua ummat Islam (Ahli Sunnah Wal-Jamaah) berkewajiban patuh dan taat:
a. Kepada suruhan dan larangan Allah SWT.
b. Kepada suruhan dan larangan Rasul Allah, dan
c. Kepada suruhan dan larangan negaranya.
Berdosa besarlah seorang yang tiada patuh dan taat kepada salah satu tiga perkara ini. Seseorang atau segolongan orang yang tiada mentaati negaranya dinamai “ba-ghin” jamanya “bughat” Bahasa Indonesianya Pemberontak.
Mengenai pemberontak-pemberontak ini, sebagai tadi telah diterangkan bahwa mereka yang memberontak pemerintahannya yang syah, berdosa besar kemudian Allah memberikan ketentuan-ketentuan dengan firmannya.


Artinya:
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin itu bertempur, maka damaikanlah antara mereka itu. Maka jika zhalim yang satu atas selainnya, gempurlah yang zhalim itu sehingga ia kembali ke jalan Allah (haq).”

Orang-orang bughat (pemberontak) itu boleh dan sampai wajib digempur dengan tujuan supaya kembali ke jalan yang benar, apabila mereka sudah kembali, harus diperlakukan baik dan adil, sebab Allah SWT menyukai kepada setiap yang bersikap adil itu.
Mukmin dengan sesama mukmin adalah bersaudara, mukmin dengan sesama mukmin adalah laksana sebuah bangunan yang kokoh kuat. Yang satu mengkokohkan yang lain sehingga “kaannahum - bun-yaanun marshuush”. Bagaikan sebuah gedung yang kuat membaja. Dan karenanya barulah akan menimbulkan potensi yang hebat. Sabda Rasulullah SAW.


Artinya:
“Perumpamaan orang-orang sesama mukmin dalam mereka supaya saling cinta mencintai satu sama lain dan kasih mengasihi satu sama lain dan hubung menghubungi satu sama lain, adalah laksana satu tubuh apabila yang satu merasa sakit, maka selainnya akan merasa sakit juga, rasa panas semalaman tak dapat tidur,” hadits Shohih.

Kembali kita kepada Pemerintahan Ahli Sunnah Wal-Jamaah (Islam). Supaya lebih jelas, perlu diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan “Ulil Amri Minkum” itu ialah, “Parlemennya” dan “konstituantenya” bukan kepala negaranya, bukan waliyul amrinya atau imamnya, jadi yang wajib ditaati pada mulanya, adalah keputusan-keputusan dari parlemen dan atau konstituante itu, yakni setiap undang-undangnya. Baik ia undang-undang biasa atau Undang-Undang Dasar. Waliyul amri atau imam itu, termasuk para wazir-wazirnya (para menteri sebagai pembantu-pembantu imam) itu, merupakan pelaksana pemerintahan aparatur pemerintahan. Atau disebut juga “Badan Eksekutif”. Akan tetapi oleh karena Waliyul amri (imam) ini adalah menjadi pemegang amanat (mandataris) dari konstituante dan parlemen ini, maka setiap perintah atau larangan daripadanya adalah wajib ditaati pula. Taat kepada negara sama dengan taat kepada waliyul amri (imam) adalah berarti taat kepada konstituante dan parlemen (ulil amri minkum) itu, demikianlah juga taat pada para Wuzura (menteri-menteri sebagai pembantu imam) itupun hukumnya wajib.
Pemerintahan yang berazas Ahli Sunnah Wal-Jamaah itu, mempunyai struktur (bnetuk) syura dan demokrasi terpimpin. Yaitu wajib terpimpin oleh Allah (Quran) dan Rasul-Nya (Hadits).
Demikianlah kira-kira jelasnya Ulil amri ini baiknya Majlis Konstituante atau Parlemen, untuk menetapkan sesuatu, tentunya harus bersidang guna bermusyawarah (berunding). Dalam musyawarah ini harus memperhatikan empat mabadi (Quwa’id) Ahli Sunnah Wal-Jamaah, yaitu:
1. Qiyas
2. Hadits
3. Ijma’
4. Qiyas
Mereka para anggota tersebut konstituante atau parlemen) ini, melakukan musyawarah (rapat-rapat dan bersidang). Dalam melakukan/mengadakan keputusan, mereka harus ijma’, artinya menurut suara terbanyak. Dalam arti terbanyak ini, apakah menggunakan terbanyak mutlak (separoh lebih satu) atau 2/3 dari jumlah yang hadir, itu boleh-boleh saja selama telah dimufakati oleh semua para anggota. Tentunya hal ini, diatur pula dalam “tata tertib persidangan”, yang membentuk undang-undang. Baik ia udang-undang yang sudah tetap (permanen) atau undang-undang yang bersifat sementara. Undang-undang yang permanen, artinya undang-undang yang telah disyahkan dengan keputusan suatu lembaga termaksud. Sedang undang-undang sementara yaitu yang belum mendapat pengesahan dari lembaga termaksud, baru saja hasil pembikinan dari panitia negara, misalnya atau dari suatu badan yang ditentukan lain.
Segala sesuatu yang dimusyawarahkan ini, tentunya segala hal yang menyangkut urusan apa yang menjadi maslahat (kebaikan) bagi ummat dan negara. Liishlaahil ‘ibaad wal bilaad. Apa yang menjadi kemaslahatan pemerintah dan rakyat. Demi untuk kemaslahatan ummat dan negara itu, harus dirumuskan dengan kata-kata yang berbentuk undang-undang. Maksudnya supaya sesuatu persoalan, harus berbentuk undang-undang yang telah dimufakati oleh seluruh ummat (bangsa) dari suatu negara. Tidaklah mungkin rakyat seluruhnya berkumpul di suatu tempat untuk bermusyawarah membikin undang-undang guna menjadi dasar hukum sesuatu persoalan itu. Maka itulah adanya (dibentuknya) lembaga-lembaga “ulil amri minkum” orang-orang yang mempunyai urusan dalam dan dari kamu sekalian. Artinya, wakil-wakil urusan kamu sekalian yang dipilih dari kamu sekalian. Tentulah wakil-wakil itu jumlahnya tidak sebanyak rakyat yang diwakilinya. Misalnya, setiap satu juta rakyat diwakili oleh seorang atau setiap 300 ribu rakyat oleh seorang wakil. Demikianlah, sebabnya dinamakan “ulil amri”. Sekali lagi karena mereka menjadi wakil-wakil yang memikirkan, menjelaskan urusan-urusan yang menjadi kemaslahatan bagi rakyat dan negaranya. Lembaga-lembaga ini dapat dinamkan:
1. Ulil Amri
2. Ahlus Sunnah wal-Jamaah
3. Ahlul Ijma, dan
4. Ahlul Halli wal-‘Aqdi
Sebab dinamai “Ahlus Sunnah wal-Jamaah” dan “ulul amri” sudah diterangkan di atas.
Dinamakan juga “Ahlul Ijma”, sebab mereka para anggota lembaga tersebut, untuk mengijma’kan sesuatu persoalan (urusan) rakyat dan negara, atau memusyawarahkannya. Yang musyawarah itu, harus mencari suara terbanyak dalam suatu keputusan. Mencari suara terbanyak, artinya “Ijma”.
Ahlul Halli wal-Aqdi, artinya orang-orang tukang mengurai dan mengikat. Artinya, membatalkan dan membikin undang-undang.
Keputusan-keputusan Ulil Amri (baik parlemen atau konstituante). Dinamakan undang-undang. Undang-undang biasa atau undang-undang dasar negara. Semua undang-undang itu wajib ditaati oleh semua warga negara, apabila keputusan-keputusan (undang-undang) itu tiada bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah (Quran) dan atau Rasul-Nya (Hadits). Sesuatu keputusan yang bertentangan dengan Quran dan Hadits, haruslah diveto (dibatlkan) oleh hukum Allah dan atau Rasul-Nya. Itu.
Suatu undang-undang misalnya membolehkan berjudi, itu harus diveto (dibatlkan), karena bertentangan dengan hukum Allah sendiri, sebab berjudi itu dilarang oelh Allah SWT.
Rasulullah SAW telah bersabda:


Artinya:
“Tiada boleh taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Khalik (Tuhan).”

Jadi semua keputusan itu semua undang-undang itu, haruslah tidak bertentangan dan tidak menyalahi Quran atau Hadits. Bila terjadi menyalahi Quran atau menyalahi Hadits, keputusan itu, tidak boleh disyahkan dan harus dibatalkan. Dan karena itu, demokrasi Islam ini adalah demokrasi terpimpin.
Maka itulah artinya, Ulil Amri ini harus berlaku di atas mabaadi (qawaid) yang empat, yaitu:
1. Quran
2. Hadits
3. Ijma’
4. Qiyas atau ra’j (Pertimbangan-pertimbangan)
Keputusan-keputusan itu harus disesuaikan dengan hukum Quran, harus disesuaikan dengan Hadits. Kemudian harus juga diusahakan jalan mufakat. Suara terbanyak harus menjadi keputusan (ijma’). Juga kemudian, harus juga diadakan perbandingan dan bermacam pertimbangan dilihat dari segala sudut dan jurusan (Qiyas). Misalnya mengenai masalah zakat. Al-Quran memerintahkan dengan cara umum saja dengan ayat : ”waatus zakat” artinya “wajiblah kamu sekalian menunaikan zakat”. Kemudian dijelaskan oleh Hadits Nabi, apa saja yang wajib dizakati itu. Buah-buahan, rikaz, uang logam (mas dan perak) dan binatang ternak. Dalam binatang terak itu Rasulullah hanya menjelaskan yang wajib dizakati itu, adalah unta, sapi dan kambing. Bagaimana kerbau? Kerbau ini tidak disebut oleh Rasulullah SAW (mungkin karena di Negeri Arab pada waktu itu tidak ada). Oleh karena setelah dibanding, bahwa banyak sekali persamaannya, binatang kerbau itu dengan sapi, maka diqiyaskanlah kerbau itu kepada sapi. Jadi hukumnya kerbau itu wajib dizakati seperti sapi. Berapa banyak jumlah sapi harus dizakati. Maka sebanyak itu pulalah kerbau itu dizakati. Maka wajiblah pula diundangkan wajibnya kerbau dizakati itu.
Ulil Amri mempunyai hak dan kewajiban bermusyawarah dan bebas memikirkan apa yang menjadi kebaikan dan kemaslahatan urusan mereka itu, baik itu kemaslahatan negara dan ummatnya, atau itu partai dan perhimpunan mereka, firman Allah SWT:


Artinya:
“Dan bermusyarahlah kamu denga mereka dalam sesuatu urusan.”

Dalam soal-soal duniawiyah (muamalah) apa yang menjadi baik dan maslahat bagi kita, itu terserahlah kepada kita sendiri. Dalam hal ini Rasulullah telah menggariskan dengan sabdanya:


Artinya:
“Kamu sekalian lebih mengetahui dengan urusan duniamu sendiri.”

Di atas ini, adalah mengenai soal duniawiyah beda dengan soal ubudiyah, soal ibadah. Itu haruslah hanya dapat mengikuti apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah (Quran) dan Rasul-Nya. Terlarang dalam agama mengada-adakan sesuatu yang tidak diadakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pad zamana Rasul itu bid’ah dan tertolak.
Rasulullah SAW bersabda :


Artinya:
“Barangsiapa yang mengada-adakan pada urusan kami yang tiada daripadanya, maka ia tertolak.”

Mengenai duniawi asal hukumnya, boleh, kecuali ada larangan syara (Quran dan Hadits). Mengenai ubudiyah (peribadatan) asal hukumnya, tidak boleh (dilarang) kecuali ada perintah syara (agama). Ini dikatakan dalam kaidah Ushuliyah dengan “Albaraatul Ashliyyah” artinya “lepas bebas dari beban pada asal mulanya”. Kadiah ini karena adanya firman Allah :


Artinya:
“Dan kami tiada menyiksa (mereka) hingga kami mengutus Rasul.”

Mengerjakan dan berbuat apa saja yang dipandang baik oleh kita di dunia ini, hukumnya boleh selama tidak ada laranganyang ditentukan oleh syara dan yang kita perbuat itu soal keduniaan.
Kita berpakaian, cara kita memakai dan menggunakan pakaian itu dobolehkan dengan cara bagaimanapun juga bentuk dan caranya pakaian itu, asal menutup aurat. Karena membuka aurat itu dilarang oleh syara, apakah kita memakai celana, apakah memakai sarung, apakah menggunakan jas, apakah menggunakan kemeja saja. Itu terserah kepada kita bagaimana baiknya, sesuai dengan proses dan perkembangan kebudayaan masyarakat kita masing-masing. Meskipun dalam hal ini kita perlu juga memperhatikan norma-norma kesopanan dan kesusilaan (akhlak).
Segi kesopanan dan akhlak memang perlu juga menjadi perhatian dan pertimbangan. Akhlak itu, perlu menjadi unsur muthlak dalam kita memperbuat sesuatu dalam urusan keduniaan itu sekalipun.
Kita boleh memakai pakaian dengan cara bagaimanapun, asal menutup aurat itu tadi. Tetapi harus wajar artinya sesuai dan lumrah dengan cara berpakaiannya masyarakat kita pada umumnya, di tempat dan pada masa itu.
Di suatu tempat (negara atau kampung) yang asing bagi penduduknya terhadap seorang yang berpakaian tidak dengan menutup kepala (tidak memakai peci) misalnya kita pada waktu itu, janganlah tidak memakai peci, meskipun buka kepala itu bukan larangan syara, sebab kepala itu bukan aurat, kita berpakaian dengan cara yang tidak wajar, namanya cara demikian itu tidak atau kurang baik.
Makan makanan yang halal hukumnya boleh, dimana dan di waktu kapanpun. Seseorang pemimpin atau seorang ulama ia makan di pasar atau sebuah warung jongkok yang dapat diketahui (terlihat) oleh orang-orang banyak yang biasa memberi penghormatan kepadanya. Makannya seorang pemimpin atau seorang ulama semacam demikian itu tidak baik karena tidak wajar. Unsur kesopanan dalam cara makannya pemimpin atau ulama tersebut, ditinggalkan. Maka karena itulah, sebagai para ulama (ahli hukum) berpendapat, bahwa seorang yang banyak meninggalkan kesopanan (akhlak) itu, tak dapat menjadi saksi dan ditolak kesaksiannya.
Bagaimana ukurannya seseorang yang mempunyai akhlak dan kesopanan itu, yaitu:


Artinya:
”Ialah orang yang berkesopanan semasyarakat.”

Orang yang mempunyai kesopanan seperti kesopanan masyarakatnya itulah orang yang berakhlak. Tetapi sudah tentu, kesopanan masyarakatnya yang tiada bertentangan dengan syara.
Mengenai persoalan ubudiyah (peribadatan), asal hukumnya tidak boleh (dilarang), kecuali apabila ada perintah dari syara. Tiada boleh ditambah dan dikurangi. Shalat Isya misalnya harus dilakukan dengan empat rakaat, tidak boleh ditambah atau dikurangi dari rakaat itu.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk memberi makanan kepada ahli mayit, karena sebab mereka sedang dirundung kesusahan. Maka kita tidaklah baik mengerjakan sebaliknya, yakni, maka ahli mayit yang hiruk pikuk membikin makan-makanan guna persediaan orang banyak yang melawat kepadanya. Itu hukumnya bid’ah munkaroh semua kitab fiqih menghukumkan demikian.
Peribadatan (ubudiyah) itu, ada yang ma’qul (rasional) ada yang tidak soal ibadah itu. Ada yang dimengerti oleh pikiran kita, ada pula yng tidak.
Apakah sebab, syara menentukan kita bersedekah, sehingga sedekah itu ada yang sunah dan ada pula yang wajib. Itu, dapat dimengerti oleh akal kita. Karena agar manusia itu, tolong menolong, bantu membantu satu sama lain. Yang satu bermanfaat bagi yang lain.
Apakah sebab dan hikmah maka manusia itu diperintahkan shalat. Agar manusia itu ada hbungannya dan kontak antaranya dengan tuhan. Akan bersihlah jiwanya, akan murnilah kepribadiannya seseorang manusia yang senantiasa ada hubungan (kontak) jiwa dengan Allah SWT.
Apakah hikmah dan sebab manusia dilarang meminum minuman keras. Sebab seseorang yang meminum minuman keras itu, akibatnya menjadi mabuk. Manusia yang mabuk itu berarti hilang akalnya, sama dengan orang gila. Orang yang gilapun hilang akalnya. Tercelalah bagi kemanusiaan seseorang yang hilang akal itu. Persoalan ibadah itu ada pula yang tak dapat dimengerti (tidak ma’qul) apa sebab sembahyang zhuhur empat rakaat, Wallahu a’lam. Apa sebab shubuh hanya dua rakaat dan Maghrib tiga rakaat, wallaahu a’lam.
S. Umar bin Khatab r.a. meskipun ia tiada mengerti apa maksudnya mencium Hajar Aswad, ia menciumnya juga karena ia melihat Rasulullah mencium Hajar Aswad itu.


Artinya:
“Dari Umar r.a. bahwa ia telah mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Saya tahu, bahwa kau ini adalah batu, tiada memberi melarat dan memberi manfaat. Jika sekiranya aku tiada melihat Rasulullah SAW menciummu tentu aku takan mau menciummu itu.”

Jadi semua soal-soal ubudiyah, soal-soal diniyah (soal-soal keagamaan), ma’qul atau tidak, dimengerti atau tidak, himat dan faedahnya, kita harus mengikuti juga.


Artinya:
“Apa-apa yang Rasul datangkan kepada kamu sekalian, maka wajib kamu ampbil dan apa-apa yang dilarangnya wajib kamu singkiri.”

Soal ubudiyah disebut juga soal diniyah, terhimpun dalam empat ribu Rubul Ibadat (peribadatan), rubul muamalat (pergaulan sesama manusia) seperti jual beli, titipan, utang piutang dan sebagainya, rubul munakahat (pernikahan) dan rubul jinayat (pidana). Kesemuanya itu, digariskan dan ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan kesemua itu bersumberkan Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Ulul Amri itu juga harus memperhatikan pedoman dan beberapa ketentuan dasar (kaidah Usuliyah) diantaranya:

1.

Artinya:
“Yang lebih banyak megalahkan yang lebih sedikit. Tiga mengalahkan dua, dan dua mengalahkan satu.” (Stem Suara).

2.


Artinya:
“Bagi hukum perantara sama dengan hukum tujuan.” Atau


Artinya:
“Segala urusan harus dilihat tujuannya.”

3.


Artinya:
“Kesulitan membawa keentengan.” Atau


Artinya:
“Kesulitan membolehkan sesuatu larangan.” Atau


Artinya:
“Apabila sempit sesuatu urusan maka ia menjadi luas.”

4.


Artinya:
“Dalam dua kesulitan diambilnya yang terenteng.”

5.


Artinya:
“Menolak kerusakan, harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

6.


Artinya:
“Yang yakin tiada hilang dengan yang syak.”

7.


Artinya:
“Hukum terkadang berubah karena waktu dan tempat.”

8.


Artinya:
“Dimana terdapat kemaslahatan disanalah ajaran Allah.”

9.


Artinya:
“Sesuatu yang wajib, tak dapat sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya wajib juga.”

10.


Artinya:
“Adat itu dipandang hukum.”

(Sudah tentu adat yang tidak melanggar hukum Agama Islam). Diantara lain contohnya: sudah menjadi adat bagi masyarakat bahwa barang siapa yang terlebih dahulu menempati suatu tempat duduk di dalam suatu kendaraan umum, bis misalnya, maka dialah yang mempunyai hak duduk dalam tempat itu, sampai di tempat mana ia memerlukannya tidak boleh disingkirkan oleh siapapun. Dan ini, menjadi suatu undang-undang yang tiada tertulis, artinya adat semacam ini menjadi hukum.
Supaya menjadi jelas, marilah kita uraikan keterangannya serba sedikit mengenai pedoman dan ketentuan dasar (kaidah usuliyah) di atas itu tadi.

Keterangan No. 1.
“Yang lebih banyak megalahkan yang lebih sedikit,” ini artinya pedoman bagi caranya bermusyawarah.
Musyawarah dalam Islam adalah soal prinsipil dan menjadi unsur muthlak, sebagai telah diterangkan di atas tadi.
Cara musyawarah, yang harus diambil menjadi keputusan dan menentukan adalah suara terbanyak. Apakah terbanyaknya muthlak, artinya separuh lebih satu atau lebih dari itu? Kepada sesuatu keputusan musyawarah yang telah menjadi keputusan, semua anggota musyawarah itu harus (wajib) tunduk dan taat. Tidak boleh (haram) menentangnya; sebab, itu adalah hasil keputusan musyawarah mereka sendiri ( seluruh anggotanya). Apakah ia termasuk kepada golongan yang menang dalam keputusan itu, atau termasuk kepada suara yang kalah, ataupun termasuk kepada yang menyatakan blanko (abstain). Kesemua mereka ini wajin tunduk dan taat serta menghormati akan putusannya itu. Malah mereka anggota yang tidak turut menghadiri juga wajib mentaati dan menghormatinya akan keputusan permusyawaratan itu. Mislanya, jumlah dari anggota permusyawarata (ulil amri) itu 200 orang. Mereka bermusyawarah dan yang hadir hanya berjumlah 180 orang saja, 20 orang tidak hadir karena berhalangan atau sengaja tak mendatangi permusyawaratan. Musyawarah (persidangan) dilakukan juga, sebab menurut peraturan yang ada sudah mencukupi quorum, sehingga permusyawaratn akan syah dan mengikat. Kemudian para anggota yang berjumlah 180 orang ini bermusyawarahlah. Lalu mereka mengambil keputusan “a” misalnya. 100 anggota dari mereka menyetujui akan “a” itu, yang 60 orang tidak menyetujuinya dan yang 20 menyetakan suara blanko. Maka karena itu masalah “a” ini diambil menjadi keputusan, sebab disetujui oleh suara terbanyak.
Maka, wajiblah kesemua mereka itu yaitu para anggota yang berjumlah 200 orang itu taat dan menghormati akan keputusan itu. Mereka semua yang hadir atau yang tidak hadir, yang menyetuji dan tidak menyetujui keputusan itu, semuanya mereka wajib melaksanakan keputusan itu, semuanya mereka tidak boleh menyatakan oposisinya di luar keputusan. Wajib semuanya taat dan menghormati. Terlaranglah bgi mereka, mengomel-ngomel lagi setelah menjadi keputusan itu. Firman Allah :


Artinya :
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan tukang tenun. Yang suka mengudari tenunannya sesudah selesi rapih, akbiatnya menjadi kusut kembali.”

Walaupun tidak setuju akan masalah “a” tersebut dijadikan suatu keputusan, tetapi oleh karena ia kalah suara, maka setelah diputuskan. Wajib pulalah ia tunduk dan taat.
Pada suatu ketika di Madinah, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, dikala akan terjadinya peperangan “Uhud”. Acaranya, karena musuh (kafir quraisy) akan menyerang kaum muslimin, bagaimana baiknya kaum muslimin itu bertahan saja di Kota Madinah (defensif) atau perlu menyerbu keluar memberikan serangan (opensif). Sebagian dari mereka itu setuju dan keras mempertahankan pendiriannya, agar kaum muslimin itu menyerang saja (opensif) dimana musuh berada di seberangnya. Pendapat ini adalah pendapatnya sebagian terbesar para pemuda. Akan tetapi sebagian lainnya, termasuk Rasulullah SAW sendiri, setuju mempertahankan diri saja di Kota Madinah ini. Perdebatan terjadilah dengan sengitnya.
Kemudian setelah diambil stem suara, maka golongan yang setuju menyeranglah yang mendapat suara terbanyak dan menang. Setelah keputusan diambil, maka masuklah Rasulullah ke dalam rumahnya, untuk bersalin dengan pakaian perangnya.
Pada waktu Rasulullah SAW di dalam kamarnya, sebagian shahabat kaum tua agak menggerutu kepada kaum muda yang dalam musyawarah dengan Rasulullah tadi dengan gaya agak keras dan kurang sopan, seperti yang seolah-olah bukan sedang berhadapan dengan Rasulullah saja dan malah menentang kepada apa yang disetujui olehnya. Maka pendapat itu dan nasehat kaum tua itu, tersalah kebenarannya. Bahwa mereka agak kurang berlaku sopan di hadapan Rasulullah pada waktu musyawarah itu tadi. Penyesalan terasa dihati mereka.
Rasulullahpun keluarlah dari kamarnya dengan berpakaian perangnya. Pada ketika itu, salah seorang pemuda berkata, “Ya Rasulullah, ampunilah kami ini, telah berlaku tidak sopan di hadapan tuan waktu kita bermusyawarah tadi. Oleh karena itu, selain kami mohon maaf sebanyak-banyaknya, terserahlah kepada tuan apa yang tuan akan ambil tindakan, kami setuju saja. Apakah kita bertahan saja di dalam kota atau kita menyerang keluar kota. Maka Rasulullah menjawab: “Demi Allah, tidaklah patut apalagi bagi seorang Rasul untuk mencabut suatu keputusan yang telah disepakati, dan marilah kita semua berangkat ke medan juang.”
Perlu juga diketahui, bahwa keputusan-keputusan itu harus dilaksanakan dengan sungguh sambil bertawakal kepada Allah SWT janganlah hendaknya keputusan itu hanya merupakan hitan di atas putih saja.



Artinya:
”Maka apabila kamu ber’azam (atas sesuatu hal) bertawakalah atas Allah. Bahwasanyaa Allah suka terhadap orang-orang bertawakal.”

Demikian firman Allah yang bermaksud kira-kira bahwa setelah kita bermusyawarah akan sesuatu urusan dan kemudian telah menjadi suatu keputusan bersama, maka wajiblah kita melaksanakannya dengan sungguh-sungguh sambil bertawakal kepada Allah dan mengaharapkan pertolongan-Nya, sehingga apa yang kita maksudkan itu dapat tercapai dengan baik serta dalam ridla Allah pula.

Keterangan No. 2.
“Sesuatu yang menjadi lantaran, hukumnya sama dengan yang menjadi tujuan.”
Contoh: Sembahyang hukumnya bagi kita wajib maka semua hal yang menjadi lantaran bagi terlaksananya sembahyang itu, mempunyai hukum wajib juga. Seperti mencari kain penutup aurat, mencari air guna berwudlu dan lain-lainnya. Kita ummat Islam, hukumnya boleh menjadi seorang yang mempunyai kekayaan maka mengerjakan semua hal yang menjadi lantaran bagi tercapainya kekayaan itu, hukumnya mubah (boleh) juga.

Keterangan No. 3.
“Kesulitan membawa keentengan.”
Contoh: di waktu kita lapar dibolehkan makan bangkai sekedar menutup lapar.

Keterangan No. 4.
“Dalam dua kesulitan diambil yang paling ringan.”
Contoh: dalam suatu jalan tikungan, setiap hari banyak saja kecelakaan mobil, sehingga karenanya banyak korban manusia. Bainya, jalan itu harus diluruskan. Tetapi jika jalan diluruskan, banyak rumah-rumah orang terganggu. Maka dalam menghadapi dua kesulitan itu, harus diambil pertimbangan yang paling sedikit resikonya. Dalam hal ini, tentulah lebih baik (lebih enteng) memindahkan rumah orang-orang dan meluruskan jalan raya itu daripada setiap hari banyak korban manusia. Oleh karenanya, bolehlah rumah-rumah orang itu dipindahkan dipaksa sekalipun (suka atau tidak pemilik-pemilik rumah itu), ongkos pemindahan dipikul oleh masyarakat atau negara.

Keterangan No. 5.
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
Contoh: Guna menambah-nambah biaya rumah tangga, bisa juga dilakukan dengan mengadakan suatu tempat “Taman Hiburan” itu, pasti mendatangkan kemaksiatan yang banyak. Maka membikin “Taman Hiburan” semacam itu, wajib ditolak (diurungkan) meskipun akan menjadi tambahan biaya itu tadi sebagai suatu kemaslahatan rumah tangga.

Keterangan No. 6.
“Yang yakin tidak hilang dengan yang syak (ragu-ragu).”
Contoh: “Kita yakin, bahwa pagi tadi kita sudah berwudlu (ambil air sembahyang), kemudian kita syak (ragu-ragu) apakah kita sudah batal atau tidak. Hilangkanlah keragu-raguan itu, wudlu kita tidak batal.

Keterangan No. 7.
“Hukum terkadang berubah, karena waktu atau tempat.”
Contoh: Mencuri hukumnya haram , tetapi mencuri harta musuh di waktu perang hukumnya mubah atau terkadang wajib. Makan dan minum bagi siapapun hukumnya mubah, tetapi makan dan minum bagi seorang ulama / pemimpin, makrulah hukumnya bila di suatu tempat yang akan mengurangi kehormatannya, sepeti di pasar tempat yang umum. Tidak memakai peci, hukumnya mubah, tetapi makruh (sedikitnya) bagi seorang kiai besar tiada memakai peci (membuka kepala) di tempat orang banyak.

Keterangan No.8.
“Dimana terdapat kemaslahatan disanalah syara Allah.”
Artinya: “Setiap syara Allah akan menarik kemaslahatan dan setiap kemaslahatan tentulah sesuai dengan syara.”

Keterangan No. 9.
“Wudlu untuk sembahyang wajib, menjadi wajib hukumnya, kalau wudlu untuk membaca mushaf hukumnya sunnah.”

Keterangan No. 10. sudah jelas.

Marilah kita kembali kepada asal persoalan yaitu, bahwa setiap pemerintahan Islam yang syah adalah diistilahkan orang dengan “Ahli Sunnah wal-Jamaah” dan istilah ini digunakan orang sejak pemerintahan Muawiyah. Selainnya pada waktu itu dinamakan Khawarij dan Syi’ah. Mereka Ahlul Baghyi atau bughat (pemberontak). Untuk menambah pengetahuan kepada kita, disini disuntingkan juga beberapa keterangan mengenai khawarij dan syi’ah itu sebagai yang dinyatakan oleh Syekh Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya ”AL-HADIST WAL-MUHADDISTUN ” sbb.
“bahwa khawarij itu, adalah suatu kaum yang keluar dari pemerintahan Ali r.a., setelah Ali menerima “tahkim”, yakni adanya perdamaian antaranya dengan Mu’awiyahy r.a di Shiffin (Shiffin Carter) itu. Memang sangatlah mengherankan, karena sewaktu Ali menolak dan tidak setuju /atau menyetujui perdamaian itu, merka (khawarij) memaksa Ali untuk menerima tawaran perdamaian dari Mu’awiyah itu.Tetepi setelah Ali menerimanya beberapa hari kemudian, mereka (khawarij) menolaknya dan memberontak. Mereka berpendapat, bahwa khalifah itu wajib dengan pilihan yang bebas merdeka. Dan khalifah itu, tidaklah harus mutlak dipilih dari ahlulbait dan golongan quraisy semata-mata. Mereka tiada membedakan antara kafir dan fasq, tetapi setiap orang yang melewati batas-batas hukum Allah, maka orang itu fasiq Dan setiap orang fasik itu kafir karena suatu perbuatan itu pada pendapat mereka adalah suatu bagian dari iman. Maka seseorang yang berbuat (menyusun) dosa besar adalah kafir. Mereka mengakui sahnya khalifah Abu Bakar dan Umar r.a, karena pemilihannya kedua khalifah itu demokratis dan sah.Juga mereka diakui kesahannya khalifah Usman r.a pada tahun-tahun pertamanya semasih ia melakukan apa seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Tetapi setelah Usman menetapkan ahli kerabatnya menjadi wali-wali negeri dibeberapa wilayah, maka sejak itulah Usman dicela mereka.
Mereka mengakui kesahannya khalifah Ali r.a selam sebelum Ali menerima “tahkim” itu. Tetapi setelah terjadinya tahkim,Ali dipandang mereka kufur, sebab pada pendapat mereka,Aliitu telah membikin hukum sendiri. Pendapat dan semboyan mereka “La hukma illa lillah”(tiada hukum hanya kepunyaan Allah saja);mereka beralasan dengan firman Allah:”Waman lam yahkum zalallahu faula ika humul kaafirun”.
Mereka ingkar juga kepada Mu’awiyah, karena Mu’awiyah itu “istibdaad”, berhaluan monarkhi, berusaha dengan keras agar pimpinan pemerintahan itu oleh keturunannya dan turun menurun.Oleh karenanya pada pandangan mereka, adalah suatu perampasan(penggasaban) terhadap khalifah.
Sebahagiaan dari mahzab meraka. Bahwa mereka yang bekerja sama denga dan menolong Mu’awiyah dan orang yang tidak melepaskan diri dari Ali dan Usman, adalah kafir dan halal darahnya.Maka Ali dan syi’ahnya, Mu’awiyah dan a’wannya, Usman dan orang-orangnya yang tidak melepaskan diri dari padanya , semua mereka itu. Pada pandangan khawarij adalah kuffaar dan halal darahnya. Dan yang terang bahwa kaum khawarij itu, adalah segolongan orang-orang Arabyang berhati keras,kering yang oleh Allah s.w.t telah disignalir (diperingatkan) dengan firmannya: Al-a’rabu asyaddu kufran wanifaqahn waadidaru aula ja’lamu hududa ma an zalallahu ‘ala rasulihi”.”Bahwasannya orang-orang Arab baduwi itu sangat keras kekufuran dan infaqnya dan lebih-lebih mereka tidak mengetahui batas-batas hukumnya yang diturunkan Allah atas Rasul-Nya”.
Maka tidak seorangpun dari mereka yang termasuk sahabat Rasul SAW yang mendapat cahaya nubuwwah dan dapat memahami Quran atas jalan yang benar. Maka tiadalah kita heran, apabila mereka terpedaya dengan zhahirnya Quran semata-mata. Padahal jika mereka bersungguh-sungguh dan faham akan isi Quran, mereka pasti akan menjumpai juga dengan ayat yang memperbolehkan (menyuruh) akan tahkim itu, Firman Allah dalam Surat An-Nisa : “Faba’atsu hakaman min ahlhi wahakaman min ahlihaa in yurida ishlaahan yuwaffiq llahu bainahuma” maka tahkim itu, suatu hukum syara. Sedangkan kedua hakam (perutusan dari kedua pihak) itu, mereka berhukumkan dengan sekira yang diperintahkan oleh Al-Quran juga. Yaitu ayat: “Faintana-za’tum di syaiin faruddu-hu ilallahi war rasul.”
Adapun Ali pada permulaannya tidak mau bertahkim itu, karena ia melihat bahwa adanya tuntutan tahkim itu semata-mata suatu khid’ah saja, suatu tipuan muslihatnya Muawiyah dan Amr bin ‘Ash untuk membingungkan pasukan dan tentara Ali yang gagah perkas itu. Sedang tentara Muawiyah akan menemui kehancuran dan terdesak mundur, maka tentara Muawiyah itu masing-masing meletakan mashaf di ujung tombak-tombaknya dan diangkat mereka sebagai isyarat untuk diadakannya tahkim (perdamaian) dengan kitabullah Al-Quran.
Andaikata (ini andaikata) pada ketika itu sahabat dan tentara Ali r.a. taat akan ajakannya yakni tiada menerima akan tahkim itu; artinya pertempuran diteruskan saja, maka akan berobahlah muka sejarah (tarikh) dan tidaklah seperti keadaan sekarang ini dan akan terjadilah bagi Muawiyah dan Ahli Syam sesuatu keadaan yang suram tiada seterang seperti yang telah terjadi bagi sejarah mereka. Tetapi memang demikianlah takdir Allah SWT dan tiadalah sesuatu yang dapat menghalangi menolaknya. Kaum Khawarij memandang halal membunuh dan memerangi dan menggempur kepada setiap khalifah bani Umayah.
Daulah Amawiyah ini, sepanjang masa sejarah perkembangannya, selalu dibayangi dengan suasana sedih karena diserang terus menerus oleh pemberontakan golongan Khawarij yang dahsyat itu; sehingga dapat dikatakan, tak dapat menjalankan pemerintahan dengan tentram dan tenang.
Dengan pimpinan Malhab bin Safrah, dengan pasukan jibakunya (bernai mati) terus menerus mengadakan serbuannya. Sehingga mendatangkan malapetaka yang berganti-ganti.
Kadaan semacam ini, terus menerus hingga pada awal pertama khalifah Abasiyah. Tetapi padamlah kemudian bara pemberontakan Khawarij ini dan hancurlah kekuatannya. Demikianlah kiranya Allah SWT berkehendak memberikan istirahat bagi kaum muslimin dari kejahatan Khawarij tersebut.
Bagaimana fiqih Khawarij tersebut?
Oleh karena mereka Kaum Khawarij bodoh tentang hadits dan mereka tidak banyak mau menerima hadits itu dari selain mereka sendiri, disebabkan juga mereka selalu memandang ragu-ragu terhadap hadits-hadits yang datang sampai kepadanya, maka dengan demikian fiqih mereka itu berlainan dengan hukum-hukum syariat Islamiyah malah terkadang menyalahi juga dengan nash Quran sendiri.
Sebagian mereka berpendapat, bahwa tayamum itu hukumnya boleh meskipun di pinggir sumur. Sebagian lagi berpendapat, kewajiban sembahyang itu hanya satu rakaat di waktu pagi dan satu rakaat di waktu sore hari. Adapula yang berpendapat, naik haji itu boleh dikerjakan pada bulan manapun juga. Sebagian mereka juga ada yang berpendapat, bahwa halal darah anak-anak kecil dan atau perempuan yang tidak segolongan dengan asykar mereka ada juga yang menghukumkan, boleh bernikah dengan cucu/keturunan perempuan, baik anak dari anak perempuan atau dari anak laki-laki.
Demikian ini menunjukkan sangat mendalam kebodohan mereka itu, sehingga dengan Quran sekalipun apapula terhadap hadits yang sebagai tadi telah diterangkan bahwa mereka tidak dapat menghitung dan menerima kebenaran sesuatu riwayat yang dibawa oleh jumhur muslimin, sebab mereka itu dalam pandangannya kafir belaka. Maka tentu saja mereka itu tidak akan mengambil agama bagi mereka dari kaum yang dipandang kafir itu.
Yang menjadi I’timad dan sandaran mereka untuk agamanya itu, hanyalah sesuatu yang diriwayatkan oleh imam-imamnya oleh para pemimpinnya saja. Wal hal sebagai telah diterangkan tadi di atas, bahwa para pemimpin mereka itu, kosong dari ilmu pengetahuan tentang hadits Rasulullah SAW bahkan kosong pula dari memahami hukum-hukum Quran atas jalan yang syah.
Tetapi sudah tentu ada saja kecualinya. Artinya, meskipun dengan jumlah yang sedikit sekali, ada saja Khawarij yang tiada tersifati seperti sifat-sifat di atas, artinya adalah saja diantara mereka yang masih boleh dipercaya meskipun kepercayaan ini akan jarang sekali terjadi. Sebab diantara afradnya orang-orang (Khawarij) itu, atau diantara imamnya ada yang belajar sungguh dalam agama dan meriwayatkan hadits juga.
Menurut keterangan Ibnu Salakh dalam muqadimahnya bahwa setengah para imam hadit seperti Bukhari i’timad (percaya) juga dengan sesuatu hadits. Yang diriwayatkan oleh orang Khawarij semacam ini; bahwasanya Imam Bukhari telah berhujjah dengan sesuatu hadits yang dibawa oleh Imam bin Khathan seorang Khawarij.
Memang pantaslah, lebih-lebih suatu hadits yang diriwayatkan oleh Khawarij itu akan lebih dapat dipercaya, sebab seorang Khawarij memandang kufur bagi siapa yang suka membohong. Jadi akan benar-benarlah kebenaran hadits yang dibawanya itu.
Meskipun demikian, mereka yang memandang kufur bagi orang yang suka membohong. Tetapi karena dorongan hawa nafsunya banyak sekali mereka memalsukan hadits dan membohongi terhadap Rasulullah SAW karena untuk menguatkan mazhabnya yang tidak benar itu. Jadi banyak sekali Kaum Khawarij itu memalsukan dan mewadlakan hadits Nabi, meskipun tidak sebanyak yang dipalsukan oleh golongan Kaum Syi’ah.

SYI’AH DAN AQIDAHNYA



Tidaklah diwasyiatkan oleh Nabi tentang kekhilafahan itu kepada siapapun, baik kepada Ali atau lainnya. Tidaklah terdapat dalam suatu hadits yang sahih, bahwa Nabi pernah menyatakan yang Ali akan dijadikan khalifah di kemudian hari. Sebagai juga tidak ada sama sekali, suatu pengakuan Ali sendiri. Bahwa ia diwasiati oleh Nabi untuk menjadi khalifah itu. Dan andaikata ada niscaya akan menceritakan pada sahabat-sahabat lainnya. Malah sebaliknya, Ali r.a. telah melakukan bai’at terhadap Abu Bakar atas kekhalifahannya. Sebagai juga telah melakukan bai’at pada Umar dan kemudian Utsman r.a.
Sebagian banyak dari para sahabat nabi, ada yang sejak Nabi meninggal dunia, berpendapat, bahwa khalifah itu suatu warisan bagi Ali bin Abi Thalib sebab Ali yaitu lebih utama untuk itu. Karena banyak alasan-alasannya.
a. lebih dekat kekeluargaanya dengan Nabi setelah pamannya Abbas r.a.
b. Ia terdahulu Islamnya.
c. Ia turut pada perang Badr.
d. Ia suami dari Fatimah anak Nabi. Dan
e. Ia mempunyai kelebihan-kelebihan ilmu, pemberani, gagah perkasa, bijaksana dan pandai dan ahli dalam melakukan qadla (mengadili). Sehingga telah menjadi buah bibir mereka, bahwa “Tidak ada suatu peradilan yang sama seperti Abbal Hasan.”
Adapun pamannya Abbas r.a. kekurangannya yaitu, karena:
a. Terbelakangnya masuk Islam yaitu menjelang Fathu Mekkah (tahun 8 H), dan
b. Ketika perang Badr beliau ada di pihak musyrikin Quraisy. Jadi Abbas tidak mempunyai kelebihan sebanyak kelebihan Ali.
Para sahabat yang mempuyai pendapat demikian seperti diterangkan di atas ini (anshar Ali = sahabat-sahabat yang fanatik Ali) tiadalah mereka menyatakan perasaan dan pendapatnya pada umum, karena menjaga agar kesatuan dan persatuan kaum muslimin tetap terpelihara. Mereka tiadalah mengayalkan dan memperlambat pembai’atannya terhadap Abu Bakar dan kedua khalifah sesudahnya. Yakni Umar dan Utsman radiallaahu anhum. Akan tetapi tatkala timbulnya huru-hara fitnah karena terbunuhnya Sayidina Utsman r.a. maka mereka itu (anshar) Ali adalah orang-orang yang pertama mendesak Ali agar ia menerima menjadi khalifah menggantikan Utsman ini.
Kemudian tatkala terjadinya tuntutan Muawiyah atas daerah Utsman, sehingga Terjadinya peperangan antara Muawiyah dan Ali yang disudahi dengan peristiwa “Shiffin” sebagai yang diterangkan di atas, maka pikiran-pikiran fanatik terhadap Ali itu berjangkit kembali dengan hasutannya kaum munafikin (sabaiyah) dan dicampuri kaum zindik beserta orang-orang pelampias hawa nafsu dengan maksud untuk mengacaukan ummat dan agama Islam dari dalam sehingga ummat Islam menjadi berantakan. Saat yang baik ini, dijadikan kaum munafikin dan zanadiqoh suatu kesempatan yang baik, untuk memecah ummat Islam dari dalam dan bermaksud merusak agama semata-mata.
Anshar Ali (Syi’ah) ini berpendapat, bahwa khalifah bagi Ali itu, adalah hak syara, kekhilafahan itu, berhak bagi Ali atas wasiatnya Rasulullah SAW sehingga memberikan julukan (laqob) bagi Ali dengan “Al-Wasiyy”, artinya “Orang yang diwasiatkan” oleh Nabi untuk menjadi khalifah. Dan khalifah sesudahnya (Ali) akan menjadi keturunan Ali. Barangsiapa yang menjadi khalifah dan bukannya ia keturunan Ali, adalah ia gashab dan zhalim. Karena itu pulalah, mereka memandang bahwa Abu Bakar dan Umar pun telah menggashab hak Ali.
Mereka mengangkat Hasan dan kemudian Husein r.a. tetapi setelah Husen meninggal dunia, mereka berselisih siapakah yang harus dipilih menjadi khalifah dari antara anak dan keturunan Ali itu.
Sebagian berpendapat, bahwa yang harus dipilih itu anak yang tertua. Maka karenanya ia mengangkat Muhammad ibnul Hanafiah sebagai khalifah. Segolongan lainnya memandang yang harus dipilih itu, adalah anak keturunan dari Siti Fatimah r.a. maka golongan ini, mengangkatlah setelah Husen kepada anaknya, Ali Zainal Abidin. Setelah Zainal Abidin r.a. wafat, kemudian anaknya Muhammad al-Baqir diangkat menjadi khalifah. Setelah al-Baqir wafat, mereka itu terbagi pula. Sebagian mengangkat Zaid bin Ali yang mereka ini akhirnya masyhur disebut “Syi’ah Zaidiyah”. Sebagian lagi, mereka mengangkat Ja’far Shadik bin Muhammad al-Baqir.
Perlu diketahui, bahwa Syi’ah Zaidiyah ini, adalah teradil pertimbangannya dibanding Syi’ah lainnya dan tidak terlalu berlebihan fanatiknya. Mereka ini tidak melepaskan diri dari kekhilafahan Abu Bakar dan Umar (mengakui kekhilafahan keduanya ini). Mereka inipun mempunyai pandangan, bahwa yang berhak menjadi khalifah itu, adalah turunan Ali dari Fatimah saja. Juga mereka berpendapat bahwa seseorang imam (khalifah) itu, harus ditentukan dengan kecakapannya bukan hanya melihat keturunannya saja. Siapa diantara keturunan Ali yang paling cakap untuk menjadi imam, ialah yang berhak dipilih, juga menjadi pendapatnya pengikut Ja’far Shadiq.
Maka pada garis besarnya. Syi’ah itu menjadi tiga firqoh:
a. Kaisaniyah pengikut dari Muhammad ibnul Hanafiyah.
b. Imamiyah Ja’fariyah pengikut dari Ja’far Shadiq, dan
c. Imamiyah Zaidiyah pengikut dari Zaid bin Ali bin Husen r.a.
Tiga firqoh inilah yang termahsyur dari golongan Syi’ah itu dari beberapa banyak firqah yang tidak diuraikan disini dari cabang-cabang dan ranting-rantingnya.
Marilah sedikit kita uraikan juga mengenai akidah kaum Syi’ah ini pada garis besarnya:
1. AR-RADJ’AH. Golongan ini mempunyai kepercayaan, bahwa sayidina Ali itu tidak mati. Ia masih hidup dalam keadaan menyamar. Dan ia akan kembali di akhir zaman. Pada waktu itu, bumi iini penuh dengan keadilan sebagai telah dipenuhi dengan kezhaliman. Sebagian lagi dari golongan ini, juga mempunyai kepercayaan, seperti terhadap kepada Ali, yaitu bahwa imam-imam mereka dari keturunan Ali itu tetap hidup. Sama seperti golongan Kaisaniyah, mempunyai keyakinan, bahwa imam mereka Muhammad ibnul Hanafiyah sampai sekarang masih hidup, bertempat di gunung Ridwa, kiri kanannya diapit oleh singa dan macan, serta berkata-kata dengan malaikat yang membawa suguhan (makanan) baginya setiap pagi dan petang. Dan ia tidak akan mati sehingga dunia ini akan penuh dengan keadilan sebagai telah penuh dengan kezhaliman.
2. AN-NUBUWWAH. Golongan ini mempunyai kepercayaan, bahwa Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, maka kenabian (nubuwwah) itu jatuh kepada Ali. Malahan sebagian dari mereka berpendapat, bahwa Jibril itu bersalah menurunkan risalah (kerasulan) kepada Muhammad, tetapi sebenarnya dan seharusnya diturunkan kepada Ali.
3. AL-ULUHIYAH. Golongan ini memandang Ali itu, Tuhan. Mereka ini, golongan Ibnu Saba al-Humairi. Tetapi ada juga setengah dari mereka yang memandang Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW.

Sekian sajalah, sebagai contoh dan ukuran bagi kita dalam memberikan penilaian terhadap akidah dari kaum Syi’ah ini.
Tiadalah akan ragu bagi kita dalam menghukumkan kafirnya kebanyakan dari kaum Syi’ah itu. Seperti sebagian dari kaum Syi’ah itu. Yaitu seperti sebagian dari mereka yang beri’tiqad Allah itu “Hulul” dengan Sayidina Ali r.a. atau yang beri’tiqad Ali itu adalah menjadi Nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atau juga yang mentakwilkan Quran dengan takwil yang tidak betul. Janganlah diragukan lagi, bahwa mereka itu kafir dan menyeleweng dari agama yang sebenarnya.
Sebagai diterangkan di atas tadi, memang ada fanatisme dan keta’ashuban sebagian sahabat terhadap Ali dan ahlil bait. Keadaan dan situasi ini, dijadikan suatu kesempatan yang baik oleh pembenci dan pendendam Islam untuk menghancurkan kekuatan ummat Islam dan merusak luluhkan agama Islam dari dalam.
Adapun biang keladi fitnah ini, sebagai yang diterangkan oleh ahli sejarah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba. Ia pura-pura beragama Islam dan pura-pura mencintai Ali dengan cara yang berlebihan, hingga mengaku dan menda’wakan Allah itu hulul dengan Ali (bersatu padu).
Jelaslah, bahwa komplotan mereka ini untuk membikin suatu huru hara memecah dan melemahkan ummat Islam dan merusak agama. Karena itu mereka berusaha mencari komplotan sebanyak-banyaknya dengan jalan berpura-pura mencintai Ali dan ahlul bait (tasyayyu’).
Abdullah bin Saba seorang pendeta Yahudi di Yaman, setelah masuk agama Islam, kemudian pindah ke Madinah pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Utsman bin Affan, kira-kira tahun 30 H.
KEBOHONGAN SYI’AH



Tiadalah mengherankan kita, apabila Syi’ah itu, sampai juga membohongkan (memalsukan) hadits-hadits Nabi; karena dengan jalan bagaimana juga, mereka berusaha dengan sekeras-kerasnya, agar ummat Islam itu pecah belah dan mereka mendapatkan kaum dan ikutan sebanyak-banyaknya. Diantara lain, mereka memalsukan hadits dan melebih-lebihkan martabat dan derajat Sayidina Ali dan merendahkan Muawiyah dan Bani Umayah. Dibuatnya hadits-hadits palsu yang dibikin mereka, seperti yang disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya “Al-Laalil Mashnu’ah” juz I sebagai berikut:


Artinya:
“Barangsiapa yang mati dan dalam hatinya benci kepada Ali bin Abi Thalib, maka hendaklah ia mati Yahudi atau Nasrani.”



Artinya:
“Hai Ali, aku tentukan kamu dengan kenabian dan tak ada Nabi sesudahku.”



Artinya:
“Nanti di akhir zaman akan ada fitnah. Jika salah seorang kamu mendapatinya wajib baginya dengan dua perkara, yaitu kitab Allah dan Ali bin Abi Thalib.” Dan akhir hadits itu dan ia adalah khalifah sesudahku.”



Artinya:
“Bahwa bagi setiap Nabi, ada orang yang diwasyiati dan yang mewarisinya, dan bahwa orang-orang yang diwasiati olehku dan yang menjadi ahli warisku adalah Ali bin Abi Thalib.”


Artinya:
“Pada waktu Rasulullah sakit yang menyebabkan azalnya dan ketika itu duduklah disamping beliau kedua istrinya Hafsah dan Aisyah Rasulullah berkata kepada keduanya, “Coba kekasihku suruh datang kemari.” Kedua istrinya mengirim utusan kepada Abu Bakar agar ia datang. Datanglah Abu Bakar dan bersalamlah ia, kemudian masuk dan duduk. Tapi agaknya Nabi tiada mempunyai keperluan apa-apa (kepadanya). Kemudian Abu Bakar, pulanglah. Kemudian Nabi melihat kepada kedua istrinya pula dan berkata: “Coba kekasihku suruh kemari.” Keduanya memanggil Umar. Umarpun datang, membaca salam dan masuk. Nabi juga agaknya tiada mempunyai sesuatu maksud dengan Umar itu. Umar berdiri dan pulanglah. Nabi menoleh kepada kedua istrinya, seraya berkata: “Panggillah kekasihku. Maka dipanggillah Ali dan Ali pun datang dan membaca salam danmasuklah. Setelah Ali duduk kedua istrinya disuruhnya pergi oleh Nabi. Setelah kedua istri Nabi pergi, kemudian Nabi berkata: “Hai Ali coba suruh ambil kertas dan dawat.” Setelah kertas dan dawat tersedia akan Nabi mengimlakannya dan Ali menuliskan sedang Jibril meyaksikannya. Kemudian kertas itu ditutupnya.” Kata rawi. Maka siapa yang mengaku-ngaku yang ia mengetahui isi tulisan di atas kertas itu. Kecuali yang mengimlakannya atau yang menuliskannya atau yang menyaksikannya, maka janganlah dibenarkan.”

Demikianlah, malah masih banyak lagi riwayat-riwayat yang dibikin-bikin itu. Yang sebagian menetapkan ke-nabian bagi Ali dansebagian lagi menetapkan kehilafahan dan wasiat Nabibaginya.
Terjadilah desas-desus, bahwa Nabi berwasiat kepada Ali tentang kehilfahan. Yakni Ali ditentukan untuk menjadi khalifah dengan wasiat Nabi. Desas-desus ini terdapat di zaman Ali masih hidup. Tandanya yaitu ada sebagian sahabat yang bertanya kepada Ali mengenai wasiat itu. Dan oleh Ali telah diberi jawaban, bahwa hal itu bohong belaka. Tidak ada sama sekali Nabi pernah berwasiat kepadanya mengenai khalifah itu.
Keterangan itu ditulis oleh Imam Bukhari dalam kitabnya “Fathul Baari” dalam Kitabul Ilmi juz I halaman 182 sebagai berikut:




Artinya:
“Dari Abi Juhaifah seorang sahabi. Ia berkata: ”Pernah aku katakan kepada Ali, “Adakah engkau mempunyai kitab” Jawabnya:…….kecuali kitabullah dan faham sebagai yang diberikan bagi setiap muslim atau apa yang ada dalam “shaifah”. Katanya selanjutnya “kemudian aku bertanya: “Apakah yang ada dalam” Shahifah itu”. Jawabnya: “menahan dan melepas tawanan dan seorang muslim tidak dibunuh mati karena membunuh seorang kafir.”

Di atas ini, teranglah, bahwa desusan kaum syi’ah ini, kebohongan semata-mata, malah dibantah kebenarannya oleh Syaidina Ali sendiri, seperti jawabannya kepada Juhaifah di atas tadi.
Sama seperti hadits Juhaifah ini, suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dari Hasan ia berkata: Artinya I.k: “Tatkala Ali datang di Bashrah, Ibnul Kawwa dan Qais bin Ubadah datang menghadap kepada Ali dan berkata: “Apakah tidak engkau beritakan kepada kami dari usaha dan urusanmu memimpin umat sehingga terjadinya pertempuran diantara mereka, adakah suatu janji dari Rasulullah SAW kepadamu, cobalah ceriterakan, karena kami percaya, bahwa engkau adalah orang kepercayaan dan dapat memegang amanat atas yang telah kau dengar”. Ali menjawabnya: “Wallahi jika aku seorang yang pertama-tama mempercayai Muhammad SAW, tidaklah sekali-kali aku akan menjadi seorang yang pertama-tama membohongkan kepadanya. Jika aku sekiranya mendapatkan janji mengenai khalifah itu dari Muhammad, tidaklah aku biarkan Akhatim bin Murrah dan Umar bin Al-Khattab masing-masing berdiri di atas mimbarnya dan pasti akan aku bunuh keduanya dengan tanganku ini, meskipun aku hanya akan mendapatkan bajuku ini saja. Akan tetapi Rasulullah SAW tiada mati terbunuh, atau mati dengan cara mendadak, beliau sakit dahulu dalam beberapa hari. Pada waktu diazankan orang untuk sembahyang, beliau perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam sembahyang itu. Di waktu itu Nabi melihat akan tempatku. Demikian juga pada waktu diazankan untuk sembahyang yang (kedua), maka beliau memerintahkan lagi kepada Abu Bakar untuk menjadi imam pula. Waktu itupun, beliau melihat juga tempatku. Malah waktu salah seorang isterinya, seolah-olah menghalangi untuk Nabi memerintahkan Abu Bakar mengimami sembahyang itu. Tetapi beliau menghardiknya dan marah sekali, kemudian berkata: “Kamu sekalian adalah laksana shawahib Yusuf saja”. Biarkanlah Abu Bakar supaya mengimami sembahyang ini.
Maka karena itulah, setelah nabi meninggal dunia, dalam hal kami memikirkan persoalan dunia ini, kami serahkan kepada orang yang diridhoi Nabi dalam urusan agama (yaitu, Abu Bakar dipercaya untuk menjdai imam sembahyang). Sebab shalat (sembahyang) itu, adalah azas Islam dan soko gurunya agama. Karena itulah, kami lakukan membai’at Abu Bakar pada ketika ia diangkat menjadi khalifah karena keahliannya dan tak ada dua orang menentangnya”, hingga ia …… berkata: “Tatkala Abu Bakar meninggal dunia kemudian diangkatlah sebagai khalifah yang kedua Umar bin Khatab, sebagai orang yang terdekat dengan Abu Bakar dan lebih mengetahui keadaannya. Kamipun membai’atnya pula dan tak ada yang menentangnya. Kemudian pada waktu Umar wafat, terbetiklah dalam ingatanku, bahwa aku ini seorang yang terdekat kekerabatan dengan Nabi, terdahulu masuk Islam dan aku dipandang lebih, kukira tak akan ada seorangpun yang dapat dan berani meluruskan (membenarkan jika aku salah) kepadaku. Tetapi malah timbul kekhawatiran, bahwa seorang khalifah tidaklah ia memperbuat suatu dosa kecuali akan sampai juga dikuburannya nanti sebagai pembalasan. Maka akan ada saja dari kekayaan khalifah itu yang digunakan bagi diri dan anak keluarganya (yang tidak wajar). Dan jika ada mempunyai rasa pilih kasih daripadanya, niscayalah rasa itu akan tercurahkan kepada anak dan keluarganya.
Maka untuk terlepas dari sesuatu yang kurang baik, berkumpulah sekelompok orang yang berjumlah enam orang dan salah satunya saya sendiri. Mereka ini, bertindak sebagai formaturs akan menentukan siapa yang seharusnya dipilih menjadi khalifah itu.
Pada waktu mereka berkumpul dan bermusyawarah ini, timbullah pula dugaan, bahwa mereka tak akan berani membenarkan kepadaku (menyatakan perasaan secara terus terang dihadapanku), maka aku ambil dan mengusulkan agar Abdurrahman bin Auf dijadikan kepercayaan kami semua untuk menetapkan siapa diantara kami yang patut dan dipilih menjadi khalifah dan kami bersedia mentatatinya siapa saja yang terpilih olehnya. Tiba-tiba Abdurrahman mengulurkan tangannya dan memegang tangan Utsman (tanda membai’atnya).
Aku termenung dan berfikir sejenak, spontan rasa ketaatanku malah mendahului daripada bai’atku. Tatkala kepercayaanku (Abdurrahman) itu memegang tangan selainku, segera akupun menyatakan bai’atku kepada Utsman. Aku lakukan apa yang semestinya baginya. Aku perlihatkan kesetiaanku kepadanya. Aku berperang besertanya dan bersama tentaranya. Aku terima sesuatau apabila ia memberinya. Aku pergi berperang apabila ia memerintahnya. Aku lakukan menjalankan hudud dengan cemetinya di hadapannya. Ketika ia (Utsman) terkena musibah (bahla terbunuh), aku berfikir. Dalam pikiranku, kedua khalifah yang diangkat atas isyarat Rasulullah dengan sembahyang sudahlah keduanya berlalu. Dan khalifah yang dipilih oleh kepercayaan (yaitu Utsman) juga terkena bahla (dibunuh orang). Kemudian tiba-tiba pada waktu itu Ahlul Haramain (Muhajirin dan Anshar) membai’atku dan mengangkatku menjadi khalifah. Sedang (dalam pikiranku) mungkin sajalah jabatan ini akan diambil orang yang kurang dari padaku baik kekerabatannya (dengan Nabi) atau ilmunya atau Islamnya pun lebih belakangan daripadaku. Karena itu, aku pandang, bahwa aku lebih berhak untuk itu.
Demikianlah tersebut dalam “Tarikhul Khulafa” karangan Assuyuthi muka 119.
AL-KHILAFAH



Untuk agak lengkapnya buku kecil ini, kita adakan sedikit pembahasan mengenai “KHILAFAH” = Pemerintahan.
Bagaimana pandangan “Ahli Sunnah wal Jamaah” berkenaan dengan masalah ini.
Al-Khilafah atau Al-Imamah atau Al-Imarah, maknanya sama, yaitu “Pemerintahan.” Al-Khalifah (Al-Khalif) atau Al-Imam atau Al-Amir, artinya “Kepala Negara.”
Guna adanya ketertiban umum dan untuk terlaksananya hukum Allah di atas bumi ini, dalam pandangan “Ahli Sunnah wal Jamaah” (Agama Islam), wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah (imam) dan pemerintahannya. Hal ini bersumberkan dalil ayat Al-Quran:


Artinya :
“Ketika berkata Tuhanmu bagi para Malaikat, bahwa aku jadikan di bumi khalifah.” (Q.S. Al-Baqarah:30).

Para ulama tafsir mengartikan “Khalifah” itu dengan dua jalan:
a. Yang dimaksud dengan kalimat “Khalifah” itu, adalah Nabi Adam a.s. sebab beliau menjadi wakil (khalifah) Allah di bumi-Nya dalam melaksanakan segala perintahnya. Dan kata satu kaol, karena Nabi Adam itu berada di bumi ini sesudah (bahasa Arabnya khalafan) Jin yang berada di bumi ribuan tahun sebelum Adam. Kalimat “Khalifah” itu, atas wazan “fa-iilah” dengan makna fa’il artinya “Pengganti”. Dan kata satu pendapat, atas wazan “fa-iilah” dengan makna maf’ul, artinya “Yang diganti” (sesudah matinya oleh anak cucunya). Artinya Nabi Adam yang akan diganti anak cucunya.
b. Kalimat “Khalifah”, suatu kalimat mufrad (menunjukan akan seseorang), tetapi tang dimaksud untuk “jama”, yaitu “Khala-if”.

Pendapat ini, termasuk juga ikhtiarnya Ibnu Katsir. Karena sesuatu kalimat “mufrad”, jika ia isim jinnis, dalam bahasa Arab digunakan juga untuk menunjukan kepada banyak (jama) misalnya, Firman Allah :



Maka oleh karena ayat ini, ihtimal atas dua jalan seperti tersebut di atas tadi, maka menjadi dalil bagi kita, bahwa kalimat “Khalifah” itu dapat diartikan “Khalaif” atas jalan yang kedua di atas itu. Artinya tidaklah hanya Nabi Adam a.s. sendiri yang dijadikan “Khalifah” oleh Allah di atas bumi ini. Tetapi juga anak cucunya selanjutnya.
Juga pendapat ini diperkuat oleh ayat kelanjutannya:


Artinya:
“Mereka Malaikat berkata : “Adakah engkau dijadikan (Khalifah) di bumi, orang-orang perusak dan pengalir darah.” (Q.S. Al-Baqarah : 30).

Tentu kita sama maklum, bahwa Nabi Adam a.s. bukanlah seorang manusia perusak di bumi dan bukan pula tukang mengalirkan darah, tetapi dia adalah Nabi. Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan ayat itu tadi, tidaklah melulu ditujukan kepada Adam sendiri, tetapi juga kepada anak cucunya yang suka berbuat kejahatan di dunia dan suka mengalirkan darah satu sama lain.
Imam Kurtubi dalam menafsirkan ayat di atas ini, beliau berkata: “Ayat ini, adalah dasar dan pokok dalam pembentukan dan pengangkatan Imam dan Khalifah, yang wajib didengar dan dipatuhi, agar supaya bersatunya kalimat dan terlaksananya hukum-hukumnya khalifah itu, dan tiadalah terdapat khilaaf di antara para ulama (ummat Islam) dalam wajibnya mengangkat dan membentuk “Khalifah” atau “Imam” itu. Demikianlah juga pra Imam Mujtahidin bersepakat tentang wajibnya itu, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, seorang Mu’tazilah, sesuai dengan namanya Asham, yakni tuli dari syari’at. Para ulama dalam mewajibkannya itu, berpokok pada dalil-dalil:




Artinya:
”Hai Dawud, kami jadikan kamu khalifah di bumi.”



Artinya:
“Allah berjanji terhadap orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bahwa ia akan menjadikan khalifah kepada mereka di bumi.” (Q.S. An-Nuur:55).

Dan banyak lagi ayat semacam itu.
Telah ijma para sahabat dalam mendahulukan mengangkat Abu Bakar Shidiq sebagai khalifah yang pertama, setelah sedikit terjadi perselisihan antara Muhajirin dan Anshar, sehingga Anshar mengatakan “Minna Amirun waminkum Amir” = kamipun punya pemimpin sebagai kamu punya pemimpin.
Tetapi syukurlah api perpecahan ini tiada lama dapat dipadamkan oleh Abu Bakar dan Umar beserta Muhajirin lainnya.
Sahabat Anshar dapatlah diberi pengertian, bahwa bangsa Arab pada umumnya tidaklah mereka beragama Islam kecuali sebab suku Quraisy itulah.
Jika sekiranya membentuk imamah itu tidak wajib dalam Islam, baik untuk suku Quraisy atau lainnya, niscaya tidaklah terjadi pertikaian seperti yang berlaku bagi para sahabat di Madinah pada waktu itu. Kemudian pada waktu Abu Bakar sebentar lagi akan meninggal dunia beliau menunjuk dan mencalonkan Umar untuk menjadi khalifah. Seorangpun tak ada yang menolak dan membantahnya atas tunjukan Abu Bakar itu.
Demikian ini menjadilah suatu dalil atas wajibnya mendirikan imamah dan khilafah, sehingga ini menjadi suatu rukun dari beberapa rukun agama Islam dan ketertiban ummat Muslimin. Walhamdulillaahi rabbil alamin. Demikianlah Imam Kurtubi.
Dengan ini jelaslah, bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk mendirikan (mengangkat) seorang khalifah atau imam dan imamah untuk menertibkan segala sesuatu bagi kepentingan bersama dan melaksanakan hukum Allah di bumi ini. Pendapat ini tak ada yang menyalahinya, kecuali Abu Bakar al- Azham seorang mu’tazilah dan Dlirrar, juga Hisyam al-Kurtubi.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa wajibnya pembentukan imamah al-kubra ini atas jalan syara, berdalilkan ayat-ayat Quran sebagai tersebut di atas itu tadi. Juga dengan ijmanya para sahabat sebagai juga telah tadi diterangkan di atas. Dan bahwasanya terkadang Allah SWT menertibkan sesuatau itu dengan sebab shultan (pemerintahan) yang tidak menertibkannya dengan Quran. “Inna Allaha qad jaz’u bisulihan ma-la jazi-u bil Quran.”
Firman Allah SWT:


Artinya:
“Demi sesungguhnya kami telah mengutus utusan-utusan kami dengan alasan-alasan yang memutuskan dan kami turunkan beserta mereka kitab-kitab dan keadilan, agar supaya manusia menegakan keadilan. Dan kami keluarkan besi dari bumi, padanya kekuatan yang keras dan manfaat bagi manusia.” (Al-Hadid:25).

Ayat ini menjadi syarat, bahwa boleh menggunakan besi (pedang, senapan, dan sebagainya) manakala ditentang setelah mendirikan hujjah. Artinya, wajib menegakan pemerintahan guna menegkan keadilan bagi manusia. Manakala pemerintahan itu ditentangnya, wajiblah penentang-penentang itu dihalau walau dengan besi sekalipun.
Kaum Syiah Imamiyah berpendapat, bahwa wajiblah mendirikan imamah itu, atas jalan akal tidak atas jalan syara.
Hasan Bashri, Al-Jahizh dan Al-Balkhij berpendapat, bahwa wajibnya mendirikan imamah itu, atas jalan syara dan akal.
Pendapat Syiah Imamah itu, adalah suatu pendapat yang dibikin-bikin saja, untuk mengelakan pilihannya kepada keangkatannya khalifah Abu Bakar dan Umar r.a. dan sahabat-sahabat sebangsanya. Pula untuk membikin-bikin alasan dalam mereka menetapkan imam-imam mereka yang berjumlah 12 itu, beserta menunggu-nunggunya mereka kepada seorang imam di akhir zaman yang ma’shum itu (dalam I’tiqadnya). Tetapi ini semuanya hanya khurafat mereka saja dan kebohongan yang tak ada asal sumbernya.
Menurut keterangan pengarang “Awa-iil Bayan” jika ingin lebih mentahkikkan akan kebohongan-kebohongan kaum Syiah ini, hendaqklah kita dapat membaca kitab “Minhajjus sunnah al-nabawiyah fi naqli kalamiss Syi’ah,” karangan al-Wahid al-Syekh Taqiyyuddin abbil Abbas Ibnu Taimiyah (rahmatullah alaih).
SYAHNYA IMAM



Imam atau khalifah menjadi syah dengan salah suatu perkara dibawah ini:
a. Nash (isyarat) dari Nabi SAW
Setengah ulama bependapat, bahwa keangkatan syaidina Abu Bakar sebagai khalifah, adalah dari wajah ini (nash). Karena Nabi menunjuk dia dalam mengimami sembahyang.
b. Atas persetujuan (ittifaq) ahlul halli wal aqdi (atas baiatnya).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa dengan jalan (wajah) inilah S. Abu Bakar itu diangkat menjadi khalifah. Karena ijma’nya ahlul-halli wal aqdi dari sahabat muhajirin dan anshar atas membai’at S. Abu Bakar itu, sebentar setelah mereka itu berselisih. Tidaklah dii’tibar, karena sebagian mereka tidak menyetujuinya, seperti telah terjadi dari Saad bin Ubadah tiada menyetujui akan pengangkatan khalifah Abu Bakar itu, sehingga ia berkata “Wallahi ma nuba-ji’u Aba bakar qath.”
c. Ditunjuk (diwasiatkan) oleh khalifah (imam) yang sebelumnya, seperti terjadi penunjukkan Abu Bakar bagi Umar r.a. dalam hal ini, setelah Abu Bakar r.a. wafat, segera Umar r.a. bermusyawarah dengan enam orang sahabat besar-besar dan mereka ridho atas penunjukkan Abu Bakar itu.
d. Dengan kekuatan senjata (hasil coup de tat) sehingga keadaan menjadi tenang, tentram dan aman.
Kata setengah ulama, jalan inilah seperti yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dari tangan Abdullah bin Zuber yang dibunuh di Mekkah oleh Al-Hajjaj bin Yusuf. Demikian keterangan Ibnu Qudomah dalam Al-Mughni.

Tetapi ada juga setengah ulama berpendapat syah menjadi imam, meskipun hanya dibai’at oleh satu orang saja. Ulama ini beralasan dengan pembai’atan Umar terhadap Abu Bakar di Saqifah bani Sa’idah. Imam Kurtubi condong dengan pendapat ini. Imam Haramain tidak sependapat dengan ini, tetapi beliau memandang bahwa pembai’atan terhadap Abu Bakar di Saqifah bani Saidah itu dilakukan oleh orang banyak (ijma).
Ada kaol utama yang menyatakan, pembai’atan itu harus dilakukan oleh orang empat. Inilah pendapat para ulama Ahli Sunnah wal Jamaah dalam ketentuan kesyahannya pengangkatannya imam atau khalifah dan pembentukan suatu pemerintahan.
Kemudian Syekh Abil Abbas Taqiyyuddin mengambil kesimpulan dalam Al-Minhaj.
“Bahwasanya syahnya seorang imam itu, yaitu dengan dibai’atnya oleh orang (orang-orang) yang menjadi mampu kekuasaannya dan dipandang bisa menjlanakan imamahnya. Sebab seseorang yang tidak mempunyai kecakapan, bukannya orang yang imam.”
SYARAT MENJADI IMAM/KHALIFAH



Syarat-syarat menjadi imam atau khalifah:
1. Harus bangsa Arab suku Quraisy; dan keturunan Fihr bin Malik. Kata satu kaol keturunan Nadlar bin Kinanah.
Imam Kurtubi dalam mentafsirkan ayat ini, dalam menyebut syarat-syarat imam; yang pertama dia mensyaratkan harus dari ahli Quraisy, bersandarkan dengan hadits Nabi “Al-aimah min Quraisy”.
Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa Kurtubi mensyaratkan, bahwa Imam Azham harus “Ahli Quraisy” itu lemah (dlaif), sebab terdapat beberapa hadits yang shahih, yang menyebutkan bahwa Quraisy itu hanya harus didahulukan dari selainnya. Hadits ini diikuti oleh Jumhur para ulama.
Yaitu suatu hadits yang diikhrajkan oleh imam Ahmad dari Umar dengan sanad beberapa rijal yang stiqaat (yang dapat dipercaya), bahwa Umar berkata:


Artinya:
“Jika sampai ajalku Abu Ubaidah masih hidup tentu aku mintakan ia menjadi khalifah dan selanjutnya. Maka jika sampai ajalku dan Abu Ubaidah sudah mati, niscaya aku mintakan menjadi khalifah akan Muadz bin Jabbal.”

Telah maklum bagi kita, bahwa Muadz bin Jabbal ini, bukanlah seorang suku Quraisy, tetapi Sayidina Umar akan memilihnya menjadi khalifah. Ini menunjukan, bahwa seorang Quraisy itu tidaklah mutlak menjadi syarat untuk menjadi khalifah/imam azham.
Meskipun seorang Quraisy menjadi syarat itu hak tetapi ini hanyalah harus diutamakan saja. Artinya, seorang Quraisy itu haruslah didahulukan untuk dipilih menjadi imam/khalifah, jikalau ia menegakan agama dan taat kepada Allah dan Rasulnya. Maka apabila tiada demikian, meskipun seorang Quraisy tapi tidak akan menegakan agama adalah lebih baik dipilih selain orang Quraisy yang menegakan agama dan taat kepada Allah dan Rasulnya dan akan mentanfizkan segala perintah syara.
Keterangan ini berdasarkan juga kepada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya:



Artinya:
”Menceritakan kepada kami Abul Yaman menghabarkan kepada kami Syu’eb dari Zuhri, berkata: “Adalah Muhammad bin Jabir bin Muthin berceritra bahwa sampai berita kepada Mu’awiyah yang pada waktu itu sedang berada utusan- utusan Quraisy, bahwa Abdullah bin Amr menerangkan, bahwa negeri ini di akhir zaman akan dikuasai oleh suku Kathan. Marahlah ia (Mu’awiyah), kemudian ia berdiri seraya memuji-muji Allah, kemudian ia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya telah sampai kabar kepadaku bahwa banyak laki-laki dari pada kamu yang suka bicara dengan yang tiada di dalam kitab Allah dan tiada membekaskan dari Rasulullah SAW dan mereka itu orang-orang bodoh dari pada kamu. Jauhkanlah olehmu lamunan yang tidak tentu yang hanya menyesatkan saja. Karena aku mendengar dari Rasulullah SAW berkata: ”Sesungguhnya urusan ini (pemerintahan) adalah ada pada orang Quraisy. Tiada memusuhi seseorang (kepada orang Quraisy dalam pemerintahan) kecuali akan dijatuhkan oleh Allah selama mereka (Quraisy) menegakkan agama.”

Dalam hadits ini, diterangkan dengan kata-kata “maaqamuddina” artinya selama mereka Quraisy itu menegakkan agama. Apabila tidak menegakkan agama, maka diserahkan kepada selain orang Quraisy asal yang menegakkan agama. Dan itulah yang utama.
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari menerangkan sebagai berikut: Menurut keterangan Muhammad bin Ishak dalam kitabnya “Al-kabir”, bahwa dalam hadits Abu Bakar pun ada terdapat yang menyamai hadits Mu’awiyah ini, yaitu pada ketika Abu Bakar memadamkan api pertikaian antara Anshar dengan Muhajirin di Syaqifah bani Sa’idah, ia berkata:



Artinya:
”Dan urusan ini (khalifah) ada di tangan Quraisy, selama mereka taat kepada Allah dan selama beristiqamah atas urusannya”.

2. Harus seorang laki-laki.
Dalam hal ini para ulama tiada berselisih. Dalam shaheh Bukhari tersebut suatu hadits dari Abi Bakrah, bahwa negeri Persi telah mengangkat anak perempuan Kisrah menjadi raja disana, beliau bersabda:



Artinya:
”Tidaklah berbahagia sesuatu kaum yang mengangat pimpinannya seorang perempuan untuk urusan mereka”.

3. Harus seorang yang merdeka (bukan budak).
Dalam hal ini juga para ulama sependapat. Sekarang jadi pertanyaan bagi kita, bagaimana maksud hadits seperti disabdakan Nabi:


Artinya:
”Wajib kamu taat jika kamu diperintah oleh seorang budak bangsa Habsyi, meskipun kepalanya seperti kismis”.

Mengenai hadits ini, Imam Khatthabi telah mengadakan pembahasan sebagai jawaban pertanyaan di atas itu tadi, cocok dengan keterangan Ibnu Hajjar:
“Ini adalah hanya sebagai suatu contoh saja, yang terkadang dalam memberikan sesuatu contoh itu dengan suatu hal yang tidak mungkin terjadi, atau meskipun yang oleh syara tidak diizinkan. Seolah-olah dengan perkataan “Andaikata seorang budak bangsa Habsyi sekalipun, jika diangkat menjadi khalifah (imam) wajib juga ditaati.”

Perkataan andaikata ini, suatu lamunan saja, sebab seorang budak itu, tidak diizinkan oleh syara bisa menjadi seorang khalifah /imam. Serupa dengan ini, seperti firman Allah:



Artinya:
“Katakanlah hai Muhammad, andaikata Tuhan itu mempunyai anak, maka akulah yang terdahulu menyembahnya.”

Kita semua maklum bahwa mustahil Tuhan itu mempunyai anak. Juga firman Allah :


Artinya:
“Jika sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan selain dari Allah, niscaya hancurlah keduanya.”

Keterangan di atas ini adalah atas wajah yang pertama. Wajah yang kedua, seorang budak itu tidak diizinkan syara untuk menjadi Imam Azham, tetapi kalau menjadi suatu imam yang di bawah perintah Imam Azham misalnya imam di suatu daerah tingkat bawahan itu dimungkinkan oleh syara (boleh). Maka jika telah demikian, maka wajiblah semua perintahnya ditaati dan didengar.
Seorang budak (abid) tidak diizinkan oleh syara menjadi Imam Azham (kepala pemerintahan pusat). Ini artinya dalam waktu dan keadaan akhtiar (normal). Apabila terjadi, dengan kekuatan senjata atau tentara, si budak (abid) itu dapat merebut kekuasaan sehingga ia dapat menempatkan dirinya menjadi Imam Azham, maka ketika itu wajib ditaati untuk menghindarkan fitnah dan menjauhkan pertumpahan darah, selama ia tidak memerintahkan maksiat kepada ummat.

4. Harus sudah baligh.
Tidak syah mengangkat imam sebelum aqil baligh. Karena tidak akan mempunyai kesanggupan sebelum baligh memegang jabatan imam itu.

5. Harus berakal (akil)
Tiada syah mengangkat seorang imam yang gila.

6. Harus adil
Tiada syah mengangkat imam yang fasiq. Firman Allah:


Artinya:
“Bahwa aku jadikan kamu (Ibrahim) imam bagi manusia. Kata Ibrahim: “Juga anak cucuku.” Jawab Allah: “Tidak akan sampai janjiku bagi orang-orang zhalim.” (Al-Baqarah:124).

Dalam sejarah adil ini, termasuk Islam. Keadilan tidak akan terdapat selain pada seorang Muslim. Seorang Muslimpun tidak akan berlaku adil, jika ia fasiq (banyak kejahatan).

7. Harus cukup pengetahuan
Sekira-kira ia dapat menjadi seorang qadli bagi kaum Muslimin.

8. Harus seorang yang selamat (normal) anggota tubhnya
Tidak cacat anggota tubuhnya seperti buta, lumpuh dll. Syarat no. 7 dan no. 8 ini, berdalil kepada firman Allah dalam menerangkan sifat-sifat Thalut:


Artinya:
“Bahwa Allah memilihnya (Thalut) atas kamu sekalian dan menambahnya kelebihan pada ilmu dan badannya.” (Al-Baqarah:247).

9. Harus bijaksana mempunyai pertimbangan dan pengertian (ilmu) yang luas dalam segala bidang kenegaraan dan kemasyarakatan.
10. Tiada lemah dalam menegakan hukum. Berani menjalankan hudud.

Para sahabat sepakat berpendapat, bahwa seorang imam itu harus mempunyai sifat-sifat demikian. Begitulah kata Imam Kurtubi.
BEBERAPA MASALAH



1. Apabila Imam Azham menjadi fasiq atau membawa kepada bid’ah, bolehkah keluar daripadanya?

Kata sebagian ulama, boleh. Tapi kata sebagian ulama lainnya tidak boleh. Kecuali kalau imam itu melakukan kekufuran dangan terang. Imam Bukhari dan Muslim, masing-masing telah mengikhrajkan satu hadits dalam kedua shahehnya dari Ubadah bin Shamit r.a. ia berkata:



Artinya:
“Kami telah memberikan bai’at kepada Rasulullah SAW atas wajib mendengar dan patuh (setia) di waktu kami lapang, dan di waktu sempit, di waktu sukar, dan di waktu senggang dan bahwa kami tidak akan memecat kekuasaan dari ahlinya. Rasul Allah berkata : “Kecuali bahwa kamu melihat kekufuran terang-terangan yang oleh kamu dapat dipertanggungjawabkan dengan keterangan syara.”

Dalam Shaheh Muslim dari Auf bin Malik Al-Asyja’ r.a. ia berkata “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:



Artinya:
“Sebaik-baik imam kamu itu, mereka yang mencintai kamu dan kamu mencintai mereka dan kamu suka mendatangi mereka, merekapun suka mendatangimu. Dan sejahat-jahat imam kamu itu, yaitu mereka yang membenci kamu dan kamupun membenci mereka, mereka melaknat kamu dan kamupun melaknatnya. Katanya kami berkata: Ya Rasulullah. Apakah kami tidak perlu melepas diri dari mereka pada waktu sedemikian itu?” jawabnya : “Jangan, selama mereka masih menegakan sembahyang. Ketahuilah, siapa yang berada di bawah kekuasaan pejabat pemerintahan, maka ia melihatnya berbuat maksiat, hendaklah ia membencinya perbuatannya itu, tapi janganlah melepaskan diri dari mentaatinya.”

Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda:




Artinya:
“Siapa yang melihat amirnya memperbuat sesuatu yang membencikan, hendaklah ia berlaku sabar, karena tiada seseorang yang memisahkan diri dari jamaah (kesatuan) meskipun hanya sejengkal kemudian ia mati, kecuali akan ia mati jahiliyah.”

Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa ia mendengar dari Rasulullah SAW:



Artinya:
“Siapa orang yang memisahkan diri dari taat, maka bertemu dengan Allah pada hari kiamat tiada mempunyai hujjah baginya. Dan barangsiapa yang mati dan belum mempunyai bai’at maka matinya mati jahiliyah.”

Hadits-hadits semacam ini banyak. Dan inilah nashnya yang menunjukkan bahwa dilarang melepaskan diri dari sesuatu pemerintahan atau imam, meskipun ia berbuat hal-hal yang dilarang syara, kecuali kalau berbuat kekufuran yang terang.
Dinasti Ma’mun Mu’tashim billah dan Wastiq billah dahulu telah mengajak kepada suatu bid’ah, yaitu harus mengi’tiqadkan, bahwa Quran itu makhluk. Dan karenanya, banyaklah para ulama yang dibunuh, dipukul, didera, ditahan (dipenjarakan) dan diperhina dengan bermacam-macam cara, karena mereka menolak ajakannya itu. Sehingga berjalan dan berlakulah keadaan semacam itu dalam puluhan tahun lamanya, sampai pemerintahan beralih ke tangan Khalifah Al-Mutawakkil. Baru sejak itulah, hapusnya fitnah dan mihnah serta diperintahkannya penyebaran sunnah kembali dengan seluas-luasnya.
Sebagai diketahui, bahwa telah ijma kaum Muslimin, bahwa tidak diwajibkan (dilarang) taat kepada imam atau lainnya dalam maksiat kepada Allah. Sebagai suatu hadits dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Artinya:
“Mendengar dan patuh wajib atas seorang Muslim di waktu suka atau duka selama tiada diperintahkan dengan maksiat maka jika diperintahkan dengan maksiat, janganlah mendengar dan mematuhinya.”

Dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW ia mengatakan pada suatu syariah yang pemimpinannya memerintahkan masuk ke dalam api:


Artinya:
“Jika sekiranya mereka masuk ke dalamnya, mereka tak akan dapat keluar lagi dari padanya selama-lamanya. Bahwasanya taat itu dalam yang baik.”

2. Bolehkan mengangkat dua orang khalifah dalam satu negara?

a. Karamiyah berpendapat, boleh dengan mutlak.
Maka berhujjah dengan berdirinya khalifah-khalifah Ali dan Muawiyah kedua imam ini wajib ditaati oleh masing-masing rakyat di wilayahnya. Karena keduanya masing-masing berpendirian lebih berhak yang satu dari yang lain. Alasan yang kedua bahwa dahulu terjadi diba’ast (diutus) dua orang Nabi dalam satu waktu dan tidak saling membatalkan nubuwwat yang satu akan yang lain.
b. Jumhurul Ulama dari kaum Muslimin tiada membolehkan ta’addud (berbilang) Imam A’zham, wajib satu imam saja. Bereka berdalilkan, hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah SAW:



Artinya:
“Apabila dibai’at du aorang khalifah, bunuhlah yang lain.” (H.R. Muslim)

Juga dari Arfajah r.a. ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:



Artinya:
“Seseorang yang datang padamu sedang kamu dalam persatuan dengan seorang Imam. Dia datang bermaksud akan merusak persatuan atau memecah jamaahmu, maka bunuhlah orang itu.” (H.R. Muslim).

Jumhur Ulama membatalkan akan pendapat Karamiyah itu. Sebab Muawiyah itu katanya pada waktu ia menyatakan melepaskan diri Ali, ia tidak menyatakan sebagai imam, tetapi hanya mengaku sebagai wali negeri Syam saja. Sebagai mulanya ia memang menjabat sebagai wali (gubernur) negeri Syam tersebut. Pada waktu itu, ijma semua ummat, bahwa yang diakui sebagai imam itu hanyalah salah satunya saja tidaklah keduanya. Dan bagaimanapun juga, di suatu negeri terbentuk dua orang imam, pastilah akan menimbulkan bencana dan fitnah.
c. Pendapat ketiga, Tafsil. Tidak dibolehkan (dilarang) mengangkat dua orang imam dalam satu negeri. Tetapi dibolehkan dalam negeri-negeri yang berlainan. Seperti khalifah Bani Abbas di Irak, Fatimiyah di Mesir dan Amawiyah di maghrabi (Maroko).
3. Bolehkan seorang imam turun dari tahtanya (melepaskan diri) atas kemauan sendiri?

Kata setengah ulama, boleh. Imam Kurtubi berkata: “Dalilnya, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. pada suatu waktu ia berkata:


Artinya:
“Lepaskan saja, lepaskan saja (dari khalifahan).”

Kemudian dijawab oleh para sahabat lainnya:




Artinya:
“Kami tidak akan melepaskan engkau, dan kami tidak akan meminta supaya engkau melepaskan diri. Rasulullah SAW telah mendahulukan engkau untuk agama kami, siapakah yang berani membelakangkan engkau. Rasulullah SAW ridho kepadamu untuk agama kami, apakah kami tidak harus menyukaimu.”

Selanjutnya, Imam Kurtubi berkata: “Jika kiranya melepaskan diri dari kekhilafahan itu dilarang oleh syara, pada ketika Abu Bakar mengatakan “Lepaskan aku” tentu oleh para sahabat dibantahnya dengan keras dan tentu dikatakan : “Engkau tidak boleh (dilarang) berkata demikian.”
Tetapi sebagian ulama lagi mengatakan dan berpendapat bahwa bagi seorang imam tidak dibolehkan melepaskan diri dari jabatannya, karena ia berkewajiban mengurus dan mengatur urusan dan hak-hak kaum Muslimin. Tiadalah dibolehkan kepadanya untuk meninggalkan dari kewajibannya.
Tetapi sekiranya yang lebih tepat, yaitu tiada berselisih para ulama tentang kebolehannya seorang imam mengundurkan diri dari keimamannya (jabatannya) itu, apabila ia sendiri melihat tanda-tanda akan terjadinya suatu fitnah jika sekiranya ia tidak mengundurkan diri. Atau ia sudah merasa lemah, tak ada lagi kesanggupan dan kemampuan untuk melanjutkan kewajibannya sebagai imam.
Karena itulah sepakatnya kaum Muslimin, memuji atas sikap S. Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucunda Rasulullah SAW dalam pengunduran dirinya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah r.a. demi untuk kesatuan kaum Muslimin dan menghindarkan dari fitnah yang lebih besar lagi dan pertumpahan darah yang lebih deras.

4. Wajibkah adanya isyhad (kesaksian) atas terjadinya (dibentuknya) imam itu?

Setengah ulama berpendapat, bahwa isyhad, (kesaksian) itu tidak wajib. Sebab tiadalah terdapat suatu dalil naqal-pun.
Setengah ulama lainnya, mengatakan wajib isyhad, sebab menjaga jangan sampai terjadi pengakuan menjadi imam dengan rahasia, yang karenanya akan menimbulkan perpecahan dan fitnah.
Golongan yang menyatakan wajib isyhad itu, mereka mengatakan dengan sekurang-kurangnya dua orang saksi. Beda dengan Al-Jaba’I, ia mensyaratkan dengan empat orang saksi ditambah dengan aqid dan ma’qudah. Mereka beristimbath dengan terjadinya pengangkatan khalifah terhadap Utsman r.a., yaitu adanya permusyawaratan enam orang yang terdiri dari Abdurrahman bin Auf sebagai aqid, Utsman sebagai ma’qudah dan empat orang lainnya sebagai saksi-saksi.
Kurtubi dan Ibnu Katsir berpendapat, istimbath Al-Jana’I sedemikian itu, adalah lemah.
KESIMPULAN DARI BEBERAPA KETERANGAN


Sebelum sampai kepada akhir dari uraian buku kecil ini, perlu kiranya terlebih dahulu diambil suatu kesimpulan, bahwa pengertian “Ahli Sunnah wal Jamaah” yang menjadi uraian disini dengan tiga pengertian, yaitu:
1. Ahli Sunnah wal Jamaah dalam aqidah (kepercayaan)
2. Ahli Sunnah wal Jamaah dalam kenegaraan
3. Ahli Sunnah wal Jamaah dalam amaliyah dan hukum
Adapun pengertian Ahli Sunnah wal Jamaah yang ketiga ini, belumlah dimulai uraiannya. Insya Allah akan diterangkan lebih lanjut dalam buku ini bagian ke-2.
Sebelum sampai kepada uraiannya yang ketiga itu, perlulah rasanya kami kemukakan fikiran-fikiran mengenai persoalan yang kami anggap penting bagi kita kaum Muslimin.
1. Bagaimana pendirian Ahli Sunnah wal Jamaah mengenai perkataan yang terdapat dalam Quran atau hadits yang disandarkan kepada Tuhan seperti:


Artinya:
“Tuhan berada di atas ‘Arasy.”


Artinya:
“Tangan Tuhan beserta orang banyak.”

Dan sebagainnya.

Untuk mengartikan perkataan (kata-kata) ini, ditempuh dengan dua cara:
a. Dengan cara Ulama Salaf (ulama angkatan pertama)
b. Dengan cara Ulama Khalaf (ulama angkatan kedua)
Cara ulama Salaf yaitu para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in para mujtahidin dan para muhaditsin, mereka menyerahkan kata-kata tersebut kepada Tuhan. Mereka tidak mentakwilkan kata-kata itu dengan prinsip atau keyakinan, bahwa Tuhan itu maha suci dari sesuatu yang bersamaan dengan makhluk “Laisa kamitslihi syaiun.”
Mereka berpendapat, bahwa takwil itu, adalah “amrun mazhnun” suatu hal, hasil dari sangkaan (zhon), sedang menetapkan sifat Tuhan dengan zhon (sangkaan) itu tidak boleh. Sekiranya kita katanya mentakwilkan suatu ayat (mutasyabihat) yang kebetulan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan (nafsul amri) sendiri, kita akan sampai kepada zaigh (menyimpangkan), sedang kita haruslah berhati-hati jangan sampai jatuh kepada zaigh itu. Kita percaya dan beriman akan zahirnya dan membenarkan akan bathinnya. Kita serahkan saja kepada Allah SWT. Maksud dari kalimat (kata-kata) tersebut itu. Jiga kita toh tidak ditaklif untuk mengetahuinya dan tidak menjadi suatu syarat atau rukun iman. Mereka berpegang teguh kepada ayat:



Artinya:
“Dialah Tuhan yang menurunkan atas kamu Quran, dan padanya ayat-ayat yang jelas menjadi pokok dalam mengambil hukum dan ayat-ayat yang samar (yang tidak dapat dipahami maknanya). Maka adapun orang yang hatinya menyimpangdari haq, mereka akan mengikuti ayat-ayat yang samar dari padanya karena akan mencari-cari fitnah dan membikin takwil (tafsiran) sendiri. Dan tidak ada yang mengetahui akan takwilnya kecuali Allah saja. Dan orang-orang yang rasich (mahir) dalam ilmu, mereka akan berkata: “Kami iman dengannya (ayat-ayat yang samar meski tidak mengetahui maknanya sekalipun). Semuanya itu (baik ayat muhkamat dan ayat muttasyabihat) dari Tuhan kami. Dan tiada akan mendapat peringatan melainkan orang cerdik pandai.” (Al-Imran:7).

Mereka berpegang teguh di atas ayat ini, sudah tentu tiada sepaham dengan Quran yang mewaqafkan (qiraatnya) dalam kalimat “warra sikhu na fil ilmi”.
Pendirian Salaf ini juga diterangkan di dalam “Al Milal wan Nihal”:




Artinya:
“Adapun Imam Ahmad bin Hambal dan Daud bin Ali Al-Ash-Fihani (Al-Zhabiriy) dan banyak lagi para imam Salaf, mereka melalui atas perjalanan Salaf yang mendahului mereka dari ahli hadits, seperti Malik bin Annas dan Muqatil bin Sulaeman. Mereka melalui jalan yang selamat, mereka berkata: “Kami percaya saja apa yang didatangkan Kitab dan Sunnah dan kami tidak perdulikan takwil setelah kami ketahui dengan pasti, bahwa Allah SWT itu tidak menyerupai sesuatu dari makhluk ini, dan semua yang terbayang dalam cita-cita (hati) itu pasti bersalahan dengan Tuhan dan sesuatu yang ditakdirkan oleh-Nya.”

Demikianlah pendapat dan pendirian Ulama Salaf mengenai kata-kata yang terdapat dalam Quran atau hadits yang disandarkan kepada Tuhan. Kemudian pendapat dan pendirian ini, menjadi pendapat dan pendiriannya Ibnu Taimiyah dan para ulama yang sepaham dengannya.
Dan adapun cara Ulama Khalaf, yaitu dengan cara mentakwilkan pengertian kata-kata tersebut dengan arti yang sesuai dan layak dengan keagungan Tuhan dan jauh dari perserupaan dengan makhluk mukhalafatul lil hawaditsi.
Misalnua firman Allah:



Artinya:
“Tuhan berada di atas Arasy.”

Cara Ulama Salaf mengartikan, bahwa arti “di atas” itu, ya di atas, tetapi yang sesuai dengan keagungan Tuhan, artinya tidak di atas seperti di atasnya makhluk di atas makhluk. Sedang Ulama Khalaf mengartikan bahwa arti “di atas” itu, ialah keluhuran dan keagungan Tuhan.
Misalnya pula hadits Nabi:



Artinya:
“Tangan Allah beserta orang banyak.”

Ulama Salaf mengartikan “tangan“ itu, ya tangan, tetapi tidak seperti tangan makhluk. mukhalafatul lil hawaditsi.
Sedang Ulama Khalaf mengartikan “tangan” itu, ditakwilkan dengan kekuatan dan pertolongan. Jadi mereka maknakan “Pertolongan Allah beserta orang banyak.”

2. Diatas banyak diuraikan, bahwa terjadinya pertikaian politik antara Khalifah Ali r.a dengan Muawiyah r.a. terjadilah pertempuran dan peperangan antara pasukan keduanya, yang tidak sedikit membawa korban.

Tidakkah mereka itu termasuk kepada hadits:



Artinya:
“Dari Abi Bakrah ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kedua Muslim bertemu dengan pedangnya, maka yang membunuh dan dibunuh masuk neraka.” (H.R. Bukhari).

Jawabnya: “tidak.” Sebab para sahabat itu bertempur bukan dengan hawa nafsu, tapi dengan berijtihad, seperti telah diterangkan dan diuraikan di atas.
Sayidina Ali didesak oleh sahabat-sahabat lain untuk sudi menerima menjadi khalifah menggantikan Sayidina Utsman r.a. yang telah menggeletak terbunuh itu. Para sahabat mendesak Ali dengan berpendirian, janganlah pemerintahan ketika itu menjadi vacuum (kosong) dari kekuasaan, sedang pada ketika itu, keadaan dalam kegoncangan yang sangat dan kalang kabut, fitnah berjangkit menjadi-jadi. Jika sekiranya pemerintahan tidak segera dinormalisier, kekacauan akan bertambah-tambah. Sedang menjaga dan membendung fitnah dan kekacauan adalah wajib syar’i.



Artinya:
“Dan janganlah kamu jatuhkan dirimu akan kerusakan.” (Q.S. Al-Baqarah:195).

Demikianlah juga Muawiyah, Amru bin Ash, Aisyah dan lainnya radiallahu anhum, mereka bertempur dan berperang itu juga dengan ijtihad.
Mereka berpendirian, mengapa Ali lekas-lekas diangkat menjadi khalifah. Tidakkah seharusnya pembunuh-pembunuh Utsman itu ditangkap lebih dahulu. Selesaikan dulu kekacauan dan fitnah-fitnah yang menjadi-jadi itu. Baharulah diadakan pengangkatan khalifah penggantinya.
Bukankah juga yang harus menggantikan khalifah itu, seharusnya dari antara wali (ahli waris) si terbunuh sendiri? Harus diangkat dari Bani Umayah, karena Utsman itu keturunan Bani Umayah sedang Ali keturunan Bani Hasyim. Dan firman Allah, menentukan seharusnya yang menggantikan itu adalah ahli waris si terbunuh itu, yaitu:



Artinya:
”Dan barangsiapa orang yang mati dianiaya, maka sesungguhnya kami jadikan walinya berkuasa (atas si pembunuh), maka janganlah ia berlebihan dalam membunuh, sesungguhnya ia adalah orang yang ditolong.” (Al-Isra:33).

Demikianlah ke semua golongan itu, baik Ali atau Muawiyah dan lainnya, mereka itu masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Mereka sama-sama berijtihad dan sama-sama mempunyai hujjah. Jadi sama-sama berlaku dalam hak dan kebenaran.
Syekh Abdul Qadir Jaelani pernah ditanya muridnya: ”Ya tuanku katanya bagaimana hukumnya, pertempuran antara bala tentara Ali dan Muawiyah, tidakkah mereka itu termasuk kepada ”Al-qaatil walmaqtul finnaar.” beliau menjawab: ”Wallahi, abi yang mawur dari kaki kudanya pasukan Ali dan Muawiyah itu, adalah lebih utama dari bacaan akan ”Subhaanallahi walhamdulillaahi walaa ilaaha illallaahi Allah hu akbar.”
Sahibul Zubad berkata:

Artinya:
”Dan apa saja yang berlaku antara para sahabat, sebaiknya kita diam dan kita tetapkan ijtihad itu ada pahalanya.”
Nasihat Sahibul Zubad ini, sangat baik sekali. Sepatutnya kita ummat Islam mengikuti nasihat yang baik ini. Artinya kita selaku orang Muslim hendaknya mempunyai sifat dan tabi’at baik sangka (husnuzhon) jangan suuzhon (buruk sangka). Bukan saja bagi para sahabat, bagi sesama mukmin dan muslim pun kita sewajibnya husnuzhon. Kalau kita melihat kejahatan atau keburukan seorang mukmin, tutuplah keburukannya itu. Jika bisa takwilkan kejahatan seorang mukmin kepada suatu kebaikan. Apabila tak mungkin ditakwilkan lebih baik diam. Janganlah sekali-kali kita menerangkan, atau melahirkan keburukan seseorang, meskipun memang benar ia buruk. Apalagi jika kita sengaja memburuk-burukan seorang mukmin itu, padahal ia tidak buruk. Hanya sengaja dibikin-bikin supaya orang itu menjadi buruk. Orang yang tukang memburuk-burukan seorang mukmin itu, busuk benar orang itu namanya di pandangan manusia. Akan hilanglah kehormatan dan keperibadian orang itu. Ia akan dibukakan Allah keaiban dan keburukannya, baik nanti di hari kiamat atau semasih ia hidup di dunia.
Sabda Rasulullah SAW:


Artinya:
”Wajib kamu baik sangka kepada Allah dan mukminin.”

Baik sangka kepada seorang mukmin wajib hukumnya, apalagi kepada seorang ulama, manusia yang dititipi ilmu oleh Allah SWT. Meskipun ulama itu bukaqn menjadi muqallad alaihnya, bukan ia tempat bertaqlid kepadanya. Bukan ia tempat bermazhab kepadanya. Tidak menjadi imam mazhabnya, tapi imam dari mazhab yang lain.
Para ulama itu, manusia-manusia yang diangkat derajatnya oleh Allah SWT manusia yang dititipi ilmu oleh-Nya. Tidaklah semua manusia dititipi ilmu agama Islam, kecuali yang dimuliakan oleh Allah SWT. Janganlah mereka itu dihinakan, apalagi dikafirkan. Janganlah sekali-kali kita berani kafir mengkafirkan antara sesama Islam, meskipun mazhabnya lain. Meskipun dalam furu’ kita berlainan. Kita harus mengerti, bahwa furu’ dan fiqih itu ”bahrun la sa hi la lahu.”
Apalagi mengkafirkan kepada ulama. Ma’azallah!
Pernah ada orang yang membikin onar, membikin sensasionil, ia membikin-bikin (iftira-an alal kadzib) ia berkata:


Artinya:
”Barangsiapa yang memandang kafir kepada Wahabi itu mukmin dan barangsipa yang tidak memandang kafir, maka ia kafir.”

Masya Allah, Tabaarakallah, na’udzubillah.
Kami harapkan, berhati-hatilah kita, janganlah kita ini menjadi umat Islam yang selalu cela-mencela, gunjing-menggunjing. Kalau-kalau mereka itu lebih baik dari pada kita sendiri.
Bukankah, kaum yang dikatakan Wahabi itu, adalah ummat Islam yang berada di bawah pemerintahan Saudi Arabia sekarang ini?
Mereka ummat Islam yang sungguh-sungguh beribadat kepada Allah SWT itu? Yang mereka ummat Islam, ummat Nabi Muhammad SAW dan dari antara mereka itu terdiri dari beribu-ribu para ulamanya, ulama-ulama di kota Mekkah, di kota Madinah, di kota Jeddah, di kota Riyadh dan lain-lain di seluruh negara Arab Saudi itu? Bukankah pula mereka itu yang mengurus dan memelihara ”Baitullah” dan ”Masjidil Haram”? Dan bukankah pula mereka itu yang memelihara ”Masjidil Nabawi” di Madinah Munawaraoh dan Maqam yang mulia Rasulullah SAW, kuburan Abu Bakar, Ummar dan para sahabat di Baqi dan lain-lain sebagainya (radiallahu anhum).
Bukankah juga mereka yang menghidmat para hujjaj (jamaah haji) yang datang ziarah ke tanah suci Mekkah al-Mukarromah untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima dari seluruh dunia Islam termasuk kita dari Indonesia?
Tugas yang seberat dan semulia itu adalah hakekatnya dari Allah SWT juga. Itukah kita harus mengkafirkan mereka? Haasya wakalla! Fana’uzu billah wa nastaghfirullah.

Jauhkanlah cela mencela antara kita, jagalah hawa nafsu kita. Innan nafsa la-ammaratun bissu-i.
Firman Allah SWT:



Artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah hina menghina antara satu golongan laki-laki dengan golongan laki-laki yang lain, kalau-kalau mereka itu lebih baik dari padanya. Dan juga segolongan perempuan dengan perempuan lainnya, kalau-kalau merekapun lebih baik dari padanya. Dan janganlah cela mencela satu sama lain, dan janganlah pula menyebut nama orang lain dengan sebutan yang tidak baik. Sejahat-jahat nama adalah fasiq sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, adalah mereka itu aniaya.” (Al-Hujjurat:11).

Kita dilarang cela mencela, hina menghinakan satu sama lain. Kita dilarang hasut menghasut satu sama lain, dilarang memecah belah antara ummat Islam. Apapun kalau sampai mengkafirkan sesama Islam. Seseorang yang mengkafirkan seorang Muslim, ia sendiri menjadi kafir.
Sabda Rasulullah SAW:






Artinya:
”Barangsiapa yang mengkafirkan seorang Muslim, maka sungguh-sungguh menjadi kafirlah ia dengan terang.”

Kita kembali kepada, bahwa pertempuran antara sahabat dengan sahabat, peperangan antara Ali dengan Muawiyah, antara Aisyah dengan Ali radiallahu anhum, adalah mereka berlaku di atas hak.
Mereka lakukan karena dengan ijtihad. Para sahabat itu sudah di nashkan oleh Al-Quran, bahwa mereka itu diridhoi, yakni disukai oleh Allah SWT. Firman-Nya:



Artinya:
”Sesungguhnya Allah telah menyukai orang-orang Mukmin, pada ketika mereka membai’atkanmu (menyatakan kesetiaan) di bawah pohon kayu (bai’atur ridlwan), maka ia mengetahui akan isi hati mereka. Kemudian diberinya teguh dan tetap hati serta diberinya pahala dengan pembukaan yang dekat (kemenangan Khaibar).” (Al-Fath:18).





Artinya:
”Dan mereka orang-orang yang pertama-tama (dalam Islam) dari Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan itu, Allah telah meridhoi mereka dan merekapun ridho kepada-Nya. Dan disediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya air. Kekal dan selamanya ada disana, itulah kebahagiaan yang agung.” (At-Taubah:110).






Artinya:
”Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi dan Muhajirin dan Anshar, yaitu mereka yang mengikutinya pada saat yang sangat sukar (perang Tabuk) yang setelah hampir saja berpaling hati sebagian mereka (dari mengikuti Nabi) kemudian Ia menerima taubatnya (dengan ditetapkan hatinya mengikuti Nabi). Karena sesungguhnya ia penyantun dan penyayang.” (At-Taubah:117).

Tiga ayat di atas ini cukup jelas kepada kita, bahwa sahabat itu disukai dan dalam ridhonya Allah SWT. Andaikata ada diantara para sahabat itu yang berbuat dosa, tetap dalam jaminan Allah SWT, bahwa ia tetap dalam ridho Allah. Artinya segera ia mau mengerjakan taubat dan diterima taubatnya.
Artinya, sebagai manusia para sahabat itu mungkin saja bersalah, tetapi segera kesalahannya itu diampuni oleh Allah SWT.
AHLI SUNNAH WAL JAMAAH DALAM FIQIH


Kemudian dari pada itu kita bersyukur kepada Allah SWT, dan mengucapkan Alhamdulillah bahwa sampailah kita kepada pembahasan selanjutnya mengenai arti dan pengertian ”Ahli Sunnah wal-Jama’ah sebagai kelanjutan dari buku kecil (risalah) ”ISHLAHUL UMMAH BAYANI AHLIS SUNNAH WAL JAMA’AH’’ ini.
Sebagai kita ketahui, bahwa di atas tadi, agaknya panjang jugalah diuraikan mengenai arti ”Ahli Sunnah wal-Jama’ah” dalam masalah aqidah dan kenegaraan. Maka selanjutnya kita akan mencoba mengadakan pembahasan dan uraian Ahli Sunnah wal-Jama’ah dalam arti hukum yakni fiqh atau disebut juga dengan furu’.
Terlebih dahulu kita perlu mengulangi akan hadits-hadits yang berkenaan dengan itu dan kita ambilkan dua buah hadits yang maksudnya bersamaan dengan dua riwayat yang berlainan yaitu:

1. Riwayat Abi Daud dari Mu’awiyah ia berkata:




Artinya:
”Pada suatu waktu Rasulullah SAW berada di lingkungan kami, kemudian ia berkata: ”Ketahuilah bahwa orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dahulu sebelum kamu mereka itu berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan bahwasanya umat sekarang ini akan berpecah pula menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yang tujuh puluh dua dalam api neraka sedang yang satu golongan di dalam syurga. Yaitu yang dinamai ”Al-Jama’ah’’.

2. Riwayat Turmuzi dari Ibnu Amr bin Ash r.a. ia berkata:




Artinya:
Bersabda Rasulullah SAW: ”Sesungguhnya akan terjadi atas ummatku sebagai apa yang terjadi atas Bani Israil dengan sangat secocokan, sehingga jika ada dari mereka yang mendatangi (menzina) ibunya dengan terang-terngan sungguh akan terjadi pulalah pada umatku yang berbuat sedemikian itu. Dan sesungguhnya Bani Israil itu bercerai-berai menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan bercerai juga umatku atas tujuh puluh tiga golongan, semuanya mereka itu dalam neraka kecuali golongan (agama) yang satu. Para sahabat bertanya: ”Siapakah yang satu itu?’’ Jawabnya: ”Ialah apa-apa yang ada aku di atasnya dan para sahabatku’’.

Dalam menilai hadits-hadits di atas ini, pengarang dari kitab ”Al-’Alamul Syamikh’’ berkata:



Artinya:
”Peringatan lain”. Adapun hadits yang maksudnya ummat Nabi Muhammad akan bercerai-berai menjadi tujuh puluh tiga golongan, itu riwayatnya banyak sekali, kuat menguatkan satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada keragu-raguan lagi dalam berhasil maknanya, yakni maksud dari hadits itu akan terjadi.”

Artinya, hadits ini memang agak lemah, dilihat dari sudut sanadnya. Akan tetapi oleh karena riwayatnya (yang meriwayatkan hadits semacam itu) banyak, maka derajat hadits ini akhirnya menjadi kuat juga. Oleh karena itu janganlah diragukan lagi, bahwa maksud dari hadits ini sungguh akan terjadi, yaitu ummat Nabi Muhammad SAW akan terpecah menjadi 73 partai. Dan hanya satu partai saja yang selamat, sedang selainnya akan masuk neraka. Golongan yang selamat ini, dinamai ”Ahli Sunnah wal-Jama’ah”, yaitu diterangkan oleh Rasulullah:



Artinya:
”Apa-apa yang aku ada di atasnya dan para sahabatku.”

Inilah arti ringkasannya ”Ahli Sunnah wal-Jama’ah” yang digariskan oleh Rasulullah SAW yaitu apa-apa yang digariskan atau dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, baik dalam tauhid atau dalam hukum (fiqih), juga dalam hal lainnya.
Maka oleh sebab itu, Syekh Abdul Kadir al-Jaelani menulis dalam kitabnya Al-Ghaniyah, setelah ia menganjurkan bahwa wajib bagi setiap mukmin untuk ’ittiba (mengikut) Ahli Sunnah wal-Jama’ah, kemudian ia menegaskan arti dan ta’rif Ahli Sunnah wal-Jama’ah itu yaitu:





Artinya:
”Maka arti Assunnah itu, ialah apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan arti Al-Jama’ah itu, yaitu apa-apa yang disepakati oleh para sahabat r.a. pada waktu khalifah yang empat dari Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk Tuhan radiallahu anhum ajma’iin.”

Jadi jelasnya Ahli Sunnah wal-Jama’ah itu, yaitu orang-orang yang mengikuti perjalanan Rasulullah SAW dan mengikuti pula perjalanan para sahabat, baik dalam akidah (i’tiqad) atau amal dan furu’ fiqhiyah.
Mengikuti perjalanan para sahabat, tidak saja para sahabat empat yang disebut Al-Khulafaur Rasyidin, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radiallahu anhum, tetapi juga mengikuti perjalanan para sahabat pada umumnya seperti: Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Huraeroh, Ibnu Mas’ud dan lain-lainnya r.a.
Mengikuti para sahabat kesemua itu, adalah perbuatan Ahli Sunnah wal-Jama’ah, karena mengingat akan memahami ”Apa-apa yang aku ada di atasnya dan para sahabatku”.
Juga mengingat hadits:



Artinya:
”Para sahabat itu adalah laksana bintang-bintang di langit, dengan siapa saja diantaranya kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk.”

Diantara ahli hadits ada yang memandang lemah (dlaif) akan hadits ini, tetapi karena mengingat kuatnya hadits ”Ma ana ’alaihi wa ashhaabi” itu tadi, maka dapatlah hadits tersebut itupun dipandang kuat juga. Maka pendapat inilah yang dipegangi oleh Imam Hanafi dalam cara istimbathnya dalam pengambilan hukum.
Dengan ini dapatlah diketahui, bahwa salahlah orang yang berpendirian, bahwa barangsiapa yang mengikuti (bertaklid) kepada sahabat dalam sesuatu masalah furu’ (fiqih) dan meninggalkan pendapatnya seorang mujtahid, maka orang itu bukan Ahli Sunnah wal-Jama’ah.
Pendirian sedemikian itu, tidak tepat dan salah. Tidak cocok dengan ta’rifnya Ahli Sunnah wal-Jama’ah itu, baik yang diterangkan oleh Nabi yaitu: ”Ma ana ’alaihi wa ashhaabi” atau yang diterangkan oleh Syekh Abdul Kadir Jaelani yaitu:


Artinya:
”Maka arti Assunnah itu, ialah apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan arti Al-Jama’ah itu, yaitu apa-apa yang disepakati oleh para sahabat r.a. pada waktu khalifah yang empat dari Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk Tuhan radiallahu anhum ajma’iin.”

Abdullah bin Abbas r.a. seorang ulama sahabat yang berada di zaman khalifah empat, ia membolehkan menyembelih qurban atau Aqiqah seekor binatang yang meskipun belum sampai umurnya (belum manjing umur).
Barang siapa orang yang mengikuti fatwa Ibnu Abbas ini, boleh-boleh saja dan orang itu pengikut Ahli Sunnah wal Jama’ah. Janganlah dipandang orang itu bukan orang Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Ini adalah sekedar satu misal, bolehnya kita mengikuti sahabat itu dan salahnya orang yang berpendirian bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah kalau seseorang langsung mengikuti (taklid) kepada sahabat di zaman kita sekarang ini.
Adapun kita harus memilih dan mempertimbangkan yang radjih dari mardjuh, yang Mu’tamad dari ghaer Mu’tamad, yang ashah dari yang shaheh, yang afdhol dari yang mafdlul, hal ini adalah soal lain sebagai yang ditertibkan oleh para fuqaha.
Buat amal kita sendiri pilihlah yang radjih tinggalkan yang marjuh. Tetapi kalau ada orang yang berpendirian memandang salah kepada orang yang bertaklid kepada selain mazhab empat Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, malah orang yang bertaklid kepada selain mazhab empat itu dituduhnya bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah, padahal ia berbisik-bisik kepada kawannya memperbolehkan nikah dengan taklid kepada Imam Abu Daud Zhahiri.
Pendirian yang sedemikian itu, mungkin timbulnya karena ta’ashub (fanatik) kepada mazhab yang ia anuti, dengan fanatik berlebih-lebihan. Menghormati kepada ulama dalam mazhabnya yang ia anuti, tidak menghormati kepada ulama dalam mazhab yang tidak ia anuti, menghormati kepada ulama pendiri mazhab, tetapi ia meninggalkan penghormatan kepada sahabat, padahal sabda Nabi:


Artinya:
”Kepada siapa saja mengikuti sahabat itu, kamu telah mendapat petunjuk.”

Memang ada diantara para ulama yang seakan-akan melarang kepada kita, agar kita jangan langsung ittiba kepada sahabat, malah jangan langsung mengikuti ayat Qur’an, kita dilarangnya dan harus (bertaklid) kepada salah satu dari mazhab empat saja (Syafe’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali). Kalau keluar mengikuti mazhab empat, misalnya ia mengikuti mazhab selainnya (seperti Abu Daud dan sebagainya), atau ia langsung ia mengikuti para sahabat, atau langsung mengikuti sunnah Nabi, atau langsung mengikuti Qur’an, orang-orang semacam itu dlallum mudlillum (sesat menyesatkan). Tersebut dalam risalah pelita Ahli Sunnah wal Jama’ah, K.H. Moh. Nawawi Menggala mengambil keterangan dari Tafsir Shawi juz III muka 9 sebagai berikut:









Artinya:
”Tidak boleh taklid kepada selain mazhab yang empat meskipun muwafakah dengan ko’al sahabat dan dengan hadits shaheh dan dengan ayat qur’an. Maka orang yang keluar dari mazhab empat itu sesat menyesatkan dan terkadang orang melakukan yang sedemikian itu terjatuh kepada kufur, karena memegang dengan zhahir Al-qur’an dan sunnah itu setengah dari pokok kekufuran.’’

Juga termaktub dalam Al-Madjalisus Saniyah muka 87, bahwa setelah pengarang kitab tersebut menerangkan bahwa Al-Khulafaur Rasyidin itu, ialah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali serta kemudian Hasan Radliallahu anhum, kemudian ia melanjutkan tulisannya:



Artinya:
”Dan dari sini, berkatalah setengah para ulama, bahwa didahulukanlah (diambil hukumnya) ijma’nya sahabat empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) kemudian ijma’nya sahabatnya Abu Bakar, kemudian ijma’nya sahabat Umar. Hal yang demikian ini menjadi haknya mukallid yang berlaku pada zaman-zaman yang berdekatan, dengan zamannya sahabat. Adapun pada zaman kita sekarang ini, setengah para imam berkata. Tiada boleh bertaklid kepada selain imam empat Syafe’i, Hanafi, Maliki, dan Ahmad r.a.’’

Dua keterangan ulama dari kedua kitab Tafsir Shawi dan Al-Majalisus Saniyah itu, seakan-akan melarang kepada kita:
1. Jangan mengikuti langsung kepada sahabat,
2. Jangan mengikuti langsung kepada hadits,
3. Jangan mengikuti langsung kepada Qur’an dan,
4. Jangan keluar dari mazhab empat, artinya bermazhab itu tidak boleh lepas, dari mazhab empat.
Maka kemudian, seolah-olah dapat diartikan:
1. Seseorang yang langsung mengikuti sahabat, dia bukan seorang Ahli Sunnah wal Jama’ah, sesat menyesatkan dan terkadang kufur.
2. Seseorang yang langsung mengambil hukum dari hadits dia bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah, sesat menyesatkan dan terkadang kufur.
3. Seseorang yang langsung mengambil hukum dari Qur’an, dia bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah, sesat menyesatkan dan terkadang kufur dan,
4. Seseorang yang keluar dari mazhab yang empat, dia bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah, dia sesat menyesatkan dan dia terkadang kufur.

Kepada para pembaca yang terhormat dan kepada umumnya kaum Muslimin rohimakumullah! Kami mengajak janganlah kita artikan demikian dangkal dan mentahnya seperti baru diterangkan di atas tadi maksud dari tulisan kedua ulama pengarang Shawi dan Al-Majalis itu. Kami yakin maksud keduanya itu tidaklah demikian. Insya Allah tidaklah dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan berpikir bagi ummat Islam, tidaklah dimaksudkan untuk menghalangi-halangi ummat Islam untuk mempelajari Qur’an, untuk mempelajari ilmu hadits, untuk meniru atsar sahabat.
Tidaklah dimaksudkan untuk menghalangi memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam, yang ma’khaz agama Islam itu, Qur’an, hadits, ijma dan qiyas, Tidaklah dimaksudkan untuk menghalangi penggalian ”Nur Islam’’, Tidak, tidak dan tidak.
Kira-kira maksud kedua tulisan dalam tafsir Shawi dan Al-Majalis itu, kita harus hati-hati dalam beragama, berhati-hati dalam mengartikan agama, jangan sembrono. Mempunyai ilmu baru sedikit saja, sudah merasa dirinya tabahhur dalam berilmu. Sering-sering ilmu yang masih sedikit itu dipamerkan dihadapan orang banyak dengan maksud agar diketahui ilmunya, padahal hasilnya hanya mempamerkan kebodohannya saja.
”Orang yang mengetahui akan sesuatu kesalahan itu, hanyalah orang yang mengetahui akan kebenaran.”
”Dan tidaklah mengetahui akan kedangkalan ilmu seseorang, kecuali orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang dalam.”
Kira-kira maksudnya, menjaga kepada orang-orang yang beragam Islam yang sangat bodoh yang sangat awam.
1. Supaya berhati-hati dalam beragama, ikuti sajalah mazhab yang telah masyhur (mazhab empat), kitab-kitabbya ada dan banyak. Tidak usahlah menyusul-nyusul hadits dan Qur’an, sebab tidak juga akan tersusul, sebab tidak punya bahannya, ilmu untuk mengartikannya tidak tahu. Orang sudah tua bangka, sudah kurang sekali tempo untuk belajar mengartikan Qur’an dan hadits itu, sedang ibadah sudah wajib dikerjakan. Pelajari sajalah ilmu hal (fardhu ’ain) yang sehari-hari dilakukan.
2. Sebab kalau juga dia mengambil hukum itu dari Qur’an atau hadits atau dari atsar sahabat, karena dia sangat bodoh dan awam itu, tentu tidak akan bisa. Jadi kembali sajalah kepada mazhab salah satu jang empat jang sudah masyhur dan mudawwan kitab-kitabnya (fiqihnya).
3. Dan itupun di katakan


Artinya:
”Kata setengah pada Imam agama, tiada boleh taklid kepada selain Mazhab empat. Jadi setengah para Imam melarang taklid kepada selain mazhab empat, dan setengah para Imam yang lain memperbolehkannya dan tidak melarangnya.”

Inilah kira-kira maksud dari kedua tulisan dalam kitab Shawi dan Al-Majalis itu. Kita harus artikan demikian, kita takwilkan demikian. Betapa tidak? sebab jika tidak kita takwilkan demikian, maka akan bertentangan benar-benar dengan keterangan-keterangan dibawah ini :

1. Pendapat Syekh Nawawi dalam kitabnya Riyadlul Badiah:


Artinya:
”Boleh taqlid kepada selain mazhab empat selain untuk fatwa dan dalam hal ini suatu keluasan (dalam agama Islam).”

Menurut pendapat Syekh Nawawi ini, jelas bahwa kita boleh mengikuti (taklid) kepada selain mazhab empat, tanda keluasan dalam agama Islam sesuai dengan sabda Nabi:


Artinya:
”Perbedaan pendapat diantara umatku itu menjadi rahmat.”

Hanyalah selain mazhab itu jangan difatwakan kepada umum akan tetapi tidak mengapa dan seharusnya kalau untuk ta’lim, supaya pengetahuan ummat Islam bertambah meningkat, agar kita mengetahui bahwa ulama Mujtahid itu tiada terbatas kepada empat saja. Agar ummat Islam tahu bahwa ilmu fiqih itu sangat luas sekali laksana lautan yang tidak berpantai.



Agar ummat Islam mempunyai pengetahuan yang luas, agar kita su’uzhan kepada orang lain. Agar kita mengetahui bahwa diri kita tidaklah patut sombong, karena kita tahulah sekarang meskipun kita sudah mengaji 10 tahun atau 15 tahun tetapi hanya mengaji dalam satu mazhab saja. Itupun kita belum tamat, belum semua ilmu mazhab yang kita anuti tahu semua, sepersepuluhpun tidak.
Kita sudah bangga dengan 30 jenis kitab yang ada dirumah kita tapi banyak orang lain yang mempunyai beratus kitab dari berbagai kitab mazhab di rumahnya.
Kalau kita melihat orang lain beramal tidak sama dengan yang kita amalkan hati kita selalu mencelanya orang itu, padahal belum tentu kitakah yang salah atau orang itu yang salah, kita belum memeriksa hukumnya.
Kalau kita mendengar fatwa orang, tidak sama dengan perbuatan dan amal kita yang biasa kita lakukan, lalu hati kita segera mencela orang yang berfatwa itu, padahal sesungguhnya perbuatan itu belum kita periksa hukumnya dengan sungguh-sungguh.
Kalau orang itu, tidak sama pahamnya dengan kita, padahal paham kita belum kita koreksi belum kita periksa kembali dengan hati yang ikhlas, dengan hati yang insyaf dan jujur, kita tentang orang itu, kita lupa bahwa ilmu itu tidak mutlak ada pada seseorang.
Kalau ilmu kita sudah banyak, kalu kita mengetahui bahwa ilmu Islam itu, sangat luas, kita pasti akan mengetahui bahwa ilmu yang ada pada kita itu sedikit sekali. Maka akan hilanglah rasa pintar sendiri, rasa takabur, rasa merendahkan orang lain, tapi kita akan mengormat kepada pendapat orang lain, akan tidak bercepat-cepat menyalahkan orang lain.

2. Tersebut dalam Al-Majalis Saniyah juga muka 87 seorang Tabi’i, Sahal Al- Tastary, berkata:






Artinya :
”Hendaklah kamu mengikuti akan atsar para sahabat dan sunnah Rasul, karena aku kuatir, bahwa akan datang dalam masa yang tidak lama, apabila orang menyebut-nyebut Nabi dan mengajak mengikutinya dalam segala pekerjaannya, orang itu akan di cela-cela mereka, dan mereka akan berlari dari padanya, melepaskan diri dari padanya dan meghinakannya.”

3. Perkataan Imam Syafe’i r.a. :


Artinya:
”Apabila terdapat hadits yang sah, maka itulah mazhabku.”

4. Firman Allah:

Artinya:
”Apa-apa yang didatangkan Rasul kepada kamu, maka wajib kamu mengambilnya dan apa-apa yang ia melarang kamu daripadanya maka wajiblah kamu mencegahnya.”

5. Firman Allah:

Artinya:
”Katakan hai Muhammad! Jika kamu cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, maka Allah akan mencintai kamu.”

6. Dalam A-Muwatha Imam Malik meriwayatkan suatu hadits mursal, bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Artinya:
”Aku telah tinggak pada kamu sekalian dua hal yang kamu sekalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul.”

Keterangan no. 1 sampai no. 6 di atas itu adalah menunjukkan:
a. Dibolehkan kita taklid kepada selain Imam yang empat, misalnya kepada Imam-imam Abu Daud Zhahiri, Auza’i, Nikha’i, Sufyan Tsauri dan lain-lain, baik dalam satu masalah dan atau semua masalah. Boleh kita taklid dalam semua masalah, artinya dalam semua bidang ’ubudiyah, muammalah, munakahah dan jinayah kepada salah satu mazhab empat (Syafe’i, Maliki, Hanafi dan Hambali), karena mazhabnya masih mudawan dalam semua bidang itu. Boleh kita taklid dalam satu-satu masalah kepada mazhab selain yang empat dalam mazhab yang diketahui mazhabnya. Kita katakan dalam satu-satu masalah kepada mazhab selain yang empat ini, oleh karena keseluruhan mazhabnya dari selain mazhab empat itu sudah tidak mudawan lagi. Andaikata ada daripada Imam mazhab yang selain imam empat, itu yang mazhabnya masih mudawan keseluruhannya, maka bolehlah kita taklid kepadanya, dalam segala masalah hukum. Boleh kita bertaklid kepada salah satu mazhab yang empat atau selainnya untuk selamanya atau dalam satu-satu masalah.

Tersebut dalam Al-Fawaidul Makkiyah muka 89:


Artinya:
”Dan boleh berpindah (taklid) dari satu mazhab ke mazhab yang lain dari mazhab-mazhab yang mudawan dan sekalipun dengan semata-mata mengikuti kemauan sama ada ia berpindah untuk selama-lamanya atau dalam sesuatau masalah saja.”

Baik mazhab yang empat atau mazhab yang lainnya, seperti Abu Daud Auza’i dan lain-lainnya itu semua alal hak dan semuanya Ahli Sunnah wal-Jama’ah, karena mereka semuanya melakukan apa-apa yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya.


Maka oleh sebab itu, mereka yang bermazhab dengan mazhab empat atau selainnya, kesemuanya itu, Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Janganlah kita bermudah-mudah mengatakan yang keluar dari mazhab empat itu, bukan Ahli Sunnah wal-Jama’ah
b. Boleh kita mengikuti para sahabat, mengikuti atsar sahabat yang berarti mengikuti para sahabat itu, bertaklid kepadanya. Ulama Hanafiyah, memandang akan fatwa sahabat itu, menjadu hujjah dan kaidah diniyah.

Maka karena itu juga, barangsiapa yang mengikuti atsar sahabat, adalah Ahli Sunnah wal-Jama’ah.
Contoh fatwa sahabat:



Artinya:
”Dari Aisyah r.a. bahwa ia ditanya dari hal seorang perempuan yang mati meninggal puasa, ia menjawab: ”diberikan makanan daripadanya (fidyah).”



Artinya:
”Dari Aisyah ia berkata: ”Janganlah kamu puasakan dari orang yang mati dari pada kamu sekalian dan berikan makanan (fidyah) sajalah dari mereka.”



Artinya:
”Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata pada seorang laki-laki yang mati meninggalkan puasa Ramadhan, katanya diberikan makanan (fidyah) dari padanya kepada tiga puluh miskin.”



Artinya:
”Dari Ibnu Abbas r.a. :”Tidak boleh puasa seorang dari seorang yang lain.”

Keempat hadits ini, adalah fatwa-fatwa sahabat Siti Aisyah dan Abdulah bin Abbas Radiallahu anhuma. Yang menerangkan jika seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan, bayarkan saja dengan makanan (fidyah) kepada tiga puluh miskin (untuk orang yang meninggalkan puasa tiga puluh hari, tiap 1 hari 1 mud beras (atau apa saja yang menjadi kekuatan) pada mazhab Syafe’i dan Malik dan 2 mud pada mazhab Hanafi).

Keterangan: 1 mud = ¾ fitrah, fitrah = 3 ½ lt.

Fatwa sahabat ini, boleh kita amalkan, dan yang mengamalkan itu termasuk Ahli Sunnah wal-Jama’ah, meskipun fatwa Aisyah dan Ibnu Abbas (sahabat-sahabat) menyalahi hadits yang dibawanya sendiri yaitu:



Artinya:
”Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang mati dan ia meninggalkan puasa, maka berpuasalah dari padanya walinya.” (H.R. Muslim).



Artinya:
”Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya ia berkata: ”Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan ia berkata: ” Ya Rasulullah, bahwa ibu saya telah meninggal dan ia meninggalkan puasa sebulan, apakah saya kadlakan (bayarkan) puasa dari padanya?” Jawabnya: ”Ya!” maka hutang kepada Allah itu lebih berhak dibayarnya.” (H.R. Bukhari).

Kedua hadits ini dibawakan oleh Aisyah dan Ibnu Abbas, keduanya adalah hadits shaheh, oleh kita boleh ditinggalkan dan mengikuti fatwa sahabat Aisyah dan Ibnu Abbas tadi.
Dalam hal ini, Al-Qasthalani alal Bukhari menerangkan sebagai berikut:



Artinya:
”Maka tatkala Ibnu Abbas dan Aisyah memfatwakan dengan menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh keduanya itu, menunjukkan bahwa yang harus diamalkan yaitu yang menyalahi hadits yang diriwayatkan oeh keduanya. Karena fatwa rawi (yang meriwayatkan) hadits atau yang menyalahi akan hadits yang diriwayatkannya sendiri itu, berarti meriwayatkan hadits yang menasikhkannya. Dan menasakhkan hukum itu, menunjukkan mengeluarkan penggantungan dari i’tibar.”

Dengan keterangan ini jelaslah bahwa fatwa sahabat itu, boleh diikuti (ditaklidi). Dan orang yang mengikuti para sahabat itu, adalah Ahli Sunnah wal-Jama’ah.
Untuk lebih jelasnya, kami suntingkan juga penilaian dan istinbath para ulama mujtahidin mengenai persoalan ini, yaitu adakah diantara para mujtahidin yang mengambil suatu natijah dari ijtihad mereka yang mengikuti sahabat ini? Disini artinya mengikuti fatwa Siti Aisyah dan Ibnu Abbas?
Dalam Bidayatul Mujtahid juz I muka 299 tertulis sebagai berikut:




Artinya:
”Dan adapun apabila seorang yang mati dan ia meninggalkan puasa, maka sebagian ulama berkata: ”Seseorang tidak boleh berpuasa dari seseorang yang lain.” Sebagian ulama yang lain berpendapat, harus dipuasakan oleh walinya. Dan para ulama yang tidak mewajibkan mengkadlakan puasa itu, mereka mewajibkan supaya walinya membayarkan dengan makanan (fidyah) saja. Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafe’i. Setengah para ulama yang lain berpendapat dengan tidak usah dibayarkan dengan puasa dan tidak dengan fidyah, kecuali apabila ia berwasyiat, ini adalah pendapat Imam Malik. Adapun Abu Hanifah berpendapat dibayarkan dengan puasa dan jika tidak kuat boleh dengan fidyah.”

Dengan ini dapatlah diketahui, bahwa masalah ini adalah masalah khilafiah. Para ulama berselisih dan ternyata bahwa fatwa Siti Aisyah dan Ibnu Abbas itu diikuti oleh Imam Syafe’i.
Siapakah yang berani mengatakan, bahwa Imam Syafe’i bukan ulama Ahus Sunnah.


AL-KHULASAH


Dari keterangan dan uraian di ata, dapatlah diambil kesimpulan bahwa Ahli Sunnah wal-Jama’ah dalam hukum yakni fiqih dan furu’, sebagai juga dalam akidah dan kenegaraan, yaitu:
”Orang-orang yang amal dan perbuatannya mengikuti Nabi dan para sahabat, yaitu yang disabdakan Nabi:



Maka oleh karena itu untuk jelasnya:
1. ”Orang-orang sesudah sahabat yaitu yang disebut Tabi’in, yang amal ibadahnya mengikuti Nabi dan para sahabat, mereka itu Ahli Sunnah wal-Jama’ah”.
2. ”Orang-orang sesudah Tabi’in yaitu yang disebut Tabi’it-Tabi’in yang amal ibadahnya mengikuti para Nabi dan para sahabat, mereka itu Ahli Sunnah wal-Jama’ah”.
3. ”Orang-orang yang sesudah Tabi’it-Tabi’in sampai masa sekarang dan juga sampai masa yang akan datang yang amal ibadahnya mengikuti para Nabi dan para sahabat, mereka semuanya adalah Ahli Sunnah wal-Jama’ah”.

Untuk seseorang mengetahui bagaimana amal ibadah dan perbuatan atau sesuatu yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, sehingga seseorang itu dapat mengikuti: ”apa-apa yang diakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,” sehingga ia menjadi seorang Ahli sunnah wal-Jama’ah itu, sejak zaman Tabi’in yaitu sejak kira-kira permulaan abad kedua sampai pada zaman Tabi’it-Tabi’in bahkan sampai zaman selanjutnya hingga hari kemudian.
Manusia (orang) itu terbagi dengan beberapa golongan:
a. ”Golongan yang dapat langsung mengambl/mengikuti dari Nabi dan para sahabat untuk seluruh keperluan agamanya.”
b. ”Golongan yang dapat langsung mengambil/mengikuti dari Nabi dan para sahabatnya untuk sebagian keperluan agamanya dan sebagian hanya didapat dari fatwa orang-orang yang lebih ahli dari padanya yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya.”
c. ”Golongan yang tidak mempunyai kemampuan/kesanggupan untuk seluruh keperluan agamanya mengikuti langsung dari Nabi dan para sahabat (seperti umumnya ummat Islam sekarang ini). Tetapi mereka beragama hanya semata-mata mengikuti fatwa ulama yang mengetahui urusan agama yang berasal dari Nabi dan para sahabat”.

Kesemuanya golongan yang tiga ini, yakni golongan a, b dan c diatas itu, mereka Ahli Sunnah wal-Jama’ah.
Adakah fatwa ulama yang tidak berasal dari Nabi dan para sahabat? Jawabnya mungkin ada saja. Memang segala sesuatu itu ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ada ulama yang betul-betul ulama tetapi ada juga ulama yang iisu-u.
Maka oleh sebab itu perlu kita berhati-hati kita harus teliti dalam hal ini, bahwa kita beragama kalau hanya dengan menerima fatwa dari para ulama, artinya belum mempunyai kemampuan untuk langsung kepada sumber asalnya (Qur’an, hadits, idjma dan qiyas) itu hanyalah dari para ulama mujtahidin.
Karena mujtahidin itulah yang mempunyai wewenang dari Rasulullah SAW. Hanyalah ulama mujtahidin, fatwanya yang dapat dipegangi oleh seseorang yang awam.
Tidaklah sembarang ulama fatwanya yang boleh diperpegangi. Maka sebab itu perlunya ada jama’ah para ulama yang mukhlisin, untuk mengadakan penilaian dan pengkoreksian fatwa-fatwa (kitab-kitab) para ulama yang masuk ke negeri kita Indonesia ini.
Kitab-kitab apa saja yang boleh dipakai oleh ummat Islam sekarang ini dan kitab-kitab apa saja yang harus dilarang dipakai/dipergunakan.
Bagaimana kitam Syamsul Ma’arif yang banyak kleniknya itu, tidak perlu dilarang untuk dibaca ummat islam di Indonesia.
Kami kira cukuplah para kiyai kita apabila membaca kitab ”Al-Fawaidul Makiyyah” untuk permulaan dapat menghilangkan ta’ashub yang tidak pada tempatnya terhadap kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Negeri-negeri dan daerah-daerah yang berbahasa Arab itu memang luas di dunia ini. Maka kerena itu diantara manusia yang berbahasa Arab tentu di dunia itu tentunya banyak juga yang mempunyai ilmu klenik, ilmu irafah, tiwalah, kahanah, thijarah dan sebagainya. Karena oleh mereka ditulisnya dengan Bahasa Arab dan didatangkan ke Indonesia ini, ini memang membahayakan.
Para ulama dan kiyai kita, harus mengadakan koreksi. Ini adalah kewajiban para ulama ummat yang awam tidak tahu apa-apa bukanlah hal ini kewajiban mereka.
Sedangkan hal ini, terkadang menyangkut soal tauhid, menyangkut soal aqidah. Apakah azimat-azimat, diperbolehkan oleh syara atau tidak.
Insya Allah akan dijadikan salah suatu pembahasan dalam risalah kecil ini, atau akan kita usahakan dalam suatu risalah lain.
Kembali kita kepada fatwa ulama.
Haruslah diketahui lebih dahulu akan sesuatu fatwa itu, apakah ia dari seorang ulama mujtahid atau bukan.
Jika dari mujatihd kita boleh beri’timad dengan dia, boleh diperpegangi, meskipun oleh orang yang mempunyai keahlian masih perlu dikoreksi, dibahas untuk dinilai dengan asas Islam yang empat yakni Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas itu, sesuai dengan harapan mujtahidin sendiri, agar ummat Islam tidak jumud (membeku) tidak terhenti berfikir, harus terus memperdalam ilmu pengetahuan agama begi orang-orang yang sekira dapat mengikutinya.
Janganah menganggap cukup jika sudah tammat Fathul Muin, tammat Bajuri, tammat Safinah, tammat Alfiyah, Kaelani dan sebagainya.
Tapi teruskanlah, gali Nur Islam itu, artinya terus gali cahaya dan ilmu pengetahuan agama Islam itu dengan cara yang sedalam-dalamnya dengan cara yang akademis kata orang sekarang. Pada masa ini kekurangan ulama dan malah perlu kami tandaskan kalaupun masih ada tetapi sangat sedikit sekali pada masa ini, tempat-tempat kader ulama, sedikit sekali, pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah yang dapat membikin ulama sedikit sekali meskipun kita agak berbesar hati juga, karena tempat-tempat untuk meng-Islamkan banyak di negara kita ini karena pelajaran agama menjadinya mata pelajaran di sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi sampai dimana persiapan ummat Islam dalam menyediakan guru-guru agama untuk itu.
Di bawah ini disuntingkan harapan-harapan para Imam Mujtahidin untuk ummat Islam terus menggali ilmu pengetahuan agama dari lubuknya yang dalam itu.
1. Berkata Imam Abu Hanifah r.a.:



Artinya:
”Tiada sepantasnya bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, ia berfatwa dengan perkataanku (mazhabku).”

2. Apabila Imam Hanafi berfatwa ia berkata :



Artinya:
”Ini hanyalah pendapat An-Nu’man bin Tsabit semata-mata (yakni dirinya) dan ia (pendapatnya) adalah yang terbaik ala kadar kepandaianku. Maka barangsiapa yang dapat mendatangkan yang lebih baik lagi, maka ia lebih utama dan lebih benar.”

3. Imam Malik bin Anas berkata:



Artinya:
”Seseorang itu, perkataannya boleh diambil dan boleh ditolak kecuali Rasulullah SAW sendiri.”

4. Menurut Al-Hakim dan Al-Baihaqi, Imam Syafe’i berkata:



Artinya:
”Apabila suatu hadits yang syah, itulah mazhabku.”

5. Imam Syafe’i berkata:


Artinya:
”Tatkala kamu mengetahui perkataanku menyalahi hadits, maka amalkanlah olemu hadits itu dan buanglah perkataanku ke tempat sampah.”

6. Imam Syafe’i berkata kepada muridnya Al-Muzani:



Artinya:
”Hai Ibrahim (Muzani)! Janganlah engkau taklid kepadaku dalam semua yang aku katakan, pikirkanlah dahulu pada yang sedemikian itu, buat kemanfaatan dirimu, sebab sesungguhnya demikian itu soal agama.”

7. Berkata pula Imam Syafe’i:




Artinya:
”Tiada menjadi hujjah (agama) pada perkataan seseorang selain perkataan Rasulullah SAW.”

8. Imam Akhmad bin Hanbal berkata:


Artinya:
”Janganlah engkau bertaklid saja kepadaku dan jangan pula kepada Malik dan jangan kepada Auza’i dan Nakha’i juga kepada selainnya. Dan ambillah hukum-hukum itu dari sekira mereka mengambilnya yaitu dari Kitab dan Sunnah.”

Perkataan beberapa Imam Mazhab (Mujtahidin) di atas itu tadi, menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui, bahwa pendapat mereka sebagai mujtahid itu tidak mutlak kebenarannya. Boleh diturut dan diikuti mana-mana yang benar yang sesuai (muwafaqah) dengan dalil. Tetapi boleh juga ditolaknya jik andaikata tidak sesuai dengan dalil (asas Islam) seperti tadi disinggung di atas, bahwa (bagi orang yang mempunyai kemampuan) sesuatu pendapat itu, meskipun dari seorang ulama mujtahid perlu dinilai dan diakurkan dengan azas Islam yang empat itu yakni Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Sekali lagi kita jelaskan, sudah tentu bahwa yang dapat menilai dan yang dapat mengakurkan dengan asas (qawaid) Islam itu, harus orang-orang yang mempunyai keahlian dalam ilmunya.
Bagaimana orang-orang awam atau orang-orang bodoh dalam ilmu, seperti kebanyakan manusia ummat Islam zaman sekarang ini? Tentulah mau tidak mau harus menerima saja akan fatwa dari ulama itu. Mau tidak mau harus taklid dari fatwa (mazhab) ulama itu. Sebab kalau tidak, sebab kalau dia harus langsung mengetahui Quran, Haditsnya dan sebagainya pasti dia tidak akan dapat beramal dan beribadah.
Kalau anda tahun ini mendapat kuantum untuk naik haji ke Mekkah, oleh karena anda seorang yang belum mempunya ilmu yang cukup untuk itu, pasti anda akan segera mencari kitab Manasik Haji tukilan Prof. H. Mahmud Yunus atau tukilan siapa saja yang meskipun dalam buku-buku itu tidak menyebut-nyebut dalil Qurannya atau haditsnya.
Penulis tidak sependapat dengan orang yang muthlak mengharamkan (melarang) taklid. Betul ”Attaqliidu mazmum” taklid itu tercela. Sedapat mungkin setiap ummat Islam harus terus memperdalam agamanya sampai menjadi alim yang besar. Tapi ............... kalau tidak bisa ................... terus bodoh seperti kebanyakan kita sekarang terpaksa taklid-taklid juga.
Tetapi sekali lagi perlu diterangkan bahwa hanya ulama yang mempunyai derajat mujtahid yang boleh diikuti (ditaklidi) fatwanya itu. Atau orang-orang (ulama) yang fatwanya berasal dan muwafaqah dengan fatwanya ulama mujtahid.
Ulama yang dapat diterima fatwanya, namanya Mujtahid. Sedang yang menerima fatwa seorang ulama mujtahid itu namanya muqallid. Mengikuti fatwanya seorang Mujtahid tanpa mengetahui dalilnya namanya taklid.
Ulama-ulam Mujtahid itu, jumlahnya banyak sekali.
Tiap-tiap mujtahid, terkadang mempunyai cara dan sistim yang berlainan antara satu sama lain dalam cara mengambil sesuatu hukum dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
Salah satu contoh, cara dan sistim mujtahidin ada yang berlainan, misalnya:
Di dalam qaidah usuliyah tentang:



Al-Ishtikhsan ini dijadikan qaidah oleh Imam Hanafi sedang Imam Syafe’i menolaknya, sehingga ia berkata:



Artinya:
”Seseorang yang menggunakan Ishtikhsan ia sebetulnya telah membikin syara”.

Maka itulah sebabnya berdiri di waktu marhabanan (membaca Al-Barzanji Riwayat Maulid) sebagian ummat Islam mengamalkan dan sebagian menolaknya.
Dalam Naskah Barzanji, oleh pengarangnya ada dituliskan:




Artinya:
”Sesungguhnya para imam yang membawa riwayat (Maulid Nabi) memandang baik (hasan) jika berdiri ketika menyebut-nyebut Yang Mulia Nabi”.

Wallahu a’lam dalam hal ini, penulis menunggu reaksi yang konstruktif dari para ulama kita.
Oleh karena cara dan sistim seseorang mujtahid dalam pengambilan dan penggalian (istimbath) hukum Islam dari sumbernya itu, terkadang berlainan, maka menimbulkan pula mazhab-mazhab.
TIMBULNYA MAZHAB-MAZHAB


Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapatan alim besar (mujtahid) dalam urusan agama peribadatan dan lainnya dinamakan mazhab.
Dari permulaan Islam hingga wafatnya Rasulullah SAW dan hingga kira satu abad ummat Islam tidak mengenal mazhab (artinya dalam beragama Islam belum ada istilah mazhab).
Mereka mengambil hukum-hukum langsung dari Quran dan Sunnah untuk amal ibadah atau i’tiqad, juga urusan keduniaan. Dan terkadang mereka mengambil juga dari fatwa dari seseorang yang lebih alim dari padanya.
Pada permulaan abad kedua timbullah mazhab Imam Hanafi dan Imam Maliki. Pada akhir abad kedua lahir pula mazhab Imam Syafe’i dan Imam Hambali.
Sebenarnya timbulnya mazhab-mazhab itu dengan jumlah yang banyak sekali, hanya yang masyhur sampai sekarang, empat mazhab itulah.
Dari permulaan abad yang kedua, agama Islam sudah tersiar dimana-mana.
Di negeri Arab dan sekitarnya, agama Islam mulai dan sudah meluas. Maka ummat Islam di masing-masing tempat, perlu mengetahui hukum-hukum Islam buat amal ibadah dan keduniaan mereka.
Di waktu itu, sahabat-sahabat Nabi sudah tidak ada. Sedang dari Tabi’in tentang sebagian kecil saja tersebar di negeri-negeri Islam.
Umumnya muslimin di waktu itu mendapat fatwa dari Tabi’it-Tabi’in dan dari orang-orang kemudian dari mereka.
Fatwa ulama-ulama di zaman itu, ada yang dicatat oleh pengikut-pengikutnya (murid-murid) dan ada yang tidak.
Fatwa-fatwa yang tidak tertulis, tentulah tidak bisa hidup lama. Maka sejumlah fatwa-fatwa seorang ulama itu dinamakan mazhab (tempat berjalan). Imam-imam yang empat itu, sebagian besar dari fatwa-fatwanya tercatat (mudawwan).
Imam-imam yang lainnya yang jumlahnya beberapa banyak yang setingkat dengan imam yang empat, fatwa-fatwa mereka tidak banyak tercatat, kecuali ada sedikit-sedikit atau satau-satu fatwa mereke yang tercatat.
Seperti sudah ditrerangkan di atas, bahwa hanya fatwa mujtahidlah yang boleh diperpegangi (ditaklidi) sebab itu mujtahid itu telah mendapat wewenang dari Rasulullah SAW.
Juga diketahui, bahwa umumnya Quran itu mengandung ajaran Islam pokok-pokoknya saja bukan tafsilnya. Maka jelaskanlah oleh Sunnah Rasul untuk kita dapat beramal dengan sempurna.
Kita diperintahkan sembahyang dalam Al-Quran, kemudian Rasulullah mengajarkan praktik dan amaliyahnya tentang ruku, sujud, bacaannya dan sebagainya.
Firman Allah SWT:



Artinya:
”Supaya kamu terangkan bagi manusia tentang apa-apa yang diwajibkan kepada mereka.”

Sebagai diketahui dalam tarikh Islam, bahwa pada ketika Nabi-nabi memberi penerangan suatu ayat atau mengucapkan sesuatu hukum tidak semua sahabat hadir, tetapi ada sebagian yang tidak hadir lantaran keperluan-keperluan sendiri atau karena menunaikan kewajiban masing-masing baik di kota Madinah atau di luarnya.
Setelah Rasulullah SAW wafat tidak semua tabi’in bisa bertemu dengan semua sahabat. Dan sesudah itu pula tidak semua tabi’it-tabi’in bisa bertemu dengan semua tabi’in.
Oleh karena itu kemungkinan besar sekali bahwa tiap-tiap negeri Islam walaupun negeri Madinah dan Mekkah, tidak mendapatkan sunnah (hadits) secukupnya. Dan kemungkinan pula, bahwa imam yang empat pun masing-masingnya tidak memperoleh pertunjukkan hadits dengan sempurna (seluruhnya) dan tidak pula semuanya sama, karena ada hadits yang sampai kepada Imam Ahmad umpamanya, tapi tidak sampai kepada Imam Syafe’i dan ada yang sampai kepada Imam Syafe’i, tetapi tiada sampai kepada Imam Ahmad.
Kemudian ditambah lagi masing-masing imam itu mempunyai cara dan methode yang kadang-kadang berlainan dalam mengistimbathkan Quran dan Hadits. Dan pula karena keluasannya Bahasa Arab sehingga ada kalimat-kalimat yang mempunyai arti yang banyak. Maka oleh karena itu timbullah perbedaan-perbedaan (khilafiah) dalam beberapa banyak hal tidak bersamaan antara satu fatwa dengan fatwa imam yang lain, antara satu mazhab dengan mazhab yang lain.
Dalam beberapa masalah mazhab Imam Syafe’i tidak sama dengan mazhab Imam Maliki, mazhab Imam hanafi dan Imam Hambali atau sebaliknya.
Para imam mazhab itu, disebut juga Mujtahid.
AGAMA ISLAM DALAM GARIS BESARNYA


Oleh karena, sedikitnya kita sudah sampai kepada menerangkan persoalan mazhab maka perlulah pula diterangkan mengenai persoalan ”Ijtihad Mujtahid dan Taklid” meskipun dengan serba ringkas saja, karena soal ini suatu persoalan yang berjalin satu sam lainnya.
Sebelum sampai kepada menerangkan tentang arti ”Ijtihad Mujtahid dan Taklid” tersebut, terlebih dahulu kami bawa saudara pembaca yang budiman mundur sedikit ke belakang, yaitu akan diterangkan garis-garis besarnya dari agama dan syariat Islam.
Agama Islam itu:



Artinya:
”Agama (Islam) suatu peraturan (organisasi) Illahi yang menjadi tuntunan bagi orang-orang (manusia) yang mempunyai akal yang selamat (sehat, tidak miring) kearah kemaslahatan (kebaikan) penghidupan mereka di dunia dan di akhirat.”

Atau denga ta’rif lain:




Artinya:
”Agama Islam itu ialah sesuatu yang didatangkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat mereka.”

Jelasnya agama Islam itu, adalah suatu undang-undang dan peraturan ciptaan Allah SWT bagi kebahagian hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Atau dengan perkataan lain, bahwa seorang manusia itu apabila melakukan agamanya (disini agama Islam) dia akan hidup dalam kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Seseorang yang tidak beragama atau tidak melakukan agama, waktu di dunia ia mungkin saja mempunyai kehidupan bahagia, akan tetapi di akhiratnya ia tidak akan mendapat bagian kebhagiaan itu.
Apakah arti bahagia yang hakiki?
Hal ini adalah suatu masalah yang sukar dijawabnya. Orang beruang banyak, belum tentu ia berbahagia. Beberapa banyak manusia yang celaka karena uang.
Orang berpangkat tinggi belum tentu ia berbahagia. Dari tempat yang tinggi itulah kalau jatuh sakit sekali.
Tidak semua yang disangka nikmat itu menjadi rahmat. Kadang-kadang nikmat itu menjadi niqmat (kecelakaan).
Kalau aku menjadi seorang kaya, aku tentu akan menjadi senang. Tetapi setelah kaya, maka ia bertambah pusing. Kalau aku berpangkat tinggi, aku tentu berbahagia. Akan tetapi setelah berpangkat tinggi, terkadang bertambah musuh. Dimanakah adanya kesenangan dan kebahagiaan itu? Inipun suatu pertanyaan yang sukar pula dijawab.
Ja’far Sidik ditanya oleh seorang muridnya tentang dimana adanya kesenangan itu, ia menjawab:



Artinya:
”Barangsiapa mencari sesuatu yang belum dibikin, maka ia hanya memayahkan dirinya saja dan tidak akan berhasil.”

Kata muridnya pula:
”Apakah dia itu tuan guru?” Kemudian dijawabnya:


”Senang di dunia ini.”

Akan tetapi perlu diketahui, nikmat dan rasa bahagia itu, adalah terdapat pada ketika kita berbuat amal kebajikan. Sebesar amal kebajikan yang kita perbuat, sebesar itu pulalah nikmat dan kebahagiaan yang kita rasakan.
Ada sesuatu yang lain yang perku kita ketahui, bahwa ”Kebahagian itu selalu ada pada orang yang ridho dengan qadar.”
Kembali kita kepada arti dan pengertian agama Islam, yaitu peraturan Tuhan untuk kebahagiaan, hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Seperti juga yang disabdakan Nabi:



Artinya:
”Apa yang aku lakukan dan para sahabatku.”

Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, setelah ia berumur 40 tahun. Di Mekkah 13 tahun lamanya, kemudian berhijrah ke Madinah dan disana lamanya 10 tahun. Dalam usia 63 tahun wafatlah beliau. Selama 23 tahun itu kepadanya Al-Quran diturunkan.
Al-Quran itulah, menjadi pokok agama Islam yang pertama. Ditambah dengan pokok yang kedua, yaitu segala perkataan rasulullah SAW, segala perbuatan/amal Rasulullah dan segala taqririnya (membiarkan sahabat berbuat sesuatu) selama 23 tahun itu, yakni yang disebut As-Sunnah atau Al-Hadits.
Jadi dasar dari pokok-pokok agama Islam itu, Al-Quran, Al-Hadits. Inilah yang disimpulkan dalam firman Allah:


Artinya:
”Itulah kitab, tidak ragu-ragu lagi di dalamnya petunjuk bagi orang-orang yang takwa.”





Artinya:
”Dan apa-apa yang Rasul datangkan kepada kamu, maka ambillah dan apa-apa yang ia melarangnya, maka jahuilah.”

Dapat kita pahami, betapa luas dan dalam lautan agama Islam itu. Yang dasarnya Al-Quran yang begitu tebal mushafnya dalam susunan kata yang berbilang ribu ayatnya dan ditambah pula segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi dalam masa 23 tahun itu.
Maka oleh karena luas dan dalamnya lautan agama Islam itu, maka para sahabat, para Tabi’in, kemudian Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya para ulama yang ahli (Mujtahid) selalu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai agama itu, agar ummat Nabi Muhammad SAW selalu mendapat petunjuk dan tidak tersesat dari agama Islam ini, sebagai disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:



Artinya:
”Sahabat-sahabatku laksana bintang di langit, dengan siapa diantara mereka kamu ikutinya, maka kamu mendapat petunjuk.”




Artinya:
”Dan bahwa para ulama itu, pewaris para Nabi.”




Artinya:
”Sekali-kali tidak akan terputus ummat ini, ada saja yang menegakkan agama Allah yang tak dapat memudaratkan mereka orang-orang yang menentangnya, sehingga hari Qiyamat.”


QA’IDAH DINIYAH


Para ahli ushul fiqih, dapat menyimpulkan dari lautan agama Islam yang demikian dalam dan luas itu dengan membagi atas dua bagian, yaitu:

1. Yang berhubungan dengan ibadah (peribadatan) dan
2. Yang berhubungan dengan keduniaan (duniawiyah)

Mereka memberi qa’idah (patokan) :




Artinya:
”Asalnya ibadah (peribadatan) dan taklif (perintah) itu tidak ada dan dilarang, sehingga datangnya nash (dalil) yang memerintahkannya.”





Artinya:
”Dan asalnya urusan duniawiyah (keduniaan) itu boleh (hukumnya) sehingga ada dalil yang melarangnya.”

Untuk jelasnya:
A. Bahwa urusan-urusan ibadah (peribadatan) dan taklif (perintah Tuhan ) itu, baru dapat dilakukan setelah ada nash dan dalilnya, baik dari Al-Quran atau Al-Hadits.

Kita mengerjakan sembahyang, puasa, zakat, sembahyang sunnah rawatib, membaca Quran dan sebagainya, karena ada nashnya baik dalam Al-Quran atau dalam Al-Hadits.
Dilarang oleh agama, kita beribadah yakni bertaqarrub kepada Allah dengan suatu beribadatan yang tidak diperintah, yakni tidak ada dalil dari Quran dan Haditsnya.
Suatu amal ibadah (taqarrub) kepada Allah SWT harus kita periksa, apakah dalilnya dari Quran atau Hadits (hujjah agama). Kalau tidak ada, itu adalah perbuatan bid’ah, dan jangan kita kerjakan.
Ada orang-orang yang mengerjakan sembahyang di pagi hari Rabu wekasan dalam bulan Syafar. Apakah sembahyang semacam itu dibenarkan oleh agama? Adakah dalilnya dari Al-Quran atau dari Hadits? Pernahkah Rasulullah dan para sahabatnya mengerjakan sembahyang semacam itu? Jawabnya, tidak ada! Janganlah hal ini dikerjakan oleh kita. Itu adalah bid’ah munkarah.
Orang atau orang-orang datang berziarah ke kuburan para wali. Di kuburan tersebut ada disediakan tempayan berisi air. Orang-orang yang berziarah itu masing-masing mengambil air itu sedikit dan diminumnya atau diperahkan matanya. Katanya: mengambil barakah para wali yang dikubur itu.
Hal ini perlu diperiksa adakah dalil kebolehannya dari Quran atau Hadits? Pernahkah Rasulullah atau para sahabat berbuat demikian? jawabnya: Tidak ada! Janganlah kita berbuat demikian!

B. Bahwa urusan keduniaan (duniawiyah), semua itu pada asalnya, hukumnya boleh, kecuali setelah ada nash dan dalilnya yang melarangnya.

Kita boleh (hukumnya) makan nasi, sebab tidak ada nash yang melarangnya. Kita boleh membikin rumah yang bagus dan indah, sebab tidak ada dalil yang melarangnya. Kita boleh memakai pantalon dan dasi, sebab tidak ada nash yang melarangnya. Kita tidak boleh dan haram memakan babi, makan bangkai, makan darah, sebab ada nash Al-Quran yang melarangnya. Haram minum khamr, sebab ada dalil yang mengharam- kannya. Kita tidak boleh menikah dengan seorang perempuan mahram sebab ada nash yang melarangnya.

Keterangan di atas ini, adalah sebagai beberapa contoh dari dua kesimpulan para ahli ushul fiqih itu tadi.

Yang pertama yakni:



Berdasarkan kepada dalil:
1. Firman Allah:



Artinya:
”Apakah mereka mempunyai kawan-kawan yang membikin syari’at bagi mereka dari agama yang bathal, yang tidak diizinkan oleh Allah.”

2. Firman Allah :




Artinya:
”Janganlah kamu melebihi batas dalam agama kamu dan jangan kamu berkata atas Allah melainkan yang hak.”

3. Sabda Rasulullah SAW:



Artinya:
”Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami akan apa yang bukan dari padanya, maka ia itu tertolak.”

Dan yang kedua, yakni:



Berdasarkan pada dalil:
1. Firman Allah:


Artinya:
”Dialah yang membuat bagi kamu apa-apa yang ada di bumi semuanya”.

2. Sabda Rasulullah SAW:




Artinya:
”Bahwasanya Allah mengadakan beberapa banyak kewajiban (fardlu), maka janganlah kamu sia-siakan dan ia membikin batas-batas maka jangan lewati batas itu, dan ia mengharamkan beberapa perkara, maka jangan kamu melanggarnya, dan ia diam dari beberapa perkara, karena rahmat dengan kamu sekalian tiada karena lupa, maka janganlah kamu mencari-cari hukum dari padanya” dan dalam satu riwayat, ”maka jangan kamu tanya-tanyakan dari padanya.”

3. Sabda Nabi:



Artinya:
”Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu sekalian.”

Agama Islam itu, sebagai yang telah diterangkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam Al-Quran, menunjukan, bahwa Allah SWT itu adalah Syari’uddin (pencipta agama) dan Rasulullah SAW yang menyampaikannya agama itu.



Jadi rukun agama itu:

a. Nash (dalil) Al-Quran,dan atau
b. Nash dan keterangan Nabi Muhammad SAW berkenaan dengan tiga perkara, yaitu:
1. Tentang ’akaid (i’tiqad=kepercayaan),
2. Tentang peribadatan, baik yang muthlak atau yang muqayad (dikaidkan) dengan zaman atau makan (tempat) atau sifat atau ’adad (hitungan) seperti kalimat azan dan iqamat. (azan dan iqamat ini, suatu upacara ibadah yang dikaidkan dengan waktu, ’adad dan sifat, artinya azan dan iqamat itu dilakukan pada waktu tertentu. Kalau azan dengan kalimat dua-dua kali, sedang iqamat dengan kalimat satu-satu kali dan disyaratkan harus dengan suara yang keras) dan
3. Tentang larangan-larangan yakni attahrimuddini, seperti minum arak, berjudi, membunuh dan lain sebagainya.
c. Hasil ijtihad dan istimbath para ulama Mujtahidin dalam soal-soal yang tidak ada nash yang sharikh, adapun yang menjadi pokok dan intisari dalam ijtihad ini ialah :




Artinya:
”Menegakkan kemashlahatan dan menolak kerusakan.”



IJTIHAD DAN ISTINBATH


Sebagai kita ketahui di atas tadi, bahwa agama Islam itu sangat luas dan dalam bagaikan lautan yang tak berpantai. Berdasarkan Quran yang berbilang ribu ayat-ayatnya ditambah dengan Hadits dan Sunnah Rasul selama dua puluh tiga tahun.
Di zaman Nabi, sampai kira-kira satu abad kemudian, ilmu fiqh itu belum ada pembahasan dan catatan seperti yang dibukukan sekarang para fuqaha.
Syarat dan rukun serta adabnya dalam suatu peribadatan belum disebut-sebut. Manakala Rasuullah SAW mengerjakan wudlu misalnya, lalu sahabat-sahabat yang melihatnya melakukan wudlu itu secara yang dilakukan oleh Rasulullah dengan tidak dikehendakinya keterangan, ini rukunnya itu syarat dan adabnya.
Apabila Rasul mengerjakan sembahyang, maka para sahabatpun sembahyang seperti yang dilakukan Rasul itu. Belum ada ketika itu keterangan, bahwa rukun wudlu itu enam atau empat perkara, atau syarat sah sembahyang ada sekian dan lain-lain sebagainya.
Sedikit sekali pertanyaan-pertanyaan yang dimajukan para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata:










Artinya:
”Aku tidak melihat suatu kaum yang lebih baik dari para sahabat Rasulullah SAW mereka tiada mengadakan pertanyaan kepada Rasulullah, melainkan tiga belas masalah, sehingga Rasulullah meninggal dunia dan semuanya tersebut dalam Al-Quran, diantaranya ayat yang artinya: ”Akan bertanya mereka itu kepadamu dari peperangan dalam bulan Haram, katakan olehmu, bahwa peperangan dalam bulan haram itu dosa besar,” dan ayat yang artinya: ”Dan akan bertanya kepadamu mereka itu dari hal haidl.” Kata Ibnu Abbas selanjutnya mereka tidak bertanya hanya dari hal yang akan ada manfaatnya kepada mereka.”

Berkata Ibnu Umar r.a:



Artinya:
”Janganlah kamu bertanya dari hal yang sekiranya tidak akan terjadi (membikin-bikin pertanyaan yang tak perlu), karena aku mendengar (ayahku) Umar bin Khattab mengutuk akan orang yang bertanya sesuatu yang bukan-bukan itu.”

Berkata Al Qasim:






Artinya:
”Bahwa kamu suka menanyakan dari berbagai perkara yang kami belum pernah menanyakannya dan kamu suka mencari-cari sesuatu yang kami tak pernah mencari-carinya, kamu bertanya yang aku tidak mengetahui apakah itu, sedang sekiranya kami mengetahuinya, maka tidak halal bagi kami menyembunyikannya.”

Sebagai contoh, cukuplah kiranya dengan dua keterangan dari dua orang sahabat, Abdulah bin Abbas dan Abdullah bin Umar dan ditambah dengan seorang Tabi’in, yaitu Qasim (penulis tak dapat mengatakan, apakah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar atau Al-Qasim bin Abdurrahman Assyam, kedua-duanya Tabi’in), bahwa permulaan Islam itu, yakni di zaman Nabi, kemudian di zaman sahabat, pertanyaan-pertanyaan itu tidak banyak dikemukakan orang, barulah di zaman Tabi’in banyak jugalah pertanyaan-pertanyaan itu dikemukakan.
Bertanya itu memang bagus dan perlu, jika pada tempatnya, tetapi kuranglah baik, jika sekira tidak ada manfaatnya.

Firman Allah Ta’ala:





Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganah kamu sekalian suka bertanya-tanyakan sesuatu jika sudah terang bagimu, maka iu akan menjadi tidak baik akan kamu.”

Di atas tadi sudah diterangkan, bahwa permulaan abad kedua agama Islam itu semakin meluas kebanyak wilayah dan daerah, ummat Islam di masing-masing tempat itu, perlu mengetahui hukum islam, Diwaktu itu sahabat Nabi sudah tidak ada, Tabi’in hanya tinggal sebahagian kecil yng masih hidup, Yang memberi fatwa-fatwa kepada ummat pada waktu itu adalah tabi’it-tabi’in di seluruh wilayah dan negeri Islam.
Sebagaimana diketahui, bahwa Al-Quran itu umumnya mengandung ajaran dan hukum pada pokok-pokok saja, bukan tafsilnya, kemudian dijelaskan juga dengan sunnah Nabi.
Dalam pada itu, mengenai soal-soal yang kurang jelas nampaknya dan dalam hal-hal yang tiada ada nash yang terang sampai kepada garis yang kecil-kecil, maka diberikanlah wewenang kepada siapa yang mempunyai keahlian dalam Al-Quran dan As-Sunnah itu, untuk beristinbath dan berijtihad artinya bagi mereka para ahli itu (ulama mujtahidin = mujtahid mufradnya), diberi wewenang oleh Allah dan RasulNya menggali mutiara-mutiara (hukum Islam) dari lautan Quran dan Sunnah yang demikian dalam dan luas.
Firman Allah:




Artinya:
”Dan jika dikembalikan dia kepada Rasul dan kepada Ulil Amri (ulama) daripada mereka niscaya mengetahuinya orang-orang yang mengistinbathkannya dari mereka.”

Ayat ini menunjukkan, bahwa soal-soal yang musykil dalam Al-Quran itu dapat dijelaskan bukan saja oleh Rasulullah, tapi juga oleh para ulama (ulil amri) yang mempunyai keahlian yang mau menggalinya (beristinbath).
Oleh Rasulullah SAW lebih dijelaskan lagi tentang wewenang (ijazah) kepada para mujtahidin itu dalam beristinbath akan Quran dan hadits dalam masalah-masalah ijtihadiah dengan sabdanya:




Artinya:
”Barangsiapa yang berijtihad, maka ia benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad maka ia tersalah, tetap baginya satu pahala.” (H.R. Bukhari Muslim).

Dari Amr bin Ash r.a. ia mendengar Nabi bersabda:




Artinya:
”Apabila menghukumi seorang hakim, maka ia berijtihad kemudian ia benar, maka baginya mendapat dua pahala maka apabila ia menghukumi dan ia berijtihad kemudian ia tersalah maka baginya satu pahala.”

Hadits yang disepakati atasnya.
Maka dapatlah diketahui dari ayat dan kedua hadits di atas, bahwa para ulama mujtahidin mempunyai wewenang untuk beristinbath dan berijtihad dari Al-Quran dan Al-Hadits itu, sehingga dalam hadits tadi dijelaskan, bahwa seorang mujathid yang benar, artinya muwafaqah dengan nafsul amrinya, yakni sesuai dengan kehendak Allah SWT ia akan mendapat dua pahala, satu karena ijtihadnya dan satu karena benarnya. Sedang yang tersalah, yakni tidak muwafaqah dengan nafsul amrinya, ia akan mendapat juga satu pahala.
Siapakah yang dapat mengetahui akan hakikat kesalahan seorang mujtahid, tidak ada lain hanyalah Allah SWT saja.



Artinya:
”Dan kesalahan ini hanya dapat diketahui pada hari kiamat atau dengan ilham dari Allah ta’ala.”

Bagaimanakah seorang mujtahid kepada mujtahid yang lain dalam satu masalah yang sama, tetapi pendapat keduanya berlainan, salah menyalahkankah antara mereka itu? Jawabnya, mereka itu tidak salah menyalahkan satu sama lain. Tetapi akan tetap dan teguh seorang mujtahid dalam pendiriannya. Ia tidak akan ragu-ragu dalam pendiriannya itu, sebab ijtihad itu sampai menghasilkan kepada zhon dalam hukum syara, seperti diterangkan oleh Ibnul Hajib:





Artinya:
”(Ijtihad) itu, ialah menghabiskannya seorang ahli fiqih akan kelapangannya untuk menghasilkan zhon degan hukum syara.”

Jadi, tidaklah seorang mujtahid itu, akan menyalahkan kepada mujtahid yang lain, manakala terjadi tidak ada persesuaian pendapat hal ini seperti dimafhumi dari keterangan Imam Hanafi r.a.:





Artinya:
”Ini, adalah sekedar pendapat Nu,man bin Tsabit, yakni dirinya, dan ia adalah sebaik-baik yang kami usahakan atasnya. Maka siapa yang dapat mendatangkan dengan yang lebih baik dari padanya, maka itulah yang lebih utama kebenarannya.”

Kemudian untuk melebih luaskan lagi akan pandangan kita ummat Islam (sehingga kita tidak menjadi ta’ashub = fanatik mazhab) bahwa antara mereka mujtahidin tidak salah menyalahkan, malah hormat menghormati satu sama lain tasamuh dan toleransi antara satu sama lain, atau satu mazhab dengan mazhab yang lain, yang memang demikianlah perbuatan ”Ahli Sunnah wal-Jama’ah” maka di bawah ini kami nukilkan dari kitab ”Hujjatullahil Balighah” juz I muka 159 sebagai berikut:

Artinya:
”Dan sesungguhnya diantara para sahabat dahulu dan para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka, ada dari mereka itu yang membaca basmallah (bismillah), pada waktu sembahyang, dan sebagian tiada membacanya dan sebagian membaca bismillah dengan dinyaringkan dan sebagian lagi tiada dinyaringkannya, dan diantara mereka ada yang membaca qunut pada waktu sembahyang subuh dan ada yang tiada berqunut subuh, dan sebagian dari mereka ada yang berwudu karena sesudah bercanduk (diambil darah) dan keluar darah dari hidung dan sehabis muntah dan sebagian lain tiada berwudu lagi karena semua itu, dari sebagian mereka ada yang berwudu, lagi apabila mereka memegang zakar atau bersentuh kulit dengan syahwat antara lelaki dengan perempuan dan sebagian lainnya tiada berwudu lagi karena demikian itu, dan sebagian mereka ada yang berwudu, karena sehabis makan makanan yang dimasak dan ada yang tidak berwudu lagi karenanya, dan sebagian mereka berwudu, sehabis makan daging unta dan sebagian tidak. Dan dalam keadaan mereka demikian itu sembahyang mereka tetaplah imam mengimami setengah mereka bersembahyang di belakang setengah yang lain. ”Demikian seperti apa yang terjadi bagi Imam Abu Hanifah dan ashabnya dan juga Imam Syafe’i dan para ulam lainnya, mereka mengerjakannya sembahyang di belakang, meskipun mereka (Imam-imam) itu tiada membaca bismillah dalam surat Fatihah dalam waktu sembahyangnya, tiada di waktu (sembahyang) sir atau di waktu jahar. Demikian juga Harun Al-Rasyid pernah menjadi imam sembahyang setelah ia bercanduk (diambul darah) sedang Imam Abu Yusuf sembahyang bermakmum di belakangnya, dan ia (Imam Abu Yusuf) tiada beri’adah). Adapun Harun Al-Rasyid penganut Mazhab Maliki (mendapat fatwa dai Imam Malik) yang berpendapat bahwa ihtijam (bercanduk) itu tidak membatalkan wudhu.”



APAKAH SEMUA MUJTAHID BENAR?


Para ahli ushul fiqih tiada sependapat dalam menilai apakah para mujtahidin itu benar semuanya, manakala mereka mengijtihadkan suatu masalah yang sama, pendapatnya berlainan. Seperti masalah wudhu Mazhab Syafe’i berpendapat, rukun wudhu itu enam, tetapi Mazhab Hanafi empat perkara. Seperti juga Mazhab Syafe’i menghukumkan burung elang itu haram dimakan, daging binatang buas haram, kodok hukumnya haram dimakan, tetapi Mazhab Maliki menghalalkannya. Anjing najis mughallazhah, dan dagingnya haram dimakan pada pendapat Mazhab Syafe’i, tetapi Mazhab Maliki berpendapat anjing itu suci, dan malah kata setengah ulama Malikiyah dagingnya boleh dimakan hanya makruh.
Dalam hal ini, para ahli ushul fiqih bertanya-tanya:


Artinya:
”Apakah tiap-tiap mujtahid itu benar atau sebagian benar dan sebagian salah? Sebagian mereka berkata: ”Semuanya benar.” Sebagian mereka yang lain berkata: ”Sebagian benar dan sebagian salah, akan tetapi yang salah itu diampuni oleh Allah.”

Demikianlah pendapat para ahli ushul fiqh.

Memanglah jika dikatakan bahwa semua para mujtahid itu benar (hak), demikian itu dapat dimengerti dan dibenarkan akal kita, sebab seperti yang diterangkan oleh hadits di atas tadi, bahwa mujtahid yang tersalah sekalipun mendapat pahala juga dari Allah SWT sedangkan sesuatu kesalahan seorang mujtahid itu, pada nafsul amrinya hanya Allah sajalah yang mengetahui.
Akan tetapi lebih tepat lagi yang mengatakan, bahwa sebagian mujtahid itu benar dan sebagian itu salah, hanya saja yang salah itu juga diampuni oleh Tuhan SWT.
Mereka berpendapat, bahwa mustahil masalah yang hukumnya berlainan, kedua-duanya benar dan hak. Yang satu benar, yang satu lagi tentu salah. Misalnya, seperti Imam Syafe,i r.a. berpendapat, bahwa bersentuh kulit antara lelaki dan perempuan yang sama-sama baligh serta bukan mahram itu membatalkan wudhu, akan tetapi Imam Hanafi tidak membatalkannya. Dalam hal ini, apakah Imam Syafe’i yang benar dan yang muwafaqah dengan nafsul amrinya atau Imam Hanafi?
Kaol pertama membenarkan kedua-duanya dan kaol kedua mengatakan salah satunya benar dan yang satu lainnya salah, tapi diampuni dan diberi pahala oleh Tuhan.
Siapakah yang mengetahui akan hakekatnya, mana yang benar dan manakah yang salah antara kedua pendapat itu.
Seperti telah diterangkan di atas:



Artinya:
”Kesalahan ini baru diketahui pada hari Kiamat atau dengan jalan ilham.”

Bagi setiap mujtahid, tidak boleh mengikuti (taklid) kepada suatu pendapat mujtahid yang lain, sebab seperti telah diterangkan di atas, bahwa ijtihad itu, berusaha keras guna mencapai zhon akan sesuatu hukum syara.





Menurut keterangan Al-Fawaid muka 50 sebagai berikut:









Artinya:
”Adapun seorang mujtahid haram atasnya bertaklid (kepada yang lain) dalam masalah yang diijtihadkan olehnya, karena ia harus tetap berpendirian dari ijtihad yang jadi dasar taklid itu. Tetapi mujtahid mustakil (mutlak) yang mempunyai syarat-syarat yang cukup seperti yang disebut dalam Awail Al- Qadla, sudah susah dicari sejak tahun enam ratusan, demikianlah keterangan Ibnu salah.”


MUKALLID DAN TAKLID


Bagi orang awam (bodoh) tidak dibebani dia harus dan wajib ijtihad, tapi bleh taklid dan malah wajib taklid. Orang yang taklid namanya mukallid. Adapun taklid itu hukumnya wajib bagi orang yang awam yang tidak mempunyai kepandaian berijtihad, karena firman Allah:



Artinya:
”Maka wajiblah kamu bertanya kepada ahli zikir (orang pandai) jika kamu tidak tahu.”

Adapun ta’arif taklid, yaitu:



Artinya:
”Yaitu, mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”

Bagi kita sebagai mukalid, boleh mengikuti (taklid) kepada Imam (Mujtahid) manapun. Boleh kepada Syafe’i, boleh kepada Imam Hanafi, boleh mepada Imam Maliki, boleh kepada Imam Hambali atau kepada Imam Mujtahid manapun yang kita ketahui mazhabnya (jalannya) yang kita taklidi.
Tersebut dalam Alfawaidul muka 51 sebagai berikut:







Artinya:
”Ketahuilah, yang paling benar dari perkataan Ulama Mutaakhirin, seperti syekh Ibnu Hajar dan lainnya, bahwasanya boleh berpindah-pindah dari satu mazhab ke mazhab lain dari pada mazhab-mazhab yang mudawan, meskipun semata-mata kemauan saja, sama ia ada untuk selama-lamanya atau pada suatu masalah.”

Dan seterusnya:





Artinya:
”Tiada mengapa taklid kepada suatu mazhab yang tidak tetap pada satu-satu masalah sama taklidnya itu kepada salah satu Imam yang empat atau kepada yang selainnya dari Imam-imam yang terpelihara mazhabnya dalam masalah yang bersangkutan dan tercatat sehingga diketahui syarat-syarat dan ibarat-ibaratnya.”

Dan taklid itu boleh kepada mujtahid dan juga kepada sahabat Nabi menurut Mazhab Malik dan kebanyakan pendapat para ulama Hanafiyah, juga pendapat Imam Syafe’i pada qaol Qadim.
Seperti diterangkan dalam syarah Alla’ali lil Hifzhi sebagai berikut:





Artinya:
”Qaol qadim Imam Syafe’i mengatakan, bahwa perkataan sahabat itu menjadi hujah dengan mutlak bagi mujtahid dan lainnya (umumnya kaum muslimin) dan itulah juga menjadi pendapat mazhab Malik dan kebanyakan ulama Hanafi.”

Menjadi hujah, artinya boleh diikut atau ditaklidi. Malahan menurut fatwa Ibnu Zaid, seperti yang diterangkan oleh Sayid Umar dalam Hasiyahnya demikian:




Artinya:
”Bahwa orang awam itu, tatkala amalnya bersesuaian dengan seorang Imam yang sah ditaklidinya, maka sahlah amalnya orang itu, sekalipun ia tidak bertaklid lagi, karena untuk keluasan bagi hamba Allah ta’ala.”

Sampai dimana batas awan itu, diterangkan dalam ”MA’DANUL-JAWAQITIL-MULTAMI’AH FI MANAQIBILAIMMATIL ARBA’AH”, demikian:





Artinya:
”Dan yang disebut orang ami itu pada uruf mereka, yaitu setiap orang yang tidak dapat menyusul hukum syara dari dalilnya, maka bolehlah baginya, malah wajib atasnya bertaklid, karena dalil:


Berkata Al-Alamah Abdurrahman bin Sulaiman rahimahullah:



Artinya:
”Kitapun, karena sedikit sekali pengetahuan kita tentang ushul dan dalil dan lain-lainnya, termasuk awam.”

Sekali lagi perlu diterangkan di sini, bahwa para imam mazhab itu, tiadalah terbatas hanya kepada Imam empat, tetapi banyak-banyak lagi, Al-fawaid muka 50 menerangkan:












Artinya:
”Tiadalah mazhab-mazhab yang boleh diikuti itu, terbatas kepada yang empat saja, tetapi banyak lagi ulama-ulama yang mempunyai mazhab yang dapat diikuti pula, seperti Imam Syufyan Tsauri dan Imam Sufyan bin Ujainah dan Imam Ishak bin Rahujah dan Imam Dawud Zhahiri dan Imam Auza’i. Hanya beberapa Ulama ashab kami telah memberi keterangan bahwa tidak boleh bertaklid kepada selain Imam empat. Adapun sebabnya mereka mengatakan demikian, karena sudah tidak ada kepercayaan lagi terhadap selain empat mazhab itu, oleh karena tiadanya sandaran-sandaran yang menghalangi dari perobahan dan pergantian, perbedaan dengan mazhab empat, disebabkan para Imamnya benar-benar telah mncurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam memperbaiki Qaolnya, dan menerangkan yang tetap dan tidak tetap dari yang mengatakannya, maka dapatlah dipercaya yang memegang mazhabnya itu dari perobahan dan penyelewengan dan menerangkanya akan yang sahih dari yang dloif.”

Dari keterangan ini dapat disimpulkan:

1. Mazhab itu banyak, tidak terbatas kepada empat.
2. Sebagian Ulama melarang taklid kepada selain mazhab empat, sebab tidak mudawan (tercatat) dan karena tidak ada keterangan yang menembus sampai kepada yang mempunyai mazhabnya. Artinya, adapun satu-satu masalah yang dapat diketahui jalan mazhabnya itu boleh-boleh saja, taklid kepadanya.

Malahan ada juga Ulama yang berpendapat, bahwa bagi orang yang awam (seperti kebanyakan ummat Islam di zaman ini), mustahil mereka itu dapat menetapi dalam satu mazhab yang tertentu, sehingga berkata:



Artinya:
”Pendapat ini, adalah dari Al-Allamah Abi Bakar Al-Ahdal dan ia menentang keras kepada pendapat kepada mazhab yang tertentu.

Kemudian perlu dijelaskan disini, bahwa dilarang ta’ashub, mazhab, karena akibatnya sangat tidak baik. Kita jangan fanatik kepada satu mazhab saja. Haruslah diketahui, bahwa semua mazhab baik, semua para mujtahid itu ala hudan mirrobbihim, mereka para mujtahid karena itu, kita harus tasamuh, harus toleransi kepada setiap kaum Muslimin mazhab apapun dan golongan manapun juga. Kalau kita baik, mungkin orang lain itu lebih baik lagi. Kita jangan merasa tukang monopoli kebaikan. Kalau sana tidak baik, mungkin kita lebih tidak baik lagi.
Dalam Muktashar Fatawi Ibni Hajar, Syeh Ibnu Qadli mendapat keterangan dari Annasafi Al-Hanafi:




Artinya:
”Wajib bagi kita apabila kita ditanya orang dari hal mazhab, kita dan mazhab yang menyalahi kita dalam furu, kita harus menjawab, bahwa mazhab kami itu benar ihtimal salah dan mazhab yang menyalahi kami itu salah tapi ihtimal benar”.

Pada suatu hari Sultan Harun Al-Rsayid bermusyawarah dengan Imam Malik r.a. bahwa baginda ingin agar kitab Al-Muwatha digantungkan di atas ka’bah, maksudnya setiap orang yang berziarah ke Mekkah dari seluruh pejuru dunia, mereka mengambil manfaat faedah dari Al-Muwatha itu, artinya, supaya manusia bermazhab semuanya denga Mazhab Maliki, maka Imam Malik r.a. menjawab:






Artinya:
”Janganlah paduka kerjakan demikian itu, karena para shahabat Rasulullah SAW itu, berikhtilaf (berbeda-beda) dalam mengerjakan furu dan mereka bercerai-berai di berbagai negeri dan setiap tahun berlalu.”

Dua keterangan di atas itu, menunjukan bawa kita tidak boleh fanatik mazhab, janganlah kita mempunyai pandangan dan perasaan dalam hati, bahwa kita benar sendiri, berpendirian mazhabnya saja yang benar, mazhab yang lain tidak benar. Ketahuilah bahwa, mazhab yang boleh diikuti itu banyak dan kesemuanya benar, artinya boleh diikuti oleh orang awam.




MENGAMBIL YANG ENTENG -NETENG SAJA



Tersebut dalam Al-Fawaid juga, muka 52 :






Artinya:
”Yang terlebih sah, bahwa seorang ami itu, dibolehkan bertaklid dengan mazhab yang disukainya, sekalipun memilih yang mafdul (yang dipandang utama) dari yang afdhal (lebih utama) selama ia tidak mengambil yang enteng-enteng saja. Tetapi malah boleh juga meskipun mengambil yang enteng-enteng saja pendapatnya Izzudin dan lainnya dari para ulama.”

Keterangan ini bisa diambil kesimpulan, bahwa:
1. Bahwa orang awam itu boleh bermazhab kepada mazhab manapun;
2. Boleh mengamalkan yang mafdul meskipun tahu adanya yang afdlal;
3. Tiada boleh memilih dan mengamalkan yang enteng-enteng saja dari mazhab itu.
4. Sebagian ulama lainnya seperti Izzudin dan yang lain-lain membolehkan meskipun mengambil dan mengamalkan yang enteng-enteng saja.



TALFIQ



.




TENTANG ZUHUD DAN ITSARNYA


Berkata Ibnu Fadillah Al-Amari: ”Pada setiap tahunnya Ibnu Taimiyah menrima harta yang tak terbilang banyaknya, tetapi semuanya dihadiahkannya kepada siapa saja yang dipandang membutuhkannya, ia tiada meninggalkan di tangannya walu sedirham dan tiada membelanjakannya untuk keperluan pribadinya, malah terkadang pakaiannya sendiri dicabutnya, diberikan kepada yang memintanya. Tabiat dan sifat semacam ini sudah masyhur pada orang banyak di masa itu.”
Diceritakan oleh seorang yang dapat dipercaya: ”Pada suatu hari sejak duduk di hadapan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan salamlah ia kepada syekh. Maka syekh melihatnya sambil menjawab salam. Demi dilihatnya, dapat diduga, bahwa laki-laki tersebut menghajatkan kepada sorban (imamah), dengan tiada ragu sedikitpun syekh mencabut sorban yang dipakainya dan dibelahkannya dibagi dua, sebagian dipakainya lagi dan sebagian diberikan kepada laki-laki tadi.”
Seseorang yang dapat dipercaya berkata pula: ”Pada suatu hari Ibnu Taimiyah berjalan-jalan melalui suatu tempat, tiba-tiba ada seorang fakir memanggil-manggil kepadanya. Syekh Ibnu Taimiyah menduga, bahwa orang itu mempunyai sesuatu hajat, tetapi syekh pada waktu itu tidak mempunyai apa-apa yang untuk diberikan maka terpaksa mencabut baju yang dipakainya dan diberikannya kepada fakir tersebut, sambil syekh minta maaf, karena kebetulan sedang tidak ada apa-apa yang untuk diberikan.”
KEBERANIAN DAN GAIRAHNYA
ATAS AGAMA DAN TANAH AIR


Ibnu Taimiyah sangat zuhud dan wara
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB


Nama lengkapnya, adalah Muhammad bin Abdulwahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Masyarif.
Dilahirkan pada tahun 1115 di Negeri Ujainah satu bagian dari Nadjiyah.
Masih di dalam umru kekanak-kanakan ia sudah mulai belajar membaca Al-Quran dan sejak waktu kecilnya, tidak suka bermain-main dengan sesama anak kecil sebagai kebiasaan bagi anak-anak, tetapi harus menghabiskan waktunya untuk belajar hingga sebelum umur 10 tahun sudah hafadz Al-Quran.
Ia sangat tajam pikirannya dan sangat cerdas otaknya, cepat hafadz, fasih ucapannya dan istimewa kepintarannya.
Ia belajar ilmu dari ayahnya dengan sungguh-sungguh sebelum belajar ke lain daerah. Dan ayahnya mulai melihat tanda-tanda keistimewaan yang ada pada anaknya itu, sehingga ia menjadi harapannya benar-benar.
Saudaranya Sulaiman namanya pernah mengatakan, bahwa ayahnya Abdul Wahab sangat merasa kagum atas keistimewaan dan kecerdasan anaknya Muhammad dalam masa sebelum sampai kepada umur balighnya, malah ayahnya pernah berkata: “Sungguh saya telah banyak mengambil faedah dari anak saya Muhammad tentang beberapa hukum.”
Sejak kecilnya ia suka sambahyang berjamaah. Setelah umur baligh ia dititipkan oleh ayahnya, kemudian ia dibawa naik haji menyempurnakan rukun Islamnya ke Mekkah dan terus dibawa ziarah ke Madinah, dan disana bermukim selama dua bulan.
Ia belajar fiqih pada ayahnya dalam mazhab Ahmad bin Hambal. Semua yang diajarkan kepadanya cepat dapat dihafadz sehingga mengherankan kawan-kawannya.
Kemudian ia pergi ke luar daerah meneruskan pelajarannya yaitu ke Hijaz dan Bashrah dari beberapa ulama diantaranya Syeh Abdullah bin Ibrahim An-Najdi kemudian Al-Madini.
Di Bashrah dan disinilah yang paling lama, ia menerima pelajaran Ilmu Hadits dan Fiqih dari beberapa ulama juga belajar Nahu dan beberapa kitab Lughat dan hadits.
Di sana ia mulai mengembangkan ketauhidan dan ia sering menerangkan bahwa kita cinta kepada para wali dan mahabah kepada para solihin itu, adalah mengikuti jejaknya dan mengikuti petunjuknya serta meniru segala kelakuannya.
Sesudah beberapa lama tinggal di Bashrah, kemudian ia kembali ke negerinya. Oleh karena ayahnya sudah pindahdari Ujaenah ke Harjamala, maka iapun turut tinggal disana bersama ayahnya.
Disana ia mengembangkan tauhid, karena dipandangnya ketauhidan disanapun sudah rusak dan ia menentang untuk minta-minta kepada selain Allah. Ia menyebarkan Syariat Islam kepada orang banyak disana dengan seluas-luasnya dan memberantas bermacam-macam khurafat dan bid’ah.
Karean sikapnya yang tegas dan keras dan tidak suka menutup-nutupi hak, maka ia mendapat rintangan dan tentangan yang keras dari lawan-lawannya, sehingga mendapat tuduhan bahwa ia melarang pengikut-pengikutnya membaca kitab Fiqih, Tafsir dan hadits. Juga tertuduh telah membakar beberapa macam kitab tersebut serta memperbolehkan menafsirkan Quran dengan faham semaunya.

KHATIMAH


Diakhir dari beberapa riwayat hidup dari para Imam Besar islam ini kami cantumkan juga dari riwayat hidup kedual ulama mtaakhirin, yaitu riwayat Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdulwahab; yang terkadang menjadi persoalan di kalangan ummat Islam.
Maksud kami, adalah untuk memperkenalkan kepada siapa yang belum mengenal riwayat hidup kedua ulama tersebut.
Menurut pengetahuan kami, biasanya yang sampai kepada kita, hanyalah khabar yang menjelekkan dan memburukkannya saja, sehingga mungkin masih banyak mengesan pada pikiran-pikiran sebagian ummat Islam di negara kita ini, bahwa Ibnu Taimiyah kafir, Muhammad bin Abdulwahab (dan kaum Wahabi) itu kafir. Ma’azallah! Entah siapa yang memperuncing dan memperbesar khabar yang jahat ini.
Wallahua’lam!
Yang pasti, kami kira, adalah karena kita semua terpengaruh siasat dan politik kolonial dan nekolim yang senantiasa mencari jalan untuk memecah belah ummat Islam, agar ummat Islam cerai berai, agar ummat Islam hilang kekuatannya, untuk supaya cahaya Islam itu tidak dimiliki oleh ummat Islam sendiri.
Kita tahu, bahwa Pemerintah Belanda dahulu mempunyai politik “Farriq Tasud” politik “Verdeel en heers” Pemerintah Inggris mempunyai politik “Farriq tasud”, politik “Devide et empera”. Belanda dan Inggris sama-sama penjajah, sama-sama imperialis.
Bangsa dan ummat Islam Indonesia dijajah oleh Belanda. Bangsa dan ummat Islam di negeri-negeri Arab, Mesir, di Mekkah,di Syiria dan lain-lain dijajah oleh Inggris. Bukankah ummat Islam Indonesia menentang pemerintah jajahan Blenda dahulu? Bukankah Abdul Aziz bin Su’ud pembawa paham Wahabi dan ummat Islam Arabia menentang pemerintah dan kekuasaan Inggris dahulu? Bukankah pula Muhammad Abduh dan lebih-lebih Jamaluddin Al-Afgani menentang kekuasaan Inggris di Mesir dan negara-negara Islam pada umunya dahulu?
Memang ada, perbedaan-perbedaan pendapat antara kita sesama kita, ada perbedaan pendapat antara mujtahid dengan mujtahid, memang ada perbedaan pendapat antara ulama dengan ulama yang belum dapat dipertemukan, dan tidak perlu dipertemukan, tetapi itu semua, tidak perlu bagi kita, bagi kaum muslimin, menjadi persengketaan yang prinsipil, menjadi persengketaan yang tidak ada habis-habisnya, apalagi sampai kufur mengkufurkan satu sama lain.
Perbedaan yang kecil ini, perbedaan yang bukan prinsipil ini, lalu dipakainya kesempayan oleh penjajah-penjajah atau alat-alatnya diadu dombakan satu sama lain, diadu dombakan satu negara Islam dengan negara yang lain. Akhirnya terus-terusan beradu, terus menerus bertengkar yang tidak henti-hentinya sampai babak belur, sampai sama-sama bonyok, sampai sama-sama lemah dan lesu, habis kekuatannya karena berkelahi dengan kawan sendiri di hadapan tuan besar yang mengadu domba itu, sambil meniup-niup peluit dengan terus menerus tanda perkelahian yang belum dan tak kunjung selesai.
Muhammad bin Abdulwahab dan golongannya yang dikatakan kaum Wahabi mereka merasa wajib di sisi Allah untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan merobah cara orang-orang berziarah di kuburan-kuburan yang sudah menyimpang dari keharusannya berziarah, yang dipandangnya kebanyakan orang-orang itu bukanlah ziarah lagi, tetapi sudah dikhawatirkan beribadah dan menyembah kuburan-kuburan itu, sehingga dalam taraf mula-mula mereka dilarang sama sekali tidak boleh berziarah ke kuburan-kuburan, kepada atsar Nabi, Sahabat-sahabat dan sebagiannya (yang kami kira dalam hal ini sudah tentu dengan maksud saddul bab), malah akhirnya terpaksa harus dibongkarnya nisan-nisan pekuburan itu, kubah-kubah pekuburan itu, sebab banyak manusia yang tidak mau mengerti, banyak manusia yang membangkang sehingga dikhawatirkan akan mendekatkan kepada kesyirikkan.
Terdengar oleh muslimin di negeri lain, mungkin di negeri yang sudah baik caranya berziarah sesuai dengan ketentuan yang dobolehkan oleh syara, maka mereka marahlah kepada kaum Wahabi, mereka menuduh Wahabi anti ziarah, Wahabi menghina kuburan para wali, para sahabat dan orang-orang besar Islam lainnya dan kemudian dihembuskan oleh angin lada dan angin panas oleh penjajah-penjajah dan antek-anteknya, sehingga ummat Islam tidak mau memeriksa persoalan yang sesungguhnya, pikirannya tidak obyektif lagi, rasa dendam satu sama lain timbul anti pati Wahabi, langsung atau tidak langsung seakan-akan menjadi pembantu-pembantu kolonialis - imperialis dengan cara masal dan frontal. Dan akhirnya ummat Islam membenci Wahabi, yang berarti membenci Pemerintah Saudi Arabia, yang berarti pula secara moril membantu Inggris tanpa diberinya upahan.
Kami tidak mengetahui, bagaimana yang sebenarnya tentang cara-cara berziarahnya mereka pada ketika naik haji di Mekkah dan Madinah di waktu Syarif Husein dan Pemerintah Arab sebelumnya masih berkuasa.
Kami hanya tahu pada tahun 1962, dimana tentang ziarah pada waktu itu oleh Pemerintah Saudi Arabia (atau dapat dikatakan oleh Wahabiyin) sudah diperbolehkan dengan leluasa, seperti ziarah di Baqi dan lain-lain.
Artinya mungkin karena dipandangnya bahwa I’tiqad zuwar (orang-orang yang berziarah) itu sudah lurus sesuai dengan yang diizinkan oleh syara.
Padahal pada waktu itu, waktu I’tiqad zuwar dipandang sudah lurus, segingga mengerjakan ziarah di kuburan-kuburan itu sudah diperbolehkan kembali dengan leluasa, tetapi kami sendiri pada waktu itu masih melihat jamaah yang melontarkan kertas-kertas kecil ke dalam kolong “maqam Ibrahim”, sehingga di kolong tersebut, banyak berpuluh atau beratus-ratus kertas lemparan orang-orang banyak yang datang di Masjidil Haram sambil mereka mengerjakan sembahyang atau thawaf.
Menurut kata kawan-kawan, bahwa kertas-kertas itu berisi dari surat kepada Nabi Ibrahim menyampaikan salam dan sebagaianya.
Ada juga sebagian jamaah mandi dan menurut khabar ada juga yang sampai minum di “Qulah Jaman”, yaitu suatu qulah tempat pembuangan air peciringan dari kota Mekkah dan masuk di bawah Masjid yang kemudian mengalir kesana, yang menurut kata kawan-kawan pula mereka yang mandi atau minum itu, mereka ingin menjadi orang kaya.
Ada juga orang-orang yang menangis sambil merangkul kiswah (kelambu) Baitullah, tetapi tangannya hidup mengudari dan menyobeki kiswah-kiswah tersebut, sebab benangnya atau jaritnya untuk dibawa pulang menjadi oleh-oleh ke rumah di negerinya nanti untuk dijadikan azimat untuk bilbarkah katanya.
Lain pula orang-orang yang sengaja membeli kain, seperti kain belacu barang satu geblok, lalu dicuci (dibasahi) dengan air zamzam kemudian dijemurnya di dalam Masjidil Haram, yang kain itu nanti akan dibawa pulang ke negerinya untuk dijadikan pakaian disana, karena bilbarkah memakai pakaian dengan kain yang dicuci dengan zamzam.
Apakah semua perbuatan ini, semua perbuatan jamaah haji yang sedang mensucikan diri di hadapan Tuhannya, akan dibenarkan oleh kita? Tentu tidak! Sekali lagi tidak! Sekurang-kurangnya hukumnya haram, kalaupun tidak sampai kepada syirik.
Karena hal itu terjadi, pada waktu sekarang, di waktu sudah diadakannya usaha-usaha pembersihan tauhid dan ibadah oleh Pemerintah Saudi Arabia itu, bagaiman dan betapakah sebelumnya?
Maka kami merasa tidak heran apabila dahulu terjadi penghancuran nisan-nisan kuburan itu, untuk perlu adanya tindakan-tindakan sementara “Saddul bab” dari para ulama dan Pemerintah Saudi Arabia dalam usaha meluruskan cara ziarah dan ibadah itu.
Hendaknya janganlah kita bercepat-cepat menuduh atau menyangka tidak baik atau jahat kepada seseorang terutama kepada ulama, lebih-lebih mencap kafir, munafik dan sebagainya. Hendaknya sesuatu yang kita sangka tidak baik (jahat) itu, kalau boleh kita ta’wilkan kepada yang baik, kalau tidak, lebih baik kita diam.
Sabda Rasulullah SAW


Artinya:
“Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata akan yang baik atau diam.”

Kami ambil contoh dari Syekh Yusuf An-Nabhani, ketua Mahkamul Huquq di Bairut, beliau menulis mengenai Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “JAWAHIRUL BIHAAR FI DADLAILIN NABIJJIL MUCHTAR”, dimana beliau menerangkan bahwa pahamnya dan pendapatnya sama dengan paham dan pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang mencaci Nabi itu, hukumnya kafir dan boleh dibunuh. Tapi dalam kitabnya “SYAWAHIDUL HAQ”, Yusuf Nabhani tidak secocokan tentang masalah bid’ah dengan Ibnu Taimiyah.
Dalam Jawahirul Bihar muka 982, Syekh Yusuf Nabhani berkata :



Artinya:
“Dan janganlah heran, wahai orang yang suka mentelaah kitabku ini dan dibandingkan dengan kitabku “Syawahidul Haq” dari nukilanku daripadanya (Ibnu Taimiyah) di sini akan beberapa permata yang bermanfaat, dan tolakkanku atasnya (Ibnu Taimiyah) disana (dalam Syawahidul Haq) akan beberapa bid’ah yang membahayakan. Sebab beliau itu (Ibnu Taimiyah) seorang imam besar dalam Islam, maka tidak boleh kita meninggalkan mengambil manfaat dengan kebaikan-kebaikan beliau yang banyak dan memberi faedah, karena kejahatan-kejahatannya yang sedikit yang dapat dihitung.”

Perkataan Syekh Yusuf An-Nabhani ini, menunjukkan kelapangan dadanya, ketasamuhan jiwanya dan keluasan cara berfikirnya, meskipun ia dalam kitabnya Syawahidul Haq menentang kepada Ibnu Taimiyah mengenai masalah bid’ah, tatpi dalam kitab Jawahirul Bihaar itu, ia dengan tidak ragu mengambil pendapat Ibnu Taimiyah dalam menghukumkan orang yang mencaci Nabi dengan memberikan keterangan dengan perkataan dan komentarnya, betapa tidak katanya sebab Ibnu Taimiyah itu, adalah seorang imam Agama Islam yang besar, yang banyak kebaikannya yang harus diambil manfaatnya daripadanya dan sedikit sajalah kejelakannya yang bisa hapus dari karena kebaikannya itu.
Sampai disini sajalah risalah kecil ini kami akhiri, dengan doa semoga ia bermanfaat bagi kami sebagai penyusun sekeluarga dan bagi setiap orang yang sudi membacanya beserta yang telah memberikan pertolongan dalam terwujudnya risalah ini. Amiin.

No comments: