madrasah

Sunday, May 20, 2018

Anotasi Putusan Peninjauan Kembali Putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012






Putusan Peninjauan Kembali Sujiono Timan

Oleh: Dhona El Furqon

I.    Posisi Kasus

Sudjiono Timan merupakan seoorang pengusaha ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Mahkamah Agung pada tahun 2013 lalu membebaskan Sudjiono Timan dari segala tuduhan terkait dugaan korupsi BPUI. Putusan tersebut juga menganulir putusan kasasi yang memvonis Timan 15 tahun dan denda Rp 50 juta. sebagaimana dalam Anggaran Dasarnya PT. BPUI didirikan dengan tujuan:

(1)  Kegiatan usaha PT. BPUI ditujukan pada pengusaha kecil dan menengah, dan,

(2)   dalam kegiatan usahanya tidak boleh mengabaikan kaedah-kaedah (asas-asas) berusaha yang sehat.
Pada kenyataannya Sudjiono Timan bekerjasama dengan pihak lain dan  telah memberikan kredit tanpa agunan dengan cover investasi penempatan dana (placement line) melalui pembelian surat utang (Promissory Note) Kredit Asia Finance Limited (KAFL), Festival Company Inc, dan Penta Investment Limited serta penggunaan fasilitas Rekening Dana Investasi (RDI) yang menguntungkan pihak-pihak lain (Agus Anwar, Prayogo Pangestu dan lain-lain), yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar US$ 178,942,801,93 (seratus tujuhpuluh delapan juta Sembilan ratus empatpuluh dua ribu delapan ratus satu Dollar Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,56 (tigaratus enampuluh Sembilan miliar empatratus empatpuluh enam juta sembilanratus lima ribu rupiah dan limapuluh enam sen). Penempatan-penempatan dana melalui pembelian surat utang (Promissory Note / Commercial paper) tersebut selain dilakukan  tanpa prosedur transaksi keuangan seperti  due diligence, tidak memenuhi kriteria wajar sebagai commercial paper, tidak ada persetujuan Komite Investasi dan juga dilakukan untuk kepentingan “debitur PT. BPUI” sendiri yaitu PT. Elok Unggul (Kredit tanpa jaminan), Prayogo Pangestu  dan Jubile Venture Limited, yang pada dasarnya merupakan pemberian kredit tanpa agunan. 

Hal inilah, pihak penegak Hukum memnganggap bahwa Sudjiono Timan telah menyalagunakan kewenangannya sebagai direktur utama PT BPUI  dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc., Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan 98,7 dolar singapura

Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel Sudjiono Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke tingkat MA.

Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.

Tidak terima dengan Keputusan Kasasi Mahkamah Agung kemudian istri Sudjiono Timan selaku ahli waris mengajukan Peninjauan Kembali di tingkat MA. Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 13 Juli 2013 dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari istri terpidana di mana terpidana sendiri saat permohonan tersebut diajukan sedang melarikan diri (buron). Dalam pertimbangannya majelis menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan istri terpidana tersebut sah, oleh karena istri termasuk dalam pengertian 'ahli waris' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap Terpidana atau Ahli Warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Menurut majelis hak PK yang dimiliki Ahli Waris tersebut dapat digunakan terlepas dari apakah terpidana telah meninggal atau belum. 

Namun demikian putusan ini tidak bulat, salah seorang anggota majelis memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya hak PK Ahli Waris baru timbul jika Terpidana telah meninggal dunia. Atas dasar itu anggota majelis tersebut menyatakan permohonan PK yang diajukan istri Terpidana dalam kasus ini seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. 



II.          Dakwaan dan Putusan

a.   Pengadilan Jakarta Selatan

dakwaan

Konstruksi Dakwaan Terhadap oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa SUDJIONO TIMAN yakni subsidairitas (Primair-Subsidair),  didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi :

PRIMAIR melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3 tahun 1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;

SUBSIDAIR melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3 tahun 1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;

Adapun unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut ;

a.       Barang siapa

Berarti dapat diartikan siapa saja. Bahkan dengan menghubungkan barang siapa itu dengan penafsiaran Pasal 2 beserta penjelasannya, diartikan bahwa swasta pun dapat menjadi subjek dari Pasal 1 ayat 1 sub a diperkuat dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan MA No. 471 K/Kr/1979.

b.      Melawan hukum

Merujuk ke penjelasan otentik adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

c.       Memperkaya diri pribadi atau orang lain atau suatu badan 

Secara harfiah dapat diartikan memperkaya diri pribadi berarti menjadikan  bertambah kaya. Sedangkan kaya artinya mempunyau banyak harta. Dengan demikian, dapat diartikan menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi tambah kaya.

d.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dengan merujuk kepada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 setelah di baca tidak ada penjelasan. Akan tetapi menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam  bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

1.       Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah.

2.       Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan  perjanjian dengan negara.

3.      Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama  berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan kepada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahtraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Adapun unsur-unsur utama Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ;

a.    Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana Subjek hukumnya berarti disyaratkan harus memiliki kapasitas sebagai orang yan memiliki jabatan atau kedudukan dalam suatu organisasi/lembaga baik  jabatan dalam pemerintahan maupun non pemerintahan seperti pengurus yayasan, koperasi atau badan hukum perusahaan yang mengandung  persyaratan modal atau fasilitas dari keuangan negara. Kewenangan kesempatan, atau sarana yang ada padanya adalah kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diperoleh karena jabatan atau kedudukannya. Seorang yang  bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai  pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan tanggung jawab atas  penggunaan uang negara tersebut (putusan No.892K/Pid/1983).

b.    Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan tanggung  jawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan No.892K/Pid/1983).



Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 Nopember 2002,berbunyi:

1.    Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;

2.    Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;

3.    Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;

4.    Memerintahkan barang bukti berupa surat-surat kepada yang berhak





b.   Kasasi Mahkamah Agung

Amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 tanggal 03 Desember 2004 (Kasasi)  berbunyi:

-      Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi  Jaksa/Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut;

-      Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 Nopember 2002, Nomor: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel;

MENGADILI SENDIRI:

1.    Menyatakan bahwa Terdakwa SUDJIONO TIMAN tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;

2.    Menghukum Terdakwa SUDJIONO TIMAN oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun;

3.    Menetapkan masa tahanan yang pernah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4.    Menghukum pula kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,-(Lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

5.    Menghukum pula kepada Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000.00(Sembilan puluh delapan juta dollar  Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,-(tigaratus enampuluh Sembilan milliard empatratus empat puluh enam juta Sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah);

6.    Menetapkan barang-barang bukti berupa dokumen digunakan untuk perkara lain, sedangkan berupa Tanah Kavling HGB di Kunngan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama dan Rekening an SUDJIONO TIMAN dan Fanny Barkie Timan dirampas untuk Negara



c.    Putusan Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung)

Amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tanggal 31 Juli 2013 (Peninjauan Kembali), berbunyi:

-      Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Fanny barki (istri) selaku Ahli Waris Terpidana SUDJIONO TIMAN tersebut;

-      Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003, tanggal 03 Desember 2004 yang membatalkan putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan No. 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 Nopember 2002;

-      MENGADILI SENDIRI

1.    Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;

2.    Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;

3.    Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;

4.    Memerintahkan barang bukti berupa surat-surat dipergunakan untuk perkara lain, dan sedangkan berupa Tanah Kavling HGB di Kunngan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama dan Rekening an SUDJIONO TIMAN dan Fanny Barkie Timan dikembalikan  kepada yang berhak.



III. Alasan Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali kasus Sudjiono Timan yang diajukan oleh Istrinya dengan Alasan-alasan sebagai berikut:

1.    ALASAN KESATU

Majelis Hakim Tingkat Kasasi yang membenarkan keberatan-keberatan kasasi Penuntut Umum telah melakukan kekhilafan/kekeliruan yang nyata dalam menerapkan pengertian “melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 dengan cara mengacu seolah-olah pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1971, padahal yang dikutip Majelis Hakim Tingkat Kasasi adalah Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ;

2.    Alasan kedua

Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah pula melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam menerapkan unsur “melawan hukum” dalam arti melawan hukum secara materil dengan fungsi positif dalam perkara ini.

3.    Alasan ketiga

Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah melakukan kekhilafan yang nyata dalam menginterpretasikan perbuatan SUDJIONO TIMAN sebagai “tindak pidana  korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.

4.    Alasan Keempat

Putusan Majelis Hakim Tingkat Kasasi mengandung kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena didasarkan pada pertimbangan yang keliru, yaitu keliru dalam memberikan penilaian atas harta benda SUDJIONO TIMAN

5.    Alasan Kelima

Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan  yang nyata dengan menjadikan pertimbangan hukum seluruh dalil Penuntut Umum yang nyata-nyata mengandung kekeliruan dan kekhilafan sebagai dasar memutus Putusan Tingkat Kasasi



IV.  Pertimbangan Hakim Majelis Peninjauan Kembali

1.    Legal Standing diterimanya Pemohon Peninjauan Kembali.

Pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut; Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permintaan Peninjauan kembali berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

-      Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya ;

-      Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akte Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991) ;

-      Bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut ;

-      Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya ;

-      Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan kembali ;

-      Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undangundang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana ;

-      Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak ; lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris ;

-      Bahwa Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang didampingi oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan kembali pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan masing-masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari 2012

2.    Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan kembali yang mendasarkan permohonannya pada adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari putusan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, in casu dalam putusan Majelis Hakim Kasasi telah terdapat kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :

-      Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi pada halaman 228-229 angka 2 terdapat kekeliruan yang nyata sebab Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tidak berbunyi seperti apa yang dikutip oleh Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya pada halaman 228-229 a quo. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak tercantum ayat (1) dan penjelasannya tidak menyangkut mengenai pengertian melawan hukum, melainkan menyangkut pengertian Pegawai Negeri ;

-      Bahwa uraian penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dimuat dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi pada halaman 228-229 adalah penggalan dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk jelasnya berbunyi :

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” ;

Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut tidak secara tegas didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum ;

-      Bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang perbuatan melawan hukum materiil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara Pemohon Peninjauan kembali ;

-      Bahwa Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya Nomor 434 K/Pid/2003 pada halaman 232-233 hanya membuktikan unsur melawan hukum saja dengan menerapkan pengertian melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur pokok lainnya, padahal unsur-unsur tersebut merupakan “bestandelen”. Majelis Hakim Kasasi tidak membuktikan dan hanya mengambil alih pertimbangan hukum Judex Facti mengenai unsur-unsur lainnya selain dari unsur “melawan hukum” dalam dakwaan Primair, dan berpendapat bahwa unsur-unsur lainnya dari tindak pidana tersebut telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa ;

-      Bahwa Terpidana Sudjiono Timan tidak cukup untuk dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan Terpidana bersifat melawan hukum materiil, melainkan perlu juga dibuktikan apakah memang perbuatan Terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi (memenuhi rumusan delik) sehingga perbuatan Terpidana tersebut bersifat melawan hukum formil ;

-      Bahwa ternyata Majelis Hakim Kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya mempertimbangkan kalau Terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat internal Persero seperti Anggaran Dasar PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI), Surat Penetapan Investment Committee tanggal 31 Agustus 1994 No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarantee Agreement antara Bahana dengan Primawira tanggal 20 September 1996, Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI327/PP3/1997, tetapi Terpidana tidak ditemukan melanggar aturan formil yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

-      Bahwa kalau Majelis Hakim Kasasi menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut telah terpenuhi dengan mengambil alih pertimbangan hukum Judex Facti mengenai unsur-unsur lainnya selain unsur melawan hukum dalam dakwaan Primair, maka itu pun putusan Majelis Hakim Kasasi tidak tepat dan keliru mengambil alih pertimbangan Judex Facti/Pengadilan Negeri, sebab bukankah Judex Facti/Pengadilan Negeri telah mempertimbangkan dan menilai bahwa meskipun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ;

-      Bahwa menurut Judex Facti/Pengadilan Negeri, perbuatan Sudjiono Timan selaku Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (persero) dalam kaitan dengan kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd dan penggunaan dana Rekening Dana Investasi (RDI) masih dalam koridor hukum perdata yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1973 serta Anggaran Dasar dan keputusankeputusan Rapat Umum Pemegang Saham PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (persero) (halaman 313-319 putusan Pengadilan Tingkat Pertama). Sedangkan dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur ketiga “memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan” dan pertimbangan unsur keempat “secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.........” menyimpulkan, baik mengenai berapa jumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian Negara, belum dapat dihitung karena uang yang mengalir dari PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia kepada KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd didasari hubungan perdata dalam bentuk pinjam meminjam uang, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sebagai Kreditur sedangkan KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd sebagai Debitur yang saat disidangkan oleh Judex Facti masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utang-utang Debitur serta langkah-langkah lainnya ;

-      Bahwa dengan demikian adalah suatu kekeliruan yang nyata pula apabila Majelis Hakim Kasasi telah membebankan dan menghukum Sudjiono Timan (Terdakwa) dengan membayar uang pengganti sejumlah utang Para Debitur yakni USD $ 98,000,000 dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah lima puluh enam sen), padahal menurut Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ;

-      Bahwa PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Persero, dengan demikian operasionalnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham. Penyertaan Negara yang ditanam dalam BUMN tersebut, meskipun merupakan keuangan Negara yang dipisahkan, akan tetapi keuangan Negara tersebut sudah menjadi bagian dari kekayaan Persero, dan Direktur bertanggung jawab atas aktifitas perusahaan dalam pertemuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ;

-      Bahwa fakta yang terungkap di persidangan, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sejak berdiri tahun 1973 sampai dengan tahun 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak Terdakwa ditunjuk sebagai Direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP meraih keuntungan sebagai berikut :

Tahun 1994 untung sebesar Rp.2.000.000.000,- ;

Tahun 1995 untung sebesar Rp.11.000.000.000,- ;

Tahun 1996 untung sebesar Rp.22.000.000.000,- ;

Tahun 1997 untung sebesar Rp.23.000.000.000,- ;

Sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,- disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dollar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun 1999 dan tahun 2000 juga disebabkan oleh krisis moneter ;



-      Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat alasan pertimbangan dan kesimpulan Judex Facti/ Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dapat dikuatkan dan dipertahankan

3.   Disenting Opinion

Dalam musyawarah Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara ini, yaitu SRI MURWAHYUNI, SH., MH. yang berpendapat : Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan: 

-      Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ;

-      Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia ;

-      Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara ;

-      Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan ;



V.           Catatan Anator

a.   Tentang Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Sebagaimana surat dakwaan jaksa penuntut umum  bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa  berlangsung dari tahun 1995 secara bersama-sama dan berlanjut hingga tahun 1998. Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28  jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo

Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat

(1) KUHP.



Fokus masalah JPU adalah pada perbuatan Sudjiono Timan yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksi PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due diligence (pemeriksaan kelayanan pemberian pinjaman) terhadap  beberapa perusahaan seperti Kredit Asia Finance Limited (KAFL), Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd dan penggunaan dana subordinasi dari Rekening Dana Investasi (RDI). Dalam hal ini JPU menggunakan perbuatan melawan hukum materil sebagai fokus perbuatan dalam dakwaan. Perbuatan Terdakwa yang memberikan kredit tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Perusahaan serta asas-asas Perbankan, dianggap telah menyalahi hukum secara materil. Untuk itu dakwaan JPU hanya berfokus pada 2 jenis  perbuatan yang dimanifestasikan dalam dakwaan JPU, yakni perbuatan melawan hukum materil memperkaya diri sendiri Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang  No.3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 21 tahun 2000, dan perbuatan menyalahgunakan wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No.21 tahun 2000.



Di sisi lain, unsur “yang diketahui atau patut disangka” diakui di dalam doktrin hukum pidana sebagai  pro parte dolus dan pro parte culpa Unsur tersebut disebutkan secara terang di dalam undang-undang yang mana berakibat pada sifatnya yang bestandelen.Dalam hal ini JPU telah membuktikan unsur bestandelen tersebut di dalam dakwaan. Dakwaan JPU secara substantif, materi perbuatan dan upaya pembuktian yang dilakukan oleh JPU cukup baik. Namun, ada 1 hal yang patut disayangkan yakni sifat dakwaan JPU yang subsidaritas. Dari sisi kacamata penegak hukum, dakwaan subsidaritas pada dasarnya lebih effisien karena hanya cukup membuktikan salah satu dakwaan saja, apakah dakwaan primair atau subsidair. JPU tidak harus membuktikan kedua perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga permasalahan pembuktian dapat lebih fokus dipersidangan tanpa harus memecah konsentrasi JPU dalam membuktikan perbuatan lainnya. Namun, patut dicermati dalam melakukan pendakwaan terhadap jenis tindak pidana korupsi khususnya di bidang perbankan seperti kasus a quo, dakwaan JPU seharusnya bersifat kumulatif.



Dakwaan kumulatif dimaksudkan agar perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dapat dibuktikan seluruhnya, sehingga apabila ternyata Terdakwa diputus bersalah oleh Majelis Hakim, maka Majelis Hakim dapat memilih apakah akan menjatuhkan pidana menurut Pasal 63 KUHP atau Pasal 65 KUHP. Maksudnya adalah, Majelis Hakim kemudian dapat memilih apakah akan menjatuhkan pidana berdasarkan kumulasi sanksi pidana dari perbuatan pidana, atau menjatuhkan pidana dengan pidana terberat ditambah sepertiga. Namun, dalam dakwaan JPU tidak mencantumkan Pasal 63 KUHP, sehingga kita dapat melihat JPU mempunyai pandangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri.



Sebetulnya perbuatan Terdakwa termasuk dalam rezim Undang-Undang Perbankan Dalam dakwaan JPU yang berfokus pada perbuatan melawan hokum materil seperti yang telah disebutkan diatas, kami menilai bahwa terdapat kelemahan di dalam dakwaan JPU tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Sudjiono Timan seharusnya dapat digolongkan sebagai perbuatan Tindak Pidana Perbankan, bukan hanya tindak pidana korupsi. Melihat dakwaan JPU yang bersifat subsidaritas, dengan dakwaan baik primer maupun subsider menggunakan Undang-Undang  No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 Tahun 199 jo Undang-Undang  No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan Pasal 1 ayat (1) sub a sebagai dakwaan primer dan Pasal 1 ayat (1) sub b sebagai dakwaan sekunder, menjadikan dakwaan hanya berfokus pada perbuatan korupsi Sudjiono Timan. Padahal, ruang lingkup perbuatan adalah pada  bidang Tindak Pidana Perbankan. JPU hanya memberi dakwaan dengan menggunakan Undang-Undang Korupsi, tidak menggunakan Undang-Undang Perbankan dan peraturan terkait mengenai Perbankan, yang seharusnya jika digunakan, akan lebih mudah membuktikan perbuatan Sudjiono Timan sebagai Tindak Pidana Perbankan.  



Kembali ke dakwaan unsur diketahui atau patut disangka olehnya dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 telah diakui dalam doktrin hukum  pidana sebagai  pro parte dolus. Hal ini berarti bahwa bagian atau bestandelendari yang dirumuskan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tersebut mengarah kepada unsur kesengajaan dan kealpaan. Artinya, bahwa konsepsi adanya kesalahan, bukan harus berbentuk kesengajaan tetapi cukup hanya kealpaan. Kesengajaan harus dipandang sebagai “kehendak untuk melakukan perbuatan yang diketahui bahwa dilarang”, tetapi sebagai, “kehendak untuk melakukan perbuatan yang objektif dilarang”, bukan sebagai dolus molus (kesengajaan jahat). Hal ini

didasarkan atas beberapa hal yakni ;

a.    Setiap orang dianggap mengetahui undang-undang

b.    Untuk pengertian delik tidak diperlukan sama sekali apakah yang menjadi motif untuk melakukan perbuatan

c.    Hanya perbuatan-perbuatan yang diketahui oleh setiap orang yang  berpendidikan normal bahwa bertentangan dengan ketertiban dan kesusilaan masyarakat (in strijd met de zedelijke en maatschappelijke orde) yang akan ditentukan sebagai kejahatan (misdrijven).



Doktrin pro parte dolusini dapat juga ditemui dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan, serta kejahatan kesusilaan lainnya seperti Pasal 283, 287, 288, 290, 292 dan 293 KUHPDalam hal ini seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan unsur pro parte dolus dan pro parte culpa tersebut.



Seharusnya, jika Majelis Hakim PK melihat unsur “diketaui atau patut disangka” tersebut sebagai pro parte dolus pro parte culpa yang merupakan bagian/Bestandelen dari rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971, maka Terpidana Sudjiono Timan tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari tuntutan JPU. Dan menurut Anator , unsur tersebut telah dipenuhi oleh Terpidana dalam melakukan perbuatan Tindak Pidana yang melanggat Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Terpidana dengan pengetahuan dan jabatannya sebagai Direktur PT.BPUI, telah mengetahui atau patut menyangka bahwa perbuatannya tersebut dapat merugikan perekonomian negara dan termasuk sebagai tindak pidana.



b.   Tentang Putusan Peninjauan Kembali

Bahwa peninjauan Kembali (PK) diajukan pada tanggal  20 Januari 2012 (Akta permohonan No.02/Akta.Pid/PK/2012/PN.Jak.Sel) terhadap putusan Mahkamah Agung RI tanggal 03 Desember 2004  Nomor: 434 K/Pid/2003 (Putusan Kasasi) di mana PK diajukan oleh Ahli waris Terpidana yaitu istri Terpidana Sudjiono Timan yaitu Fanny Barki (Akte Perkawinan No.542/1991). Sementara Terpidana SUDJIONO TIMAN melarikan diri menghindari kewajibannya melaksanakan putusan MA RI Nomor: 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karna terbukti melakukan tindak pidana korupsi.



Satu dari lima orang hakim agung yang memeriksa PK mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) menyatakan “tidak menerima” permohonan PK Ahli waris (istri) Terpidana, karena suaminya Terpidana Sudjiono Timan belum meninggal dunia melainkan melarikan diri, sehingga berdasarkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP putusan PK diambil secara suara terbanyak (voting);



Melihat pemohon peninjauan kembali adalah istri terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukanya sebagai ahli waris dinilai oleh Majelis Peninjauan Kembali  berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis Peninjauan Kembali mengacu pada doktrin Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi” melainkan “hak orisinil” dari ahli waris. Anator memandang ironis majelis hakim PK yang mulia menerima permohonan PK dari ahli waris terpidana Sudjiono Timan dengan pertimbangan sebagaimana diatas, karena bahwa memang benar berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi menimbulkan tanda tanya besar, terkait sambungan kalimat dalam paragraf tersebut yang menyatakan “lagi pula UU tidak menentukan kedudukan prioritas diantara terpidana dengan ahli waris”. Memang benar undang undang tidak menentukan kedudukan prioritas diantara terpidana dengan ahli waris akan tetapi dengan di awali frasa “lagi pula” seolah-olah Majelis Hakim PK mengamini dan/atau tidak mempermasalahkan terpidana Sudjiono Timan yang masih buron dan itu berarti terpidana belum pernah menjalani kewajibannya. Selain itu, di dalam doktrin hukum pidana mengenal suatu asas de autonomie van strafrecht . Asas tersebut menyatakan bahwa bilamana di dalam hukum pidana tidak terdapat pengertian akan suatu hal, maka hukum pidana dapat menggunakan  pengertian dari cabang ilmu hukum lainnya, dan dalam kasus ini seharusnya Majelis Hakim mempergunakan pengertian ahli waris di dalam hukum perdata.

Sementara itu dilihat dari sistem hukum perdata yang berlaku di negara RI memang benar selain anak yang sah sebagai ahli waris dari orang tuanya, istri juga merupakan ahli waris dari suaminya.  Sebgaiamana kamus besar Bahasa Indonesia kata “ahli waris” berasal dari dua kata yakni “ ahli-ahli yang berarti /ah·li/ n anggota; orang(-orang) yang termasuk dalam suatu golongan; keluarga atau kaum dan “waris” orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal; megacu pada dua kata tersebut bisa juga diartikan secara pikiran hukum bangsa Indonesa dengan anggota keluarga yang berhak mendapatkan pusaka dari yagng telah meninggal.



Dengan demikian berarti ahli waris tidak bisa melakukan suatu perbuatan hukum sebelum si  pewaris wafat (meninggal dunia). Dalam kasus ini akan menjadi aneh ketika berbicara  ahli waris tidak ada pewarisnya (orang yang meninggal) pertanyannya bagaimana mungkin seorang ahli waris sudah memperoleh gelar ahli waris ketika si pewaris masih hidup atau tidak jelas keberadaannya (Putusan Mahkamah Agung RI 434 K/Pid/2003). Selain itu, suami/istri yang dapat menjadi ahli waris dari pasangannya harus memenuhi 2 unsur, yakni mempunyai ikatan perkawinan yang sah dan salah satu di antara mereka meninggal.  Dengan demikian anator berpendapat perlu adanya perbaikan “redaksi” Pasal 263 ayat (1) KUHAP terutama penggunaan terminology “ahli waris” agar ada singkronisasi pengertian terutama dengan bidang hukum perdata khususnya hukum waris. 



Jika dikembalikan pada ulasan ini jelas bahwa seharusnya hakim lebih ketat dan selektif terhadap permohonan pengajuan Peninjauan Kembali oleh terpidana karena KUHAP telah mengatur secara jelas dan rinci tentang pihakpihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali serta alasan yang mendasari pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana. Peninjauan Kembali (PK) pada dasarnya harus memenuhi persyaratan baik dari segi formiil yang diatur pada pasal 263 ayat 1 tentang pihak-pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, serta harus memenuhi persyaratan materiil yang mendasari alasan pengajuan Peninjauan Kembali setiap terpidana yang telah diatur dalam pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c KUHAP. Pada dasarnya alasan pertama yang dapat dijadikan  dasar dalam pengajuan peninjauan kembali adalah ditemukannya Alat Bukti Baru  atau yang sering disebut dengan Novum. Dalam pengajuan Peninjauan Kembali tersebut yang didasarkan pada Novum harus dapat membuktikan fakta baru yang dimana fakta baru tersebut dapat ditemukan pada alat bukti saksi dan surat.



Apabila dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa kepada hakim tidak menemukan adanya “Keadaan Baru” atau novum maka hakim berhak menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Namun dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana sudjiono timan mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”. Dengan demikian syarat materil dalam pengajuan peninjauan kembali terpidana sudjiono timan tidak mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP tentang keadaan baru atau yang disebut novum, serta tidak mendasarkan pula pada pasal 263 ayat 2 huruf b KUHAP tentang adanya suatu putusan yang satu dengan yang lainya bertentangan.  



Bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime yang penanggulangannya membutuhkan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement) salah satunya dengan cara tidak mudah menerima permohonan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana tindak pidana korupsi apabila dalam pengajuannya tidak memenuhi persyaratan formill serta persyaratan materiil. Sehingga dengan begitu akan memberikan efek jera apabila hakim sebagai garda paling depan untuk menegakkan keadilan, maka hakim baik ditingkat Pertama maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali seharusnya turut ikut memberantas para pelaku tindak pidana korupsi dengan cara memberikan hukuman yang setimpal serta lebih ketat lagi untuk tidak menerima permintaan Peninjauan Kembali yang dilakukan terpidana khususnya terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi apabila syarat formil dan materiil dalam pengajuan Peninjauan Kembali tidak terpenuhi.



Dalam pengajuan PK adalah keharusan Kehadiran terpidana sebagaimana Pasal 265 ayat   (2) dan (3) KUHAP menyatakan hakim, jaksa dan terpidana diharuskan ahli waris Terpidana melalui kuasanya bisa diterima, namun sesungguhnya ada persoalan ilmiah yang sangat mendasar.



Permohonan PK yang diajukan oleh istri Terpidana telah  dikabulkan oleh majelis hakim PK. Padahal Terpidana Sudjiono berstatus buron. Dengan Dikabulkannya pemeriksaan PK yang diajukan oleh buronan, putusan  tak mencerminkan rasa keadilan. 

         










No comments: