madrasah

Friday, May 25, 2007

Koruptor Seharusnya Dijatuhi Hukuman Mati Dan Cambuk

Kamis, (30-12-'04)JAKARTA (Suara Karya): Hukuman mati dan hukum cambuk di depan umum perlu diterapkan kepada setiap pelaku korupsi karena hanya dengan jalan itu budaya korupsi di Indonesia bisa diakhiri. Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi panel "Peran Strategis Ormas dalam Pemberantasan Korupsi" di Jakarta Pusat, Rabu. Diskusi yang diselenggarakan Pengurus Besar Mathl`ul Anwar ini menghadirkan pembicara Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, tokoh NU Solahuddin Wahid, KH Wahid Sahari dari PB Mathla`ul Anwar, Prof Dr Didin Damanhuri (Persatuan Umat Islam), Geys Chalifah dari Al-Irsyad dan Hamim Tohari dari Hidayatullah. Gus Solah mengatakan, untuk memberantas korupsi, diperlukan adanya keteladan dari pejabat negara dan pimpinan ormas agar hidup sederhana tanpa korupsi. Bersamaan dengan hal itu, dibutuhkan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. "Tanpa keteladanan, pemberantasan korupsi hanya omong kosong," katanya. Hal senada disampaikan KH Wahid Sahari. Menurut dia, Ormas Islam semestinya berperan strategis dalam pemberantasan korupsi. Pejabat publik dan pimpinan ormas bisa menjadi teladan jika mampu secara nyata membuktikan kepada masyarakat bahwa lingkungan Ormas bebas korupsi. "Korupsi harus diberantas mulai dari diri kita. Misalnya, kita harus berani memecat apabila ada pimpinan Ormas yang melakukan korupsi," katanya. Dia juga mengatakan, ormas sebaiknya mengurangi ketergantungan pada pihak lain termasuk pemerintah karena bantuan yang diberikan kepada ormas sering menjadi lahan korupsi. Jumlah dana yang diberikan atau diterima ormas sering berbeda, tanpa atau dengan bukti permintaan dana. Dalam tandatangan kuitansi tanda terima uang kepada ormas, sering kali dana yang diterima dengan dana yang tertulis dalam kuitansi berbeda. Dana yang diterima jauh lebih kecil dibanding angka yang tertera dalam tanda bukti kuitansi. Wahid Sahari menyatakan, hukuman kepada para koruptor mestinya yang seberat-beratnya. Misalnya dengan hukum mati dan hukum campuk di muka umum. "Hukum cambuk itu akan memberi efek jera sehingga orang akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi," katanya. Sementara itu, Hidayat Nur Wahid mengatakan, sistem demokrasi melalui pemilihan secara langsung sebetulnya memberi peluang besar untuk mewujudkan masyarakat yang antikorupsi. "Sebab sejauh ini, kesediaan masyarakat kita untuk hidup tanpa korupsi masih cukup tinggi," katanya. Misalnya, terlihat dari sambutan masyarakat yang cukup baik terhadap proses seleksi PNS akhir tahun ini yang relatif bersih dibandingkan tahun sebelumnya. "Tugas kalangan ormas termasuk ormas Islam untuk terus mengingatkan masyarakat akan bahaya korupsi sehingga terbangun masyarakat antikorupsi," katanya. Melalui pemilihan kepada daerah secara langsung, menurut Nur Wahid, masyarakat yang antikorupsi tentu juga akan memilih pemimpin-pemimpin politik yang antikorupsi. Jika masyarakat dan pemimpinnya sudah hidup tanpa korupsi, maka tidak terlalu sulit untuk membangun sistem dan budaya yang antikorupsi. "Kalau saja umat dan pemimpin bersungguh-sungguh dan hidup antikorupsi, saya kira dalam waktu 15 tahun Indonesia akan bebas korupsi," katanya. Sementara itu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Armen Yasir, kemarin, di Lampung mengatakan perilaku dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang cenderung mewabah dilakukan para pejabat dan elite di daerah pada era otonomi daerah, semestinya terus ditekan dan diminimalkan. Armen membenarkan adanya kecenderungan pada era otonomi daerah saat ini bahwa pejabat di daerah bersikap otoriter, anti-kritik dan senang ber-KKN. "Lihat saja faktanya, ketika oleh Pemerintahan SBY-Kalla diungkap kasus-kasus yang melibatkan pejabat dan elite di daerah, hampir semuanya menjadi terbuka dan dilakukan nyaris merata di mana-mana," kata dosen yang juga pegiat Lampung Parliament Watch (LPW) itu. Menurut Armen, terhadap fakta seperti itu, kalau kemudian pemerintah pusat bersama DPR memperbaharui aturan tentang otonomi daerah, adalah tidak keliru. Semestinya, mandat otonomi ke daerah-daerah oleh pemerintah pusat dijalankan oleh penguasa di daerah-daerah untuk tujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga mereka semakin sejahtera. "Ini malah lain, kewenangan otonom itu justru digunakan untuk berbuat semau-maunya, termasuk melakukan perbuatan korup," katanya. (L-2/Ant)

No comments: